Jumat, 22 Februari 2008

INGKAR SUNNAH

TELAAH TERHADAP PAHAM DAN ARGUMEN
INGKAR SUNNAH
Oleh : DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA

ABSTRAKSI
Inkar Sunnah merupakan suatu paham menolak Hadis Nabi saw. yang lahir sejak masa awal Islam, terutama di zaman Imam asy-Syufii dan mengalir timbul tenggelam dalam sejarah sampai masa sekarang. Paham ini bertentangan dengan perintah Alquran untuk mengikuti dan menaula-dani Nabi dalam melaksanakan ajaran Alquran. Karena menolak Sunnah, sedang keterangan Al-quran bersifat umum dan tidak terperinci, maka penganut Inkar Sunnah menafsirkan Alquran se-kehendak hatinya, baik dalam menguatkan pahamnya maupun dalam pelaksanaan ibadah dan a-mal Islam. Sebagian mereka salat dua tiga kali sehari semalam dan sebagian yang lain lima kali. Rakaatnya pun masing-masing dua rakaat. Salat bentuk lain pun boleh juga. Argumen mereka ti-dak benar dan berdasarkan nas-nas Alquran dan Hadis, paham Inkar Sunnah adalah sesat dan ke-luar dari Islam.

A. Sejarah
Ingkar Sunnah berarti penolakan terhadap Hadis Nabi saw., baik secara keseluruhan maupun sebagian. Kajian tentang Ingkar Sunnah secara historis selalu merujuk kitab al-Umm karya Imam Syafii (w. 150 H). Di zaman modern, terkenal tokoh Inkar Sunnah di berbagai daerah, seperti Taufiq Shidqi di Mesir, Garrah Ali dan Gulam Ahmad Parwez di India-Pakistan, Kassim Ahmad di Malaysia, Rasyad Khalifah di Amerika, Haji Abdurrahman, Ustaz H. Sanwani, dan Ir. Irham Sutarto di Jakarta, Dailami Lubis di Sumatera Barat, dan untuk Medan juga sudah ada, baik yang terus terang menolaknya maupun yang menolaknya secara ilmiah.
Inkar Sunnah ada dua macam, yaitu pengingkar Sunnah secara keseluruhan dan pengingkar sebagian saja. Pengingkar hadis yang mutawatir hukumnya kafir, sedang pengingkar hadis yang sahih ahad fasik. Pengingkar seluruh Hadis berarti kafir karena termasuk di dalamnya hadis mutawatir. Bahasan dalam makalah ini adalah tentang pengingkar seluruh Hadis.

B. Ajaran Pokok Ingkar Sunnah
1. Dasar ajaran Islam hanyalah Alquran karena Alquran sudah lengkap dan sempurna.
2. Tidak percaya dan menolak seluruh Hadis Nabi saw.
3. Nabi Muhammad tidak berhak untuk memberikan penjelasan apa pun tentang Alquran
4. Syahadat mereka adalah Isyhadu bi annana muslimun (saksikan kamulah bahwa kami orang-orang Islam)
5. Rakaat dan cara salat terserah kepada masing-masing, boleh dua rakaat dan boleh dengan eling (ingat) saja
6. Puasa wajib bagi yang melihat bulan saja, tidak wajib bagi orang yang tidak melihatnya dengan alasan ayat faman syahida minkumusy syahra falyashumhu (Barang siapa yang melihat bulan di antara kamu maka hendaklah ia puasa)
7. Haji boleh dilakukan selama bulan-bulan haram, yaitu Muharram, Rajab, Sya`ban, dan Zulhijjah
8. Pakaian ihram boleh dengan celana, baju, jas, dan dasi.
9. Orang yang meninggal tidak disalatkan karena tidak ada perintah dalam Alquran.
10. Pengajian-pengajian Inkar Sunnah di Jakarta membuat semua salat dua-dua rakaat tanpa azan dan iqamah.
11. Dalil-dalil Ingkar Sunnah
Dalil-dalil atau alasan-alasan Ingkar Sunnah dapat dibagi kepada dua macam, yaitu dalil Alquran dan alasan akal. Dalil Alquran antara lain adalah :
1. Alquran surat an-Nahl ayat 89 :
“Kami turunkan kepadamu Alquran untuk menjelaskan segala sesuatu”
2. Alquran surat al-An`am ayat 38 :
“Tidak Kami alpakan sesuatu pun di dalam Alquran”
3. Alquran surat al-Maidah ayat 3 :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kamu agamamua dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridai Islam itu sebagai agamamu”
Ketiga ayat ini dan ayat-ayat yang senada menunjukkan bahwa Alquran telah menjelaskan segala sesuatu. Alquran tidak membutuhkan keterangan tambahan lagi karena penjelasannya tentang Islam sebagai agama sudah sempurna.
4. Alquran surat an-Najm ayat 3-4:
“Dan ia (Muhammad) tidak bertutur menurut hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain wahyu
yang diwahyukan kepadanya.”
Yang diwahyukan itu sudah termaktub dalam Alquran
5. Alquran surat al-Haqqah ayat 44-46:
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas nama Kami
niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian Kami akan potong urat tali
jantungnya.”
Alquran surat surat Ali Imran ayat 20; al-Maidah ayat 92, 99; ar-Ra`d ayat 40; an-Nahl
ayat 35, 82; an-Nur ayat 45; al-`Ankabut ayat 18; asy-Syura ayat 48.
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa tugas Nabi Muhammad hanyalah menyampaikan pesan
Allah dan tidak berhak memberikan penjelasan apa pun.
Alquran surat Fathir ayat 31 “
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yakni Alquran itulah yang benar (haqq).”
8. Alquran surat Yunus ayat 36 :
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran.”

Jadi, Hadis itu hanyalah persangkaan yang tidak layak dijadikan hujah.

Adapun dalil akal adalah sebagai berikut :
1. Alquran dalam bahasa Arab yang jelas. Orang yang paham bahasa Arab paham Alquran.
2. Perpecahan umat Islam karena berpegang pada hadis-hadis yang berbeda-beda
3. Hadis hanyalah dongeng karena baru muncul di zaman tabiin dan tabittabiin
4. Tidak satu hadis pun dicatat di zaman Nabi. Dalam periode sebelum pencatatan Hadis, manusia berpeluang berbohong
5. Kritik sanad baru muncul setelah satu setengah abad Nabi wafat
6. Konsep tentang seluruh sahabat adil muncul pada akhir abad ketiga Hijrah

12. Analisis terhadap Argumen Ingkar Sunnah
Dalil-dalil nakli dan argumen akli Ingkar Sunnah itu seluruhnya lemah. Seorang tokoh Inkar Sunnah dari Amerika, Rashad Khalifa menulis sebuah buku berjudul, The Computer Speaks : God’s Message to the World yang terbit pada tahun 1981. Tokoh Inkar Sunnah dari Malaysia, Kassim Ahmad mengatakan bahwa buku ini secara saintifik membuktikan ketulenan Alquran sebagai perutusan Tuhan kepada manusia yang sepenuhnya terpelihara, dan menarik perhatian pembaca kepada kesempurnaannya, lengkapnya dan keterperinciannya, menyebabkan manusia tidak memerlukan buku-buku lain sebagai sumber bimbingan. Ini--katanya--bermakna Hadis sekaligus tertolak sebagai sumber teologi dan perundangan.[1] Lebih dari ini, Kassim Ahmad dengan yakin membuat kesimpulan tentang penolakan Rashad Kahlifa terhadap Sunnah.Katanya, bahwa dalam masa lebih kurang tiga bulan dia telah berpuas hati mengenai tesis pokok Rashad Khalifa bahwa Hadis merupakan suatu penyelewengan dari ajaran Nabi Muhammad dan tidak boleh diterima sebagai sumber perundangan adalah benar.[2]
Ayat-ayat yang dikemukaan Ingkar Sunnah bersifat umum dan global, perlu peneje-lasan(bayan). Nabi berfungsi menjelaskannya. Penjelasan(bayan) itu berbentuk pernyataan, perbuatan, dan pengakuan pembawa Alquran itu. Karena itu, disebutkan dalam Alquran surat az-Zukhruf ayat 63:
“Sesungguhnya aku (Nabi) telah datang membawa hikmah dan untuk kujelaskan kepada kamu sebagian yang kamu berselisih paham tentangnya.” Surat an-Nahl ayat 44:
“Dan Kami telah menurunkan kepadamu zikr(Alquran) agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.”
Demikian juga dalam surat yang sama ayat 64.
Dalam surat al-Maidah ayat 15:
“Sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami menjelaskan kepada kamu banyak
mengenai hal yang kamu berselisih paham tentangnya.”
Keterangan yang sama juga disebutkan dalam surat yang sama ayat 19.
Surat Ibrahim ayat 4 :
“Dan tidak Kami mengutus Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya agar ia menjelaskan kepada mereka.”
Surat Ibrahim ayat 1 :
“Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya engkau keluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya yang terang.”
Surat ath-Thalaq ayat 65 :
(Dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepada kamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bernacam-macam hukum) supaya dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya.”
Surat Ali Imran ayat 3 :
“Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan al-Hikmah.”
Ayat-ayat ini dan banyak lagi seumpamanya menjelaskan bahwa tugas Rasul bukan hanya menyampaikan pesan, tetapi juga menjelaskan (memberi bayan) terhadap pesan itu, mengajarkan Alquran dan hikmah, mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya, dan membersihkan jiwa mereka. Jadi, maksud Alquran menjelaskan segala sesuatu adalah bersifat umum. Secara umum Alquran menjelaskan segalanya. Keterangan Nabi menjelaskan secara rinci dan operasional. Sebagai perbandingan adalah UUD bagi negara sifatnya lengkap tapi umum. Peraturan dibuat sebagai petunjuk operasional. Hadis pun berfungsi seperti peraturan. Sejalan dengan itu, Allah memerintahkan agar umat Islam mengambil apa yang dibawa Rasul. Yang dibawa Rasul itu ada dua, Alquran dan Sunnah Rasul.
Alquran surat al-Hasyar ayat 7:
“Apa yang diberikan Rasul maka ambillah dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah.”
Alquran surat an-Nisa’ ayat 59 :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul.”
Ketika Rasul hidup, maka orang Islam langsung mengikuti perintahnya. Sesudah wafatnya, tentunya mengikuti apa yang ditinggalkannya, yaitu Alquran dan Sunnah. Kalau sesudah wafat-nya tidak patuh lagi kepadanya, maka tinggalkanlah kedua Alquran dan Sunnahnya. Jangan tinggalkan satu pakai yang satu lagi. Jika keduanya ditinggalkan maka jadilah kafir.
Dalam surat an-Nisa’ ayat 65 Allah swt. mencap orang belum beriman selama ia belum bersedia menjadikan Nabi Muhammad menjadi hakim dalam urusannya. Agar penjelasan Nabi Mu-hammad tidak menyimpang dari tujuan Allah dalam Alquran, Allah senantiasa memeliharanya dari kekeliruan dalam penyampaian penjelasannya. Surat al-Maidah ayat 67 :
“Dan Allah memeliharamu dari gangguan manusia.”
Sebagai pemberi penjelasan, Nabi Muhammad ma`shum (terpelihara dalam menyampaikan risalah) Karena itu, Nabi saw. adalah teladan yang baik bagi orang Mukmin. Hal ini dijelaskan dalam surat al-Ahzab ayat 21:
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yangb baik.”
Diri Rasul saw. berarti sesuatu yang di luar Alquran, tetapi praktik dari ajaran Alquran. Salatnya, puasanya, hajinya, dan segala tindakannya harus ditiru. Karena teladan yang harus dicontoh, maka penjelasannya dan kelakuannya tidak boleh ditolak. Surat an-Nisa’ ayat 115 :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya.”

Surat an-Najm adalah dalil bahwa apa saja yang lahir dari Nabi Muhammad adalah wahyu Allah. Alquran disebut wahyu matlu, yang dibacakan Jibril kepada Nabi, sedang Sunnah wahyu gairu matlu, yaitu wahyu yang tidak dibacakan oleh Malaikat Jibril, tetapi langsung diilhamkan Allah ke hati Nabi. Alquran lafaz dan maknanya dari Allah, tanpa intervensi Jibril dan Nabi Muhammad saw., sedang Sunnah maknanya dari Allah, lafaznya dari Nabi sendiri.
Allah mengecam jika Nabi menga-adakan sebagian perkataan atas nama Allah adalah jaminan Allah bahwa Nabi itu jujur, tidak dusta sebagaimana yang dituduhkan orang kafir kepadanya. Ini tidak bertentangan dengan fungsi Nabi sebagai pemberi penjelasan terhadap ayat-ayat Alquran yang bersifat umum itu.
Alquran tidak diragukan sebagai kebenaran (al-Haqq). Tetapi Alquran itu sendiri sampai kepada manusia melalui Nabi saw. Kepercayaan terhadap Alquran sebagai kebenaran tergantung kepada kepercayaan terhadap Nabi saw. Ketidakpercayaan kepada Nabi saw. berakibat tidak percaya kepada Alquran.
Jika kepercayaan Pengikut Sunnah kepada Sunnah Nabi saw. hanyalah persangkaan maka penafsiran Pengingkar Sunnah terhadap ayat-ayat Alquran juga persangkaan yang lebih lemah. Sebab, Pengingkar Sunnah menafsirkan ayat semata-mata berdasarkan pikirannya sendiri-sendiri dan masing-masing. Sedang Penganut Sunnah menafsirkan Alquran berdasarkan keterangan penerima Alquran itu sendiri, yaitu Nabi saw. Nabi saw. lah orang yang paling berkompeten menjelaskan Alquran karena dialah orang pertama menerimanya dan memang ditugaskan menjelaskannya. Kalau ada muballig Alquran selain dia, itu hanyalah penyambung apa yang sudah dikerjakan Nabi saw. Muballig pertama adalah Nabi saw. Model muballig yang benar adalah model Nabi saw. Jika ada muballig yang lain dari model Nabi saw. berarti muballig yang menyimpang. Setiap penjelas terhadap Alquran harus mengikuti penjelasan penjelas pertama, yaitu Nabi saw.

Alasan akal yang dikemukakan Ingkar Sunnah juga tidak kuat.
1. Pendapat Inkar Sunnah tentang Alquran sudah jelas dan tidak memerlukan penjelasan lain tidak bisa dipahami, baik secara nakli maupun akli. Sebagai dikemukakan sebelumnya banyak sekali ayat Alquran yang menjelaskan bahwa Nabi saw. bertrugas memberi penjelasan (bayan) kepada Alquran. Secara akli juga argumen mereka membingungkan. Kenyataan menunjukkan bahwa penjelasan yang agak detail dalam Alquran sangat sedikit. Mengenai perempuan-perempuan yang haram dinikahi, pembagian harta warisan, dan pencatatan hutang mengutang diterangkan dalam Alquran agak detail. Itu pun tidak lengkap. Hal-hal lain tidak demikian. Mengenai pelaksanaan salat, puasa, zakat, haji, nikah, penyelenggaraan jenazah, dan muamalah disebutkan dalam Alquran sangat umum. Dari perintah-perintah Alquran dapat dipahami bahwa salat, puasa, zakat, dan haji adalah wajib atas setiap Muslim. Akan tetapi, berapa kali salat sehari semalam, berapa rakaat masing-masing waktu, bagaimana cara melaksanakannya, apa yang mesti dilakukan dalam salat dan apa yang tidak boleh dilakukan tidak dijelaskan secara terpe-rinci dalam Alquran. Karena itu perlu penjelasan tentang operasionalnya. Orang yang paling berkompeten menjelaskannya sebelum siapa pun, termasuk ulama adalah orang yang langsung menerima perintah-perintah tersebut, yaitu Nabi saw. Tanpa petunjuk operasional dari Nabio saw., maka cara pelaksanaan salat maka kemungkinan cara pelaksanannya ada dua kemungkinan, yaitu berdasarkan hasil musyawarah atau berdasarkan ijtihad masing-masing.
Kelompok Inkar Sunnah Jakarta mendasarkan pelaksaan salat mereka kepada hasil musyawarah, yaitu lima kali sehari semalam dengan ketentuan masing-masing dua rakaat tanpa azan dan iqamah. Tetapi di antara mereka juga ada yang menetapkannya tiga kali saja sehari semalam. Menurut kelompok ini, salat lima kali itu buatan manusia. Mereka ini mendasarkan pendapatnya kepada surat al-Isra’ ayat 78 : “Dirikanlah salat dari sesudah tergelincir matahari sampai gelap malam dan fajar. Sesungguhnya salat fajar itu disaksikan .“ Menurut yang mereka pahami dari ayat ini, salat itu tiga kali sehari semalam, yaitu sesudah matahari tergelincir, ketika malam sudah gelap, dan waktu fajar.[3] Bagi kelompok ini, tidak ada salat lain dalam Islam. Salat menurut Alquran hanya tiga waktu dan tiga macam ini saja. Perintah Alquran untuk salat pada hari Jumat tidak lain daripada salat sesudah tergelincir matahari.
Penafsiran ini sangat lemah. Perintah untuk salat hari Jumat itu istimewa. Perintah itu disertai perintah segera dan meninggalkan perniagaan. Sesudah melaksanakannya dianjurkan keluar dari salat dan kembali melakukan kegiatan mencari karunia Allah. Ini menunjukkan bahwa salat Jumat itu dikerjakan dalam suatu iven tertentu, lain dari pelaksanaan salat regular. Dalam surat al-Isra’ ayat 79 ada lagi perintah salat tahajjud. Seharusnya, Inkar Sunnah juga mewajibkan salat tahajjud. Sebab, ayat ini persis jatuh sesudah perintah salat yang tiga kali versi mereka. Lebih mengikat mereka lagi paham mereka yang tidak membedakan antara status wajib dan sunnat. Dalam surat al-Muzzammil ayat 2-4 ada lagi perintah lain : “Bangunlah (untuk salat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya). Seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. Atau lebihkan dari seperdua itu. Dan bacalah Alquran itu dengan perlahan-lahan.” Dalam surat Hud ayat 114, “Dan dirikanlah salat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan dari malam.” Dalam surat al-Baqarah ayat 238, “Pelihara kamulah segala salat dan salat wustha (pertengahan).” Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa masih ada macam salat yang lain dari tiga macam yang mereka sebutkan. Tidak mudah untuk mengkompromikan berbagai sebutan salat yang berbeda-beda itu. Ada sebutan salat tahajjud, salat lail, salat Jumat, salat dua tepi malam, salat wustha. Namun, mereka hanya mengambil satu ayat dan menelantarkan ayat-ayat lain. Ini adalah akibat mereka tidak mengakui penjelasan Nabi saw. Mereka terpaksa membuat penafsiran sendiri. Jika mereka mengumpulkan ayat-ayat tentang salat, mereka akan bingung sendiri. Karena memaksakan penafsiran sendiri, maka mereka terpaksa mengabaikan sebagian ayat Alquran. Akhirnya mereka bukan hanya Inkar Sunnah, tetapi juga “inkar sebagian Alquran.”
Dalam membela paham Inkar Sunnah ini, Kassim Ahmad membuat keterangan yang lebih mengacaukan lagi. Menurut dia, ibadah-ibadah agama, salat, puasa, zakat, haji telah diajarkan Tuhan kepada Nabi Ibrahim dan pengikut-pengikutnya dan diturunkan dari mereka kepada generasi demi generasi sampai kepada Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya. Menurutnya, orang Arab juga telah melakukan salat sebelum Muhammad. Hal ini didasarkannya kepada ayat Alquran, “Salat mereka di rumah suci tidak lain daripada penipuan dan kesesatan.”[4] Keterangan Kassim Ahmad ini berarti bahwa salat yang diwajibkan kepada kaum Muslim sama persis dengan salat yang diwajibkan kepada Nabi Ibrahim dan juga orang Arab sebelum kebangkitan Nabi Muhammad saw. Sementara Kristen Ortodok Siria sendiri menklaim salatnya tujuh kali sehari semalam. Mereka juga ada rukuk dan sujudnya walaupun bentuknya sedikit berbeda dengan yang diwariskan Nabi saw. Misalnya, ketika rukuk, mereka meletakkan telapak tangannya di kening. Sekiranya Kassim Ahmad benar dalam klaimnya bahwa salat sudah ada sebelum Islam, cara yang mana yang benar. Setidaknya sekarang sudah ada tiga cara salat. Salat versi Nabi, versi Inkar Sunnah, dan versi Kristen Ortodok Siria. Di kalangan Inkar Sunnah juga ada versi lima kali dan ada versi tiga kali saja. Bahkan, salat versi Kassim Ahmad bebas. Untuk memilih satu atau yang lain dari versi-versi yang berbeda ini apa landasannya. Keterangan Alquran sifatnya umum, tidak mendetail. Bagi kaum Muslim landasannya jelas keterangan Ha-dis Nabi saw. Bagi Inkar Sunnah tentunya pikiran dan hasil musyawarah sebagaimana yang dilakukan kelompok Inkar Sunnah di Jakarta. Ketentuan salat seperti ini adalah filsafat, bukan agama. Yang dinamakan ibadah itu adalah perbuatan yang ditentukan Allah.
Untuk merespon hal ini Kassim Ahmad membuat keterangan tambahan. Setelah menerangkan dengan yakin bahwa salat itu berpunca dari amalan Nabi Ibrahim yang diwariskan kepada generasi-genarasi sesudahnya, Kassim Ahmad mengatakan bahwa namun demikian Alquran juga menyatakan beberapa perincian kaedah salat. Umpamanya, semuanya lima waktu (11: 114, 17: 78, 24: 58, 2: 238, 30: 17-18 dan 20 130); perbuatan rukuk dan sujud (22:77); meringkasakan sembahyang dalam perjalanan (4: 101); bentuk yang boleh disesuaikan dalam keadaan perang dan keadaan luar biasa (4: 103; berpakaian elok (7: 31); cara bacaan yang sederhana (17: 110); jangan menyerukan selain Allah dalam sembahyang (72: 18) dan cara-cara wuduk (5: 6) dan 4: 43). Jadi--katanya—walaupun perincian gerak-gerik tidak diberikan dalam Alquran, banyak perincian kaedah ada diberikan.[5]
Penjelasan ini masih sangat umum. Keterangan ini belum dapat menjawab pertanyaan cara yang mana yang benar dari berbagai versi salat tersebut di atas.Karena itu, Kassim Ahmad harus memutar logika lagi pada penjelasannya selanjutnya. Keterannya berikut ini merupakan ketarangan puncak dan final tentang cara salat di kalangan Inkar Sunnah. Bahkan, dapat dikatakan bahwa inilah kesimpulan dari seluruh pemahaman ibadah dan agama menurut Inkar Sunnah. Karena itu, analisis terhadap masalah salat versi Inkar Sunnah ini dikemukakan agak panjang agar dapat dijadikan tolok ukur kerangka berpikir Inkar Sunnah secara keseluruhan.
Menurut Kassim Ahmad, Alquran mengajarkan agar jangan mempertikaikan bentuk dan kaedah salat. Bentuk dan kaedah salat tidak begitu penting jika dibandingka tujuan. Apa yang penting ialah kebaikan dan kejujuran dalam melakukan kebaikan. Pendapatnya ini didasarkannya kepada surat al-Baqarah ayat 177, “Kebaikan bukanlah berpaling ke timur atau ke barat. Kebaikan ialah beriman kepada Tuhan, hari kiamat, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi,dan mendermakan uang yang kita sayangi kepada kaum keluarga, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang asing, pengemis-pengemis, dan membebaskan hama-abdi, dan melaksanakan salat dan zakat, dan menunaikan janji-janji yang dibuat, dan tetap teguh menghadapi bencana, kesusahan dan peperangan. Inilah mereka yang benar, inilah mereka yang baik.” Kemudian ia juga mengemukakan surat al-Ma`un.[6]
Ayat-ayat yang dikemukakan ini sangat umum. Ayat-ayat ini sama sekali tidak menje-laskan bahwa cara dan bentuk salat tidak perlu. Memang kelompok Inkar Sunnah selalu berpegang kepada ayat-ayat yang bersifat umum dan mengeksploitasi maknanya kepada hal-hal yang bersifat detail. Dalam surat al-Baqarah yang dikemukakannya sendiri disebutkan bahwa melaksanakan salat dan zakat. Jika dihubungkan dengan pangkal ayat, maka salat tidak perlu menghadap Kiblat. Padahal, dalam surat al-Baqarah ayat 144 ditegaskan agar dalam salat menghadap Kiblat, “Maka palingkanlah wajahmu kea rah Masjidilharam.” Apakah menghadap Kiblat bukan salah satu kaedah salat. Kalau itu tidak penting berarti ayat ini tidak penting.
Menurut Kassim Ahmad, ada hikmahnya yang besar mengapa Tuhan tidak memperincikan bentuk dan kaedah salat dalam Alquran. Pertama karena bentuk dan kaedahnya sudah diajarkan kepada Nabi Ibrahim. Kedua, karena bentuk dan kaedah tidak begitu penting dan Tuhan ingin memberikan kelonggaran kepada umat Muhammad supaya mereka boleh melakukan salat dalam keadaan apa pun. Satu peringatan yangv amat baik kepada umat Islam supaya kembali dan berpegang kepada Alquran dan jangan mempertikai bentuk dan kaedah.[7] Sebenarnya, sunnah Nabi ialah Alquran. Beliu berpegang teguh kepada Alquran dan mengikuti perintah-perintah Tuhan.[8] Ini sejalan dengan dua artikel seorang tokoh Inkar Sunnah dari Mesir, Taufik Sidqi yang berjudul, al-Islam huwa al-Qur’an wahdah (Islam adalah Alquran saja) dan dibuat dalam majalah al-Manar, nomor terbitan ke-7 dan ke-12 di Mesir. Dalam kedua tulisan ini, Taufik Sidqi menjelaskan bahwa Alquran saja yang menjadi sumber ajaran Islam, tidak masuk Hadis.[9]
Uraian di atas menunjukkan bahwa bentuk dan cara salat menurut Inkar Sunnah tidak penting dan tidak ada. Karena itu, di kalangan Inkar Sunnah sendiri tidak ada kesepakatan ten-tang cara salat. Tidak ada bacan tertentu dalam salat. Salat boleh dengan bahasa Indonesia. Sebagian mereka mengakhiri salat dengan hamdalah, bukan salam.[10] Karena tidak cara tertentu, maka cara salat Kristen Ortodok Siria yang tujuh kali sehari semalam dengan meletakkan telapak tangan ke dahi ketika rukuk tentunya sah-sah saja dilakukan kelompok Inkar Sunnah. Apalagi, secara historis Agama Kristen lebih dahulu lahir daripada Islam. Jangan-jangan, cara salat Kristen ini lebih orisinal dari cara salat kelompok Inkar Sunnah. Sebab, dengan pendekatan sejarah, semakin dekat kepada sumber asal yang dalam hal ini sumber salat pertama Nabi Ibrahim adalah semakin besar kemungkinan autentisitasnya. Logika ini berlaku untuk cara zakat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lainnya. Artinya tidak ada ketentuan khusus tentang pelaksanaannya menurut kelompok Inkar Sunnah.
Adapun menurut pandangan pengikut Sunnah Nabi saw., memang sebagian syariat yang dibawa Nabi Muhammad saw. sebagiannya berasal dari nabi-nabi sebelumnya, terutama Nabi Ibrahim, termasuk haji dan khitan. Akan tetapi, pelakasanaanya tidak semuanya sama. Misalnya, sepanjang informasi yang ada, Nabi Ibrahim berkhitan ketika umur delapan puluh tahun. Dalam Islam tidak demikian. Nabi Ibrahim menyembelih putranya. Kebetulan saja Allah menggantinya dengan seekor kibas. Dalam Islam tidak demikian. Kemudian, kalau Nabi umat Islam itu Muhammad saw., tetapi umatnya tidak boleh mengikuti keterangan dan amalnya, melainkan harus Alquran saja. Mengapa kita mengikuti sunnah Nabi Ibrahim, tidak Kitab Suci yang diturunkan kepadanya, yaitu Shuhuf. Logika Inkar Sunnah tidak adil. Seharusnya yang diikuti adalah Shuhuf Ibrahim, bukan perbuatan Ibrahim. Jika kelompok Inkar Sunnah ingin mengikuti Shuhuf Ibrahim as., mereka harus mencarinya dan mencari yang aslinya. Sekarang, Nabi kita adalah Muhammad saw. Amal dan penjelasannya termuat dalam kitab-kitab Hadis. Seleksi terhadap yang sahih dan yang daif secara ilmiah telah dilakukan para ulama yang berkompeten. Siapa saja boleh melakukan penelitian terhadap hadis yang sahih. Hadis sahih dapat diamalkan dan hadis yang lemah tidak boleh diamalkan. Mengapa kelompok Inkar Sunnah tidak berpikir ilmiah. Justru percaya kepada sunnah Ibrahim yang sama sekali tidak jelas sumbernya.

1. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua orang Arab bisa memahami Alquran dengan baik. Setiap ilmu mempunyai terminologi sendiri. Untuk memahami Alquran juga membutuhkan kompetensi khusus. Setiap ilmu mempunyai terminology tersendiri. Bukan setiap ahli bahasa Arab yang bukan ahli filsafat mampu memahami filsafat yang ditulis dalam bahasa Arab. Begitulah ilmu-ilmu itu seterusnya. Seorang ahli akan memahami ilmu yang dibidanginya. Demikian juga ahli tafsir. Seorang mufasir harus menguasai bahasa Arab, menguasai nahu, saraf, dan balaghah, menguasai hadis-hadis dan ilmu hadis yang berkaitan dengan ayat yang ditafsirkan, mengetahui sebab turun ayat, mengetahui konteksnya dengan ayat sebelum dan sesudahnya, mengetahui usul fikih dan kaedah-kaedah umum agama.Tanpa pengetahuan yang memadai tentang ilmu-ilmu tersebut ini, seseorang akan menafsirkan Alquran dengan kacau, seperti orang yang berlayar tanpa arah. Dirinya akan sesat dan orang yang ikut dalam perahunya ikut sesat bersamanya. Demikian juga halnya dengan orang yang berusaha memahami Hadis Nabi saw. tanpa penguasaan ilmu-ilmu tersebut akan memahamkannya sesuka hatinya. Karena Pengingkar Sunnah memahamankan Alquran tanpa Hadis dan tanpa alat-alat yang dibutuhkan, maka timbullah kekacauan. Cara salat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lainnya diserahkan kepada masing-masing. Bagaimana bisa melaksanakan salat berjemaah kalau caranya dan bahasanya menurut masing-masing. Padahal, Alquran sendiri memerintahkan agar salat berjamaah. Warka`u ma`ar raki`in (Rukuklah kamu bersama orang-orang yang rukuk).
1. Jika Sunnah yang menjelaskan ayat-ayat yang umum dikatakan penyebab perpecahan, maka tafsir tanpa Sunnah tentunya lebih membuat kekacauan. Selagi ada Sunnah masih juga muncul beberapa mazhab di kalangan umat Islam sekalipun perbedaannya tidak dalam hal yang prinsipil. Tanpa Sunnah tentunya setiap orang memiliki mazhab sendiri. Sekian juta umat Islam maka cara salat, puasa, dan hajinya akan menjadi sekian juta pula. Apakah ini bukan kekacauan?
2. Pengkaji Hadis mengetahui bahwa para sahabat belajar Hadis dari Nabi dan meriwayatkannya kepada generasi sesudah mereka. Para sahabat pun mencatat Hadis untuk hafalan mereka. Catatan mereka disebut shahifah. Ada yang berisi seribu hadis. Shahifah-shahifah itu berjumlah empat puluh buah. Mereka mengahafal dan begitulah dari generasi ke generasi. Apa yang dikatakan orientalis bahwa Hadis muncul pada pertengahan abad kedua Hijrah tidak benar. Sebab, objek penelitian mereka tidak metodologis. Mereka mengambil sampel dari kitab-kitab yang bukan sumber asli Hadis. J. Schacht misalnya sengaja mengambil sampel kitab Muwaththa’ Malik agar ia menemukan banyak sanad yang tidak lengkap. Atas dasar sampel yang salah itu ia menggeneralisir bahwa semua Hadis tidak benar datang dari Nabi karena tidak lengkap sanadnya. Seharusnya ia mengambil kitab hadis yang asli, seperti Musnad Ahmad dan Shahih al-Bukhari yang tentunya ia akan mendapatkan sanad-sanad yang lengkap dan bersambung.
3. Tuduhan sahabat dan tabiin berbohong sangat naïf. Keadilan sahabat dan para periwayat hadis yang makbul itu dibuktikan dalam berbagai kitab biografi periwayat Hadis. Sahabat itu jumlahnya banyak. Menurut Abu Zur`ah, jumlah sahabat ketika Nabi wafat 114.000 orang. Namun, sahabat yang terlibat dalam periwayatan Hadis yang sampai kepada kita dan perlu dibahas sepanjang kajian sanad sangat sedikit dibandingkan jumlah itu. Berdasarkan keterangan Muhammad `Ajjaj al-Khathib, sahabat yang meriwayatkan seribu hadis ke atas hanya tujuh orang, yang meriwayatkan dua ratus hadis ke atas sebelas orang, yang meriwayatkan seratus hadis ke atas dua puluh satu orang, yang meriwayatkan puluhan hadis kurang dari dari seratus orang, yang meriwayatkan sepuluh hadis ke bawah seratusan orang , yang meriwayatkan satu hadis saja lebih kurang tiga ratus orang. Jumlah seluruhnya 539 orang sahabat.[11] Diasumsikan saja lebih daripada itu. Misalnya tujuh ratus orang. Apakah tidak logis bila jumlah yang demikian dari total 114.000 orang sebagai sahabat yang saleh dan terpercaya dalam meriwayatkan Hadis. Sekiranya kaedah yang berbunyi, “Sahabat seluruhnya adil” diberlakukan kepada mereka ini, tentunya sangat logis. Seleksi terhadap Hadis juga terus dilakukan, baik melalui sanad maupun melalui matan. Makanya ada hadis yang mutawatir[12], sahih[13] , hasan[14] , dha`If[15] , bathil[16] , dan maudhu`[17]. Sebagai ilmu yang berdiri sendiri tentang kritik sanad dan kritik matan, memang berkembang secara bertahap. Halnya sama dengan ilmu yang lain. Tetapi, kinerja seleksi Hadis sudah dilakukan sejak zaman sahabat. Karena itu, dalam sejarah, mereka mempertanyakan sanad hadis yang dikemukakan kepada mereka, mereka menerima hadis tertentu dan menolak hadis yang lain. Ini berarti, mereka memiliki ilmu tentang kriteria hadis yang dapat dijadikan hujah.
5. Sehubungan dengan itu, pada tanggal 27 Juni 1994, MUI Pusat telah memfatwakan bahwa aliran yang tidak mempercayai Sunnah adalah sesat dan berada di luar Agama Islam serta meminta kepada pemerintah agar mengambil langkah tegas melarangnya.[18] Pada tahun 2006 di Kecamatan Lubuk Pakam, Deli Serdang telah muncul suatu kelompok yang menamakan dirinya sebagai Soul Training dan menklaim telah melakukan penelitian yang hasilnya menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad saw. tidak pernah mewariskan apa pun pada umatnya kecuali hanya Kitab Suci yang Agung Al-Quran al-Karim dan bahwa sesungguhynya salat tarawih/salat qiyam Ramadan benar-benar bukan salah satu tuntunan Islam. Kelompok ini juga berpendapat bahwa umat Islam telah ditipu, disesatkan, dan dipecah-belah oleh Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii, dan Imam Hambali. Penjelasan lebih detail dapat dibaca pada laporan mereka yang dikeluarkan di Pagar Mer-bau, 6 Juni 2006. Paham ini berarti penolakan terhadap Hadis Nabi saw. Mengenai paham ini, Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Deli Serdang telah mengeluarkan fatwa pada tanggal 24 Juni 2006. Isinya adalah bahwa Soul Training, aliran sesat dan menyesatkan. Aliran Soul Training tidak dibenarkan untuk dikembangkan sebab meresahkan dan merusak akidah Islam. Mengakui, mengikuti dan mengembangkan aliran Soul Training hukumnya haram.

Medan, 17 Juli 2007
DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA
[1]Kassim Ahmad, Hadis Satu Penilaian Semula, Media Intelek SDN BHD, Petaling Jaya, Malaysia, 1986, hlm. 12.
[2]Ibid., hlm. 13.
[3]Abduh Zulfidar Akaha, Debat Terbuka Ahlu Sunnah versus Inkar Sunnah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2006, hlm. 58.
[4]Kassim Ahmad, op. cit., hlm. 44.
[5]Ibid., hlm. 46.
[6]Ibid.
[7]Ibid., hlm. 47.
[8]Ibid., hlm. 50.
[9] Muhammad Thahir Hakim, As-Sunnah fi Muwajahah al-Abathil, al-Amanah al-`Ammah li Rabithah al-`Alam al-Islami, Makkah, 1402 H, hlm. 45.
[10]Abduh Zulfidar Akaha, op. cit., hlm. 58-59.
[11]Muhammad `Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, Dar al-Fikr, Beirut, 1409 H/1989 M, hlm. 401-404
[12]Mutawatir berarti periwayatan hadis oleh sejumlah orang dari sejumlah orang sampai kepada generasi sahabat yang jumlah masing-masing generasi periwayat banyak asehingga tidak mungkin mereka sepakat berdusta untuk menciptakan hadis itu dan membangsakannya kepada Rasul saw. Periwayatan seperti ini menghasilkan keyakinan atas riwayat itu.
[13]Sahih berarti periwayatan yang memenuhi syarat-syarat sahih, yaitu rangkaian periwayat dari satu periwayat kepada periwayat di atasnya bersambung, tidak terputus, periwayat adil, dhabith, tidak terdapat padanya keganjilan dan cacat tersembunyi. Periwayatan seperti ini menghasilkan kepercayaan bahwa hadis itu benar berasal dari Nabi saw. Hadis sahih memiliki kekuatan hujah.
[14]Hasan berarti periwayatan yang memenuhi syarat-syarat sahih, kecuali dhbithnya kurang sempurna. Periwayatan seperti ini juga memiliki kekuatan hujah di bawah kehujahan sahih.
[15]Dha`if berarti periwayatan yang tidak memenuhi syarat-syarat hasan. Karena itu, periwayatn seperti ini tidak dapat dijadikan hujah dan tidak boleh meriwayatkannya tanpa menerangkan statusnya.
[16]Bathil berarti pembangsaan sebuah pernyataan kepada Nabi saw. secara tidak sengaja. Periwayatan seperti ini hakikatnya sama dengan hadis palsu, tidak boleh dijadikan hujah. Bedanya, periwayat tidak sengaja menciptakan dan membangsakannya kepada Nabi saw.
[17]Maudhu` berarti periwayatan hadis secara palsu, yaitu penciptaan suatu pernyataan dan pembangsaannya kepada Nabi saw. sengaja bohong. Hadis palsu tidak boleh dijadikan hujah dan periwayatannya haram kecuali untuk pemeberitahuan kepada pembaca atau pendengarnya.
[18]Depag RI, Himpunan Fatwa Majelis Uama Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 105-109.

GOLPUT DAPAT MENYEBABKAN DOSA

Oleh : Dr. H. Ramli Abdul Wahid, MA
Ketua Komisi Dikbud MUI Tk. I SU

Pemilihan calon gubernur Provinsi Sumatera Utara dijadwalkan pada tanggal 16 April 2008. Berarti tidak sampai empat bulan lagi dari sekarang. Pendaftaran pemilih di kantor Desa/Ke-lurahan dijadwalkan dari tanggal 20 sampai 31 Desember 2007 dengan membawa persya-ratan KTP/KK dan surat keterangan Kades /Lurah. Warga yang tidak mendaftar sampai 31 Desember 2007 berarti tidak mempunyai hak un-tuk ikut memilih calon gubernurnya. Ini juga berarti bahwa orang yang tidak memiliki KTP dan/atau identitas diri yang resmi tidak bisa men-daftar. Orang yang tidak mendaftar untuk menjadi pemilih sampai akhir Desember sama dengan Golput.
Menggunakan hak suara dalam memilih kepala negara dan pim-pinan daerah sesuai jenjangnya adalah hak setiap warga dan sekaligus sebagai kewajiban dalam melaksanakan perannya untuk memper-juangkan kepemimpinan yang baik bagi bangsa dan daerahnya. Namun kenyataan menunjukkan bahwa tidak sedikit warga yang tidak menggu-nakan hak pilihnya. Orang yang tidak menggunakan hak pilihnya di-kenal dengan sebutan golongan putih alias Golput. Ada yang menghi-tung jumlah Golput antara 35 sampai 40 %. Bahkan, ada yang memper-kirakan jumlah Golput ke depan lebih banyak lagi.
Banyak faktor yang menyebabkan orang Golput. Dalam diskusi tentang Golput yang dilaksanakan di Kantor KAHMI, Medan pada tanggal 8 Desember 2007 muncul analisis bahwa faktor yang menye-babkan Golput antara lain adalah budaya masyarakat yang kurang acuh pada politik dan sikap pasimis dari masyarakat bahwa siapa pun yang menjadi pemimpin tidak akan membawa perubahan kepada nasib rak-yat. Analisis ini benar adanya, terutama tentang rasa pasimis masya-rakat akan kemajuan yang diharapkan dari suatu pergantian kepemim-pinan. Masyarakat sudah berpengalaman bahwa setiap kampanye pemi-lihan, masing-masing calon pemimpin dan pendukungnya memberikan seribu satu janji, tapi satu pun tidak ditepati. Karena itu, banyak warga yang kesal dengan Pilkada dan memilih sikap Golput.
Analisis lain mengatakan bahwa kelalaian mendaftarkan diri menjadi pemilih di kelurahan atau petugas pendaftaran merupakan satu faktor menyebabkan orang Golput. Lebih jauh dari itu, analisis juga mengatakan adanya kesengajaan dari pihak tertentu untuk mengga-galkan orang-orang tertentu memberikan suaranya. Mungkin, pihak ter-tentu ini menganggap bahwa keikutsertaan orang-orang yang sengaja digagalkan memilih ini akan merugikan pihak calon yang didukungnya. Pekerjaan seperti ini tentunya salah menurut hukum dan moral.Tetapi, ini bisa terjadi karena dalam banyak kesempatan politik itu busuk dan kejam.
Menurut Islam, hukum mengangkat kepala negara adalah wajib berdasarkan Alquran, Hadis, ijmak, dan akal. Dalam surat an-Nisa’ : 59, orang-orang Mukmin diperintahkan patuh kepada Allah, Rasul dan penguasa mereka. Dalam hadis riwayat Abu Dawud diriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, Iza kuntum tsalatsah fi safarin fal yu’am-miru ahadahum (Jika ada tiga orang dalam perjalanan, hendaklah mereka mengangkat (pemimpin) salah seorang di antara mereka). Da-lam perjalanan saja diperintahkan agar mengangkat pemimpin. Para sahabat dan tabiin ijmak (sepakat) atas wajibnya mengangkat imam atau kepala negara. Kenyataan sosial juga menunjukkan bahwa manu-sia tidak dapat hidup harmonis tanpa adanya pemerintahan yang sah mengatur pergaulan mereka. Tentang wajibnya mengangkat kepala ne-gara, para ulama dari masa ke masa, seperti al-Baghdadi (w. 429 H), al-Mawardi (w. 450 H), Ibn Hazm (w. 456 H), Ibn Khaldun (w. 708 H), dan ulama belakangan semua menyatakan wajibnya mengangkat kepala negara. Untuk pemimpin negara disebut kepala negara, sedang untuk pemimpin daerah disebut kepala daerah.
Mengenai tugas kepala negara, dalam surat al-Hadid : 25 dije-laskan bahwa di antara tugas Rasul dan para pengikut yang datang se-sudahnya adalah menegakkan keadilan di tengah-tengah manusia dan membantu Agama Allah. Ayat ini menjelaskan bahwa tugas kepala ne-gara, termasuk para pembantunya di semua daerah ada dua, yaitu me-negakkan keadilan dan menolong Agama Allah. Kedua tugas khalifah atau kepala negara ini dipertegas Ibn Khaldun dalam kitab Muqad-dimah-nya halaman 218. Untuk tugas pertama bisa dilakukan orang yang beragama dan orang yang tidak beragama. Tetapi, untuk tugas ke-dua, tidak mungkin dilakukan oleh pemimpin yang tidak beragama, apalagi orang yang tidak suka kepada Agama Allah.
Keterangan ini menunjukkan bahwa dalam Islam, urusan dunia tidak terpisah dari Agama. Masalah politik, ekonomi, kemasyarakatan, dan budaya adalah bagian dari urusan Agama. Kepemimpinan juga ti-dak terlepas dari Agama Islam karena pengurusan Agama juga merupa-kan bagian tugas pemimpin negara. Islam beda dengan paham sekuler yang memisahkan urusan dunia dan politik dari Agama. Karena itu, umat Islam wajib memperjuangkan kepala negara dan pembantu-pem-bantunya di daerah agar muncul dari orang yang diharapkan akan me-ngurusi dan memelihara Agama Allah.
Berikut ini akan dikutip beberapa ayat Alquran terjemahan resmi Departemen Agama RI. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (mu); sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka men-jadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mere-ka.” (al-Maidah: 51). “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi walimu, orang-orang yang membuat Aga-mamu jadi buah ejekan dan permainan.” (al-Maidah : 57) dan “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu.” (an-Nisa’ : 144)
Uraian di atas menunjukkan wajibnya umat memperjuangkan pemimpin, termasuk pemimpin daerah yang dapat diharapkan meme-lihara Agama Allah. Perjuangan minimal yang bisa dilakukan oleh se-mua orang adalah memberikan suaranya, seperti dalam Pilkada untuk mendukung pemimpin yang akan mengurusi Agama Allah. Orang Is-lam yang tidak menggunakan hak pilihnya untuk mendukung calon pe-mimpinnya dan gara-gara tindakan Golput-nya, calon pemimpinnya kalah, maka berdosalah dia. Sebab, tindakan Golput-nya telah menye-babkan kalahnya pemimpin yang akan menegakkan keadilan dan seka-ligus mengurusi Agama Allah. Inilah yang dimaksud dalam judul bah-wa Golput dapat menyebabkan dosa. Orang Islam yang Golput ini me-nanggung dosanya, sedang orang lain akan menanggung musibah yang ditimbulkannya.
Agar tidak terperangkap ke dalam Golput, umat Islam berkewa-jiban mengurus pendaftaran diri menjadi pemilih sesegera mungkin ka-rena masa pendaftran sebentar lagi akan berakhir.


Medan, 19 Desember 2007


DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA


DRAF KOMPILASI HUKUM ISLAM

Oleh: DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA
Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN-SU
Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Tk.I MUI-SU



A. Pendahuluan
Alhamdulillah, Islamisasi hukum di Indonesia telah berlangsung antara lain melalui pengeshan UU Perkawinan tahun 1973, lahirnya UU No. 7 tentang Peradilan Agama tahun 1989, Kompilasi Hukum Islam tahun 1991, UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan Syariat yang disempurnakan dengan UU No. 10 tahun 1998. Islamisasi dimaksudkan di sini adalah penetapan hukum Islam secara nasional yang diberlakukan terhadap pemeluk Agama Islam. Sejak awal kemerdekaan, umat Islam mengharapkan penerapan syariat terhadap pemeluknya. Ternyata, walaupun dalam aspek tertentu, harapan itu mulai menampakkan dirinya. Mudah-mudahan, UU tentang pornografi, perzinahan, perjudian, minuman keras, pakaian, makanan, pergaulan antara perempuan dan laki-laki yang bukan mahram, pendidikan, dan seterusnya akan menyusul sehingga Islam sebagai pedoman hidup yang sempurna benar-benar berlaku di tengah umatnya. Dalam hubungan ini pula diharapkan Nangro Aceh yang sudah diberikan hak otonom untuk menerapkan syariat Islam segera tampil menjadi contoh daerah yang menerapkan syariat Islam secara total pertama di Indonesia. Namun demikian, di tengah berlangsungnya upaya Islamisasi hukum ini, umat Islam dikejutkan dengan draf Kompilasi Hukum Islam yang lain dari Kompilasi Hukum Islam yang lama dan lari dari nas Alquran dan Hadis.
Draf Kompilasi Hukum Islam yang baru ini sungguh asing bagi hukum Islam yang dikenal di kalangan Islam sehingga mengagetkan banyak orang. Ada yang menilainya keluar dari syariat Islam, ada yang menyebutnya Kompilasi Hukum Inkar Syariat, dan bahkan ada yang mengkafirkannya. Sementara orang awam kurang mengikutinya dan bahkan lebih banyak yang sama sekali tidak mengetahuinya. Karena itu, melalui tulisan ini diharapkan agar umat Islam lebih banyak mengetahuinya dan berjuang untuk menggagalkannya.

B. Isi Draf KHI
Kompilasi Hukum Islam yang masih dalam bentuk draf dan belum disahkan oleh DPR mengandung banyak ketentuan aneh. Di antara draf KHI yang perlu menjadi perhatian adalah (a) pasal 2 tentang perkawinan bukan ibadah, tetapi hanya kontrak yang didasarkan pada kesepakatan kedua pihak suami dan istri, (b) pasal 6 tentang wali nikah bukan rukun nikah, (c) pasal 6 tentang pencatatan sebagai rukun perkawinan, (d) pasal 11 tentang status perempuan boleh menjadi saksi seperti laki-laki, (e) pasal 7 tentang batas minimal usia perkawinan 19 tahun, baik calon istri maupun calon suami, (f) pasal 7 tentang gadis usia 21 tahun boleh menikahkan dirinya sendiri, (g) pasal 16 tentang mahar boleh diberikan oleh istri kepada calon suami, (h) pasal 49 tentang kesetaraan suami dan istri pada kedudukan, hak, dan kewajiban, (i) pasal 22 dan 28 tentang sahnya kawin kontrak dan dinyatakan bubar bersamaan dengan berakhirnya masa perkawinan, (j) pasal 51 tentang pencarian nafkah sebagai kewajiban bersama antara suami dan istri, (k) pasal 54 tentang kawin beda agama boleh selama dalam batas untuk mencapai tujuan perkawinan, (l) pasal 3 tentang poligami mutlak tidak boleh, (m) pasal 88 tentang iddah berlaku bagi istri dan suami, (n) pasal 88 tentang iddah didasarkan pada terjadinya akad, bukan pada dukhul, (o) pasal 53 tentang nusyuz bisa terjadi dari pihak suami, (p) pasal 1 dan 59 tentang khulu` dan talak adalah sama sehingga pelakunya boleh rujuk, dan (q) pasal 105 tentang suami dan istri sama-sama memiliki hak untuk rujuk.
Pasal aneh tentang hukum waris antara lain adalah (a) pasal 2 tentang beda agama tidak penghalang waris-mewarisi, (b) pasal 16 tentang anak di luar nikah mewarisi dari ayah biologisnya, dan (c) pasal 8 tentang bagian anak laki-laki dan perempuan dalam harta warisan sama, satu banding satu.

C. Tinjauan Analitik
Telah dikemukakan tujuh belas pasal bermasalah dalam KHI menyangkut hukum nikah dan tiga pasal mengenai hukum waris. Untuk menganalisa secara terperinci satu persatu pasal-pasal ini tentunya membutuhkan lembaran cukup banyak. Namun yang jelas, pasal-pasal yang dikemukakan tadi semuanya bertentangan dengan nas yang jelas, baik dalam Alquran maupun dalam Hadis. Di antaranya yang paling krusial adalah pasal 2 yang menyatakan dengan gamblang bahwa pelaksanaan nikah tidak ibadah. Ini berarti urusan nikah sudah keluar dari urusan Agama dan tidak sakral lagi. Karena itu, cara dan pelaksanannya disusun berdasarkan pikiran manusia saja dan boleh berbeda dengan ketentuan yang ada dalam Alquran dan Hadis. Padahal, aturan dan ketentuannya diatur dalam Alquran dan Hadis. Ini menunjukkan bahwa draf KHI sebenarnya usaha sekulerisasi, profanisasi Alquran dan Hadis, dan sekaligus penolakan status Alquran dan Hadis sebagai sumber hukum Islam. Pasal 3 tentang tidak bolehnya poligami secara mutlak. Pasal ini jelas bertolak belakang dengan Alquran surat an-Nisa’ ayat 3 yang artinya, “Maka nikahi perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat…”Ayat ini menerangkan bolehnya poligami sampai empat, meskipun disyaratkan adil. Maksud adil di sini adalah dalam hal pembagian waktu dan nafkah, bukan sama dalam cinta dan perasaan.Sebab, hal itu tidak mungkin terpenuhi dan tidak mungkin terukur. Inilah yang dimaksud dalam ayat 128 dari surat an-Nisa’. Nabi sendiri berpoligami. Para ulama dari dahulu sampai sekarang sepakat tentang bolehnya poligami walaupun mereka bervariasi tentang ketat dan longgarnya dalam memahamkan pengertian adil. Adapun alasan tim KHI tidak lain hanyalah akal semata. Apalagi, tim yang membuat draf KHI ini termasuk aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Pengarusutamaan Gender.
Perlu diketahui bahwa Jaringan Islam Liberal (JIL) meyakini tiga pokok pikiran Agama yang mungkin diistilahkan “Tiga Rukun Agama JIL”, yaitu (1) semua agama sama, (2)tidak ada hukum dalam Islam, dan (3) Nabi Muhammad manusia biasa. Dari keyakinan semua Agama sama ini lahirlah pasal tentang bolehnya kawin beda agama dan pasal bolehnya beda agama saling mewarisi. Dari keyakinan tidak adanya hukum dalam Islam maka JIL leluasa menetapkan hukum sekehendak hatinya. Mereka pun mengambil hukum-hukum Barat yang sekuler seberapa maunya dan dibangsakan kepada Islam. Mereka pun berkata, “Jika hukum Islam yang selama ini sebenarnya hanyalah hasil ijtihad para ulama, maka kami pun berhak membuat hukum Islam berdasarkan ijtihad kami.” Mengenai pikiran ini perlu dikemukakan bahwa tidak semua hukum Islam hasil pikiran mujtahid. Ketentuan-ketentuan yang jelas dalam Alquran dan Hadis bukanlah hasil ijtihad. Para mujtahid hanya membahasakannya ke dalam terminologi hukum. Kemudian, aktivis JIL berbeda dengan para mujtahid setidaknya dalam (1) para mujtahid menguasai alat-alat untuk menggali hukum dari Alquran dan Hadis, seperti pengetahuan bahasa Arab, tafsir, Hadis, dan qawa`id usul dan qawa`id fikih, (2) tujuan mujtahid adalah semata-mata menggali hukum dari sumber aslinya, bukan untuk mendapatkan bantuan dari siapa pun dan bukan untuk mencocok-cocokkan Islam dengan pemikiran Barat atau Amerika, (3) mujtahid menggunakan metode dan pendekatan yang sesuai dengan bahasa Alquran dan Hadis, bukan metode yang dipaksa-paksakan (4) dalam mengistinbath hukum dan menuliskan-nya, mujtahid tidak mendapat bantuan apa pun dari Non-Muslim, (5) mujtahid siap disiksa oleh penguasa yang jahil karena mempertahankan kebenaran hukum yang diyakininya, dan (6) mujtahid warak dan mengamalkan ilmunya. Kita rindu melihat aktivis JIL yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut.
Khusus mengenai metode dan pendekatan, JIL menggunakan pendekatan filsafat dan akal. Jadi, yang menjadi patokan mereka adalah akal, khususnya cara berpikir Barat. Segala sesuatunya diukur dengan akal. Dalam Islam akal menempati posisi penting. Bahkan, hadis menjadi lemah bila bertentangan dengan akal. Tetapi, akal yang tidak bebas nilai, yaitu akal yang telah mendapat cahaya dari Alquran dan Hadis, bukan akal Goldziher, Schacht, Juynboll, dan orang yang kafir terhadap Alquran dan Hadis.Segala hukum yang tidak sesuai dengan akal--sekali lagi akal Barat yang bebas nilai—akan dibuang dan diganti dengan konsep gender dan pluralisme. Konsep gender dan ide semua agama sama yang dijajakan oleh JIL adalah berasal dari Barat. Jika konsep mereka bertentangan dengan hadis, mereka akan mencari alasan mendaifkan hadis. Jika mereka tidak menemukan alasan melemahkan hadis, mereka dengan mudah berkelah dengan berbagai pendekatan Barat, termasuk pendekatan kontekstual untuk melegitimasi pendapat mereka. Demikian juga mereka memperlakukan Alquran. Tampaknya, pendekatan kontekstual merupakan senjata pamungkas yang paling ampuh meng-obrak-abrik ayat Alquran dan Hadis. “Rukun ketiga” dari “Agama” JIL, yaitu bahwa Nabi Muhammad sebagai manusia biasa juga merupakan landasan yang kuat untuk menyingkirkan Hadis. Karena manusia biasa, Muhammad bisa saja keliru. Untuk mengetahui cara perlakuan JIL terhadap Alquran dan Hadis lebih jelas dapat dibaca dalam buku Fiqih Lintas Agama karya Prof. DR. Nurcholish Madjid dkk.
Pasal 28 tentang sahnya kawin kontrak (mut`ah ) atau kawin selama vakansi juga berbahaya. Selain dasarnya tidak kuat, pasal ini juga membuka kesempatan menambah perzinahan dan bencana bagi kaum perempuan. Di kalangan kaum Sunni kawin mut`ah tidak dibenarkan. Meskipun pada awal Islam Nabi saw. membolehkannya bagi tentara Islam yang lama meninggalkan keluarganya, tetapi kemudian Nabi tidak membolehkannya. Saat ini kaum Syiah saja yang membolehkannya. Tetapi, perlu diketahui bahwa di Iran sendiri nikah mut`ah dipandang aib dan jarang dilakukan. Tiba-tiba di Indonesia yang penduduknya Sunni, aib Syiah itu akan diformalkan menjadi peraturan yang diterapkan kepada kaum Sunni. Selain dasar hukumnya tidak dikenal di kalangan Sunni, bahaya mut`ah juga jelas. Selagi tidak dibolehkan pacaran dalam arti pergaulan bebas, banyak remaja Islam yang berzina, apalagi dibuka pintu, tentunya perzinahan lebih merajalelal lagi. Mut`ah jelas membawa bencana bagi keluarga perempuan. Sebab, kawin kontrak akan banyak melahirkan anak yang tidak berayah. Sekalipun ada iddah, tapi sejak semula si laki-laki tidak berniat nikah parmanen. Ia menikahi si gadis hanya untuk kepentingan waktu tertentu. Paling-paling ia sabar bertahan sampai habis iddahnya. Setelah itu, ia kawin mut`ah lagi dengan gadis yang lain. Maka banyaklah gadis yang akan menjanda dan anak-anak yang tidak berayah. Sementara laki-laki akan menjadi zawwaqun, yaitu laki-laki yang suka merasai rahim banyak perempuan, sedang ini dilarang tegas oleh Nabi saw. Jadi, urgensi pembaharuan hukum Islam yang diklaim oleh JIL sama sekali tidak terlihat di sini. Justru sebaliknya akan menimbulkan bencana, terutama bagi pihak perempuan.
Pasal 54 tentang bolehnya nikah beda agama juga bertentangan dengan Alquran. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 221, “Dan janganlah nikahi orang-orang musyrik perempuan hingga mereka beriman…” dan, “Dan janganlah nikahkan orang-orang musyrik laki-laki (kepada perempuan-perempuan kamu) sehingga mereka beriman.” Sementara perempuan-perempuan Ahlulkitab jelas boleh dinikahi oleh Muslim laki-laki berdasarkan surat al-Maidah ayat : 6, “…dan orang-orang yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Kitab bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahi mereka...” JIL memprotes Alquran mengapa hanya membolehkan nikah dengan perempuan Ahlulkitab, tidak sebaliknya. Karena itu, mereka memaksa Alquran untuk membolehkan laki-laki Ahlulkitab nikah dengan perempuan Islam. Seolah-olah mereka lebih mengetahui daripada Alquran.
Pada pasal 2 dari hukum warisan dibolehkan saling mewarisi orang yang berbeda agama. Pasal ini bertentangan dengan hadis yang artinya, “Seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang Muslim.” Kelompok JIL berupaya mencari alasan mendaifkan hadis ini. Karena tidak menemukan alasannya, mereka berkelah dengan pendekatan kontekstual. Dahulu terjadi hubungan yang kurang baik antara Muslim dan non-Muslim sehingga hadis itu layak melarang waris beda agama. Sekarang—kata mereka—hubungan Muslim dan non-Muslim sudah baik, maka hadis itu tidak diberlakukan lagi. Klaim mereka ini terlalu mengada-ada. Di mana hubungan baik itu terjadi dan sejauh mana baiknya. Apakah hubungan baik sekarang ini sudah dapat menandingi hubungan baik di zaman Rasul di Madinah. Klaim ini bisa diterima oleh orang yang tidak mengerti sejarah. Paham ini jelas sebagai usaha menyahuti paham pluralisme Agama versi Barat. Pemahaman kontekstual ada dalam Islam, tetapi dalam keadaan tertentu. Ketika sebuah nas benar-benar tidak mungkin dipahami secara zahirnya. Dalam Islam dikenal kaedah, Tagayyurul ahkam bitagayyuril ahwal wal azminati wal amkinah (Hukum berubah karena perubahan keadaan, waktu, dan tempat), tetapi disertai dengan kaedah, al-Ashlu filkalami al-haqiqah (prinsip dalam pernyataan adalah makna hakiki) dan al-Manthuqu muqaddamun `alal Mafhumi (pemahaman tekstual didahulukan atas pemahaman kontekstual). Oleh karena itu, babi boleh dimakan dalam keadaan darurat, perbuatan syirik boleh dalam keadaan terpaksa (istikrah), dan suku Kuraisy dahulu syarat untuk menjadi khalifah, tetapi sekarang tidak lagi karena solidaritas Kuraisy tidak sekuat di zaman Rasul dan para sahabatnya. Pemahaman kontekstual dalam Islam dibolehkan tidak secara bebas, menurut keinginan. Sementara pembolehan saling mewarisi antara yang berbeda agama untuk umat Islam di Indonesia khususnya sama sekali tidak diperlukan. Anak yang berbeda agama tidak mendapat warisan dari orang tuanya yang Muslim di Indonesia sudah berlaku sejak masuknya Islam dan sampai sekarang tidak menimbulkan masalah. Paham pluralis agama dalam hal warisan di Indonesia adalah tindakan mengada-ada.

D. Penutup
Uraian di atas menunjukkan kandungan draf KHI yang telah jauh melenceng dari syariat. Sebagiannya telah dianalisa secara ringkas sehingga jelas tergelincirnya dari syariat. Karena itu, umat Islam harus menolaknya dan masing-masing melakukan upaya untuk menggagalkannya. Sebab, jika draf KHI sempat disahkan DPR , maka jadilah hukum yang bukan syariat diterapkan kepada umat Islam di Indonesia. Lebih dari itu, umat Islam Indonesia berarti setuju dengan pemikiran JIL yang mengobrak-abrik Alquran dan Hadis yang sebenarnya merupakan protes terhadap syariat. Sebagai konsekwensinya, umat Islam berarti rela dengan lahirnya kaum protestan Islam.
Untuk menolak draf KHI ini semua lembaga Islam, mulai dari MUI, NU, Muhammadiyah, Al-Washliyah, Al-Ittihadia, Persis, Mathla`ul Anwar, PUI, serta ormas Islam lainnya, perguruan-perguruan tinggi Islam, partai-partai Islam, dan semua badan dan lembaga Islam berkewajiban bangkit mengajukan protes dan penolakan secara tegas terhadap draf KHI. Semua lembaga menyampaikan sikap keberatannya kepada DPR RI, Depag RI, dan pemerintah RI agar draf KHI ditolak dan dinyatakan tergelincir dari syariat.

HUKUM BUNGA BANK DALAM PANDANGAN ISLAM

Dr. H. Ramli Abdul Wahid, MA
Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Tk. I MUI-SU

A. Riba Haram
Dalam kamus al-Mu`jam al-Wasith, jilid I karya Dr. Ibrahim Anis dkk. dijelaskan bahwa riba secara etimologis berarti kelebihan dan tambahan (al-fadhl wa az-ziyadah), sedang menurut syarak adalah kelebihan (tambahan) tanpa imbalan yang disyaratkan kepada salah satu dari dua orang yang melakukan akad. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam jilid V, karya Drs. H. A. Hafizh Dasuki, MA, dkk dijelaskan bahwa para ulama fikih mendefinisikan riba sebagai “Kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan/gantinya.” Maksudnya, tambahan terhadap modal uang yang timbul sebagai akibat suatu transaksi utang piutang yang harus diberikan terutama kepada pemilik uang pada saat utang jatuh tempo.
Memang dalam berbagai kitab fikih ditemukan definisi tentang riba yang sedikit banyaknya berbeda antara satu dengan lainnya oleh para ulama. Namun, setelah mengemukakan beberapa definisi tersebut, Muhammad Baiba dalam kitabnya, al-Adillah al-Wafiyah fi Idhah al-Mu`amalat ar-Ribawiyah, halaman 21 menyimpulkan bahwa pada hakikatnya pengertian riba di kalangan ulama dari berbagai mazhab sama. Mereka berbeda pada redaksi saja. Muhammad Baiba menjelaskan pula bahwa umat telah ijmak (sepakat) atas haramnya riba. Tidak ada yang berpendapatr lain tentang hukum riba. Imam an-Nawawi juga dalam kitabnya, Syarh al-Muhazzab, jilid IX halaman 391 menjelaskan ijmak kaum Muslim tentang haramnya riba. Muhammad Baiba juga menegaskan bahwa banyak sekali ulama yang menerangkan tentang ijmak atas haramnya riba. Dari ulama kontemporer, Dr. Yusuf al-Qardhawi dalam kitabnya, Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram, halaman 14 menegaskan bahwa Islam sangat mengharamkan riba melalui nash-nash yang jelas dengan kandungan makna yang pasti (qath`i).
Adapun dalil haramnya riba dari Alquran antara lain adalah surat al-Baqarah ayat 275, “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”; surat Ali Imran ayat 130, “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” Dalam surat al-Baqarah ayat 278 ditegaskan agar meninggalkan sisa riba, “ Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak menunaikannya (perintah tinggalkan ini) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.”
Sementara itu, Nabi saw. dengan berbagai ungkapan banyak sekali mengeluarkan larangan praktik riba. Antara lain adalah hadis riwayat Muslim, Abdullah berkata : Rasul saw. melaknat orang yang memakan riba dan yang memberikan riba.” Dalam riwayat Muslim juga diterangkan oleh Jabir bin Abdullah ra. : Rasul saw, melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberinya, orang yang menulisnya, dan dua orang yang menjadi saksinya.” Dengan ungkapan lain al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasul saw. bersabda : “Hindari kamulah tujuh hal yang membinasakan. Mereka (para sahabat) bertanya, “ Apa itu ya Rasul? Rasul saw, menerangkan: Syirik kepada Allah, sihir, membunuh orang yang diharamkan Allah tanpa hak, dan memakan riba. Demikianlah seterusnya banyak sekali hadis tentang larangan melakukan riba dan haramnya hasil riba.

B. Bunga Bank Sama Dengan Riba
Selanjutnya timbul pertanyaan, apakah bunga bank sebagaimana yang dipahami secara konvensional dewasa ini sama dengan riba. Sistem bank konvensional tidak ada di masa Rasul, bahkan tidak ditemukan di zaman klasik dan pertengahan, Menurut sementara informasi, bank konvensional pertama sekali didirikan pada tahun 1157 M di Itali. Kemudian, sistem ini berkembang pada seperempat terakhir dari abad XVI dan mulai masuk ke negeri-negeri Islam pada akhir abad XIX. Oleh karena tidak tidak ditemukan di zaman Rasul, maka tidak ditemukan pula nash yang jelas tentang hukum bunga bank konvensional. Bahkan, dalam literatur klasik dan zaman pertengahan pun tidak ditemukan.
Sebagai pedoman hidup sepanjang zaman, Islam harus mempunyai sikap terhadap bunga bank. Suatu hal perlu diingat, bahwa dalil hukum dalam Islam itu tidak hanya Alquran dan Hadis. Selain itu ada ijmak, qiyas (analogi), mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, uruf, syar`u man qablana, dan pendapat sahabat Nabi, Lebih daripada itu, dalam menetapkan hukum, Islam memiliki sejumlah kaedah yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang timbul dalam masya-rakat. Dalam menerapkan dalil dan kaedah ini para ulama menggunakan ijtihad mereka yang kadang-kadang berakhir dengan perebedaan pendapat. Karena itu, mengenai hukum bunga bank juga terjadi perbedaan pendapat. Meskipun sejak lama sudah banyak ulama yang meng-haramkannya, namun masih ada yang memandangnya tidak sama dengan riba. Misalnya, Muhammad Baiba, Yusuf al-Qardhawi, Abu al-A`la al-Maududi, H.Nukman Sulaiman, H. Hamdan Abbas, dan sejumlah ulama telah lama memandang bung bank sama dengan riba. Akan tetapi, Rasyid Rida, A. Hassan, dan M. Qjuraish Shihab memandang keduanya berbeda sehingga hukumnya pun berbeda. Bahkan, di MUI Tk.I SU sendiri masalah hukum bunga bank dibicarakan pada tahun 1985 dan 2003 dan hasilnya masih tidak sepakat atas keharamannya. Akan tetapi, dengan keluarnya fatwa MUI Pusat tentang keharaman bunga bank tahun 2003, maka seluruh MUI tingkat daerah tunduk kepada fatwa MUI Pusat tersebut, termasuk MUI Tk.I SU.

C. Fatwa dan Konsensus Tentang Bunga Bank
Selain dari pendapat-pendapat para ulama secara pribadi mengenai haramnya bunga bank, telah terbentuk beberapa fatwa dan konsensus tentang haramnya bunga bank, baik dalam negeri maupun di luar negeri. Misalnya, Lembaga Pengkajian Islam Al-Azhar (Majma` al-Buhuts al-Islamiyah Al-Azhar) Mesir sejak lama telah mencapai konsensus tentang haramnya bunga bank. Pada tahun 1965 lebih dari 350 ulama dan pakar hukum Islam dari seluruh dunia melakukan pengkajian di Universitas al-Azhar. Ternyata mereka juga sampai kepada kesimpulan bahwa bunga bank termasuk riba yang diharamkan dalam Islam. Pada tahun 1985, Fiqh Academy negara-negara OKI juga menyim-pulkan keharaman bunga bank. Pada tahun 1979 Dar al-Ifta Arab Saudi; pada tahun 1986 Fiqh Academy Muslim World; dan pada tahun 1999 Mahkamah Syari`ah Pakistan semuanya berkesimpulan tentang haramnya bunga bank. Delapan belas fatwa dari keputusan-keputusan para mufti Mesir sejak tahun 1907 sampai 2002 hampir seluruhynya mengharamkan bunga bank.
Secara organisasi, pada tahun 1991 Persis telah menetapkan bahwa bunga bank adalah haram. Pada Muktamar di Bandar Lampung tahun 1992, Nahdhatul Ulama meminta PB NU untuk mengupayakan memiliki bank yang tidak mengandung unsur yang haram. Pada tahun 1998, Muhammadiyah telah menetapkan bahwa hukum bunga bank syubhat yang harus dihindari. Pada tahun 2001, Al-Washliyah menetapkan bunga bank termasuk riba dan hukumnya haram.Terakhir, pada tahun 2003 secara nasional MUI Pusat mengeluarkan fatwa tentang keharaman bunga bank.

D. Keabsahan Fatwa MUI Pusat
Badan yang membidangi hukum dalam MUI adalah Komisi Fatwa. Komisi Fatwa ini terdiri dari para ulama dan pakar hukum Islam. Fatwa MUI tentang haramnya bunga bank disepakati oleh ketua-ketua atau yang mewakili ketua komisi fatwa dari seluruh wilayah dan wakil-wakil dari ormas-ormas Islam, seperti NU, Muhammadiyah, dan Al-Washliyah. Oleh karena itu, para peserta ijtima` yang memutuskan fatwa tersebut adalah orang-orang yang berkompeten dari sudut akademis dan memiliki kewenangan legal di bidangnya secara organisatoris maka ijtihad mereka dalam bentuk fatwa hukum adalah sah. Bahkan, sebelum fatwa dalam skala nasional ini keluar, fatwa dalam sekala internasional pun sudah berulang kali dikeluarkan dalam berbagai kesempatan sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Karena itu, keberatan dari sementara orang tentang fatwa ini tidak perlu menimbulkan keraguan. Apalagi, keberatan itu memang munculnya dari orang-orang yang cara berpikirnya dikenal sekuler, tentunya tidak perlu dipertimbangkan.
Kemudian, dalam kenyataan pun telah jelas bagaimana rapuhnya sistem bunga. Perjalanan perbankan konvensional di Indonesia cukup melelahkan. Kita tidak tahu sampai kapan program penyehatan perbankan yang menerapkan sistem bunga berlangsung. Meskipun telah banyak yang dilikuidasi, namun yang masih hidup terus menjadi beban nasional. Sebaliknya, bank-bank syariah sejauh ini belum ada yang memberati negara dan cenderung berkembang.
Secara historis, sistem bagi hasil berawal di Pakistan dan Malaysia pada tahun 1940-an dalam hal pengelolaan haji. Dalam bentuk embrio perbankan syariah mulai di Mesir pada dekade 1960-an yang berbentuk semacam lembaga keuangan unit desa. Pada tahun 1975 berdirilah Islamic Development Bank (IDB) yang sekarang banyak membantu lembaga-lembaga Islam di dunia, termasuk bidang pendidikan dan pertanian. Lembaga perbankan syariah terus berkembang sehingga pada akhir 1999 tercatat 200 buah di seluruh dunia, termasuk di Eropa, Amerika, dan Australia. Pada tahun 1992, sistem perbankan syariah mulai diterapkan di Indonesia berdasarkan UU No. 7 tahun 1992. Sekarang, bank-bank konvensional sendiri sudah banyak membuka divisi syariah di mana-mana. Ini merupakan bagian dari bukti kemaslahatan yang terkandung dalam sistem perbankan syariah.

MENGGUNAKAN SUARA DALAM PEMILIHAN PIMPINAN

Hukum mengangkat kepada negara adalah wajib berdasarkan Alquran, Hadis, ijmak ulama, dan akal. Alquran surat an-Nisa’ : 59 artinya, Orang-orang Mukmin diperintahkan untuk patuh kepada Allah, Rasul, dan penguasa. Dalam surat al-Hadid : 25 dijelaskan bahwa di antara tugas Rasul dan para pengikut yang datang sesudahnya adalah menegakkan keadilan di tengah-tengah manusia dan membantu Agama Allah. Tentunya, tanpa adanya kepala negara, tuntutan kedua ayat ini tidak dapat terlaksana. Untuk memenuhi tuntutan ayat-ayat ini, umat wajib mengangkat kepala negara. Dalam riwayat Abu Dawud, Nabi saw. bersabda :


“Jika ada tiga orang dalam perjanan, hendaklah mereka mengang-kat (pemimpin) salah seorang mereka.”
Kepada orang yang melakukan perjalanan dalam jumlah tiga orang saja Nabi saw. memeintahkan agar mengangkat satu orang dari mereka menjadi pemimpin mereka. Di samping itu, para sahabat dan tabiin telah ijmak atas wajibnya mengangkat imam atau kepala negera. Kenyataan sosial juga menunjukkan bahwa sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup harmonis tanpa adanya pemerintahan yang sah mengatur pergaulan mereka.
Tentang wajibnya mengangkat kepala negara, para ulama telah memberikan penjelasan. Al-Bagdadi (w. 429 H), Innal imamah fardhun wajibun `alal ummah liajli iqamatil imam (Sesungguhnya, keimaman adalah fardu yang wajib atas umat untuk mendirikan imam (kepala negara). Al-Mawardi (w. 450 H) berkata : Al-Imamah maudhu`atun likhilafatin Nubuwwah fi hirasatid Din wa siyasatid dunya wa `aqduha liman yaqumu biha fil ummah wajibun bil ijma` wa insyazza `anhum al-Asham. (Keimaman dibuat untuk menggan-tikan kenabian dalam menjaga Agama dan mengatur urusan dunia dan mengaqadkannya bagi orang yang melaksanakannya di tengah umat adalah wajib secara ijmak, sekalipun ganjil sendiri pendapat al-Asham.”)
Ibn Hazm (W. 456 h) berkata : Ittafaqa jami`u Ahlis Sunnah wa jami`ul Murji’ah wa jami`usy Syi`ah wa jami`ul Khawarij `ala wujubil imamah, hasyan Najdat minal khawarij. (Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji’ah, seluruh Syiah, dan seluruh Khawarij atas wajibnya keimaman, kecuali (sekte Najdat dari Khawarij.)
Ibn Khaldun (w. 708 H) berkata : Inna nashibal imam wajibun qad `urifa wujubuhu fisy-syar`I bi ijma`ish shahabah wat tabi`in. (Sesungguhnya menetapkan kepala negara wajib dan telah diktahui wajibnya dalam syariat dengan ijmak sahabat dan tabiin.”)
Keterangan para ulama ini menunjukkan bahwa hukum me-negakkan kepala negera adalah wajib. Konsekwensinya, menggu-nakan hak pilih untuk menegakkan kepala negara juga wajib.
Kewajiban menggunakan hak suara di atas menyangkut pemilihan kepala negara. Adapun penggunaan suara untuk pemilihan suara untuk tingkat daerah juga sama. Apalagi dalam konteks otonomi daerah yang sedang dikembangkan di Indonesia. Kebijakan daerah itu sangat besar dan menentukan. Dalam pandangan Islam, pengurusan agama merupakan bagian dari kewajiban kepala negera. Demikian juga jajaran kepemimpinan sesuai dengan jenjang masing-masing, wajib mengurusi Agama. Karena itu, memperjuangkan pemimpin yang diharapkan mampu dan berkemauan mengurusi Agama ada-lah kewajiban umat. Pemimpin yang tidak beragama atau tidak menghayati agama, tidak mungkin diharapkan akan mengurusi Agama. Umat Islam berkewajiban memper-juangkan pemimpinnya sesuai dengan bidang dan wewenang masing-masing, mulai dari menggunakan hak suaranya.
Khusus dalam kondisi persaingan ketat antara perjuangan meme-nangkan pemimpin yang peduli Agama dan perjuangan me-menangkan pemimpin yang tidak peduli Agama, kewajiban untuk memperjuangkan kepemimpinan yang hak menjadi lebih tinggi. Orang Islam yang tidak menggunakan suaranya pasti merugikan perjuangan untuk kepe-mimpinan umat. Jika gara-gara seorang atau beberapa orang Islam tidak menggunakan hak suaranya sehingga menyebabkan kekalahan calon pemimpinnya, maka jelas dia atau mereka akan menanggung dosanya dan semuanya akan menerima musibahnya.

Medan, 8 Desember 2007

DR.H. Ramli Abdul Wahid, MA
Ketua Komisi Dikbud dan Anggota
Komisi Fatwa MUI Tk. I SU


MENEPIS PENGARUH NARKOBA DENGAN SENJATA AGAMA

Oleh : DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA
Ketua Komisi Dikbud MUI SU

Bahaya Narkoba
Narkoba membawa banyak problem yang bahayanya sangat berat dan luas. Dalam bukunya, Masalah Narkotika, B. A. Sitanggang menjelaskan bahwa gejala penyalahgunaan Narkotika umumnya ngantuk, rasa gembira, rasa cemas, bicara tidak jelas, gerakan refleks, loyo, fungsi koordinasi badan tidak sempurna, mata mengecil, hilang selera ketergantungan dan mual. Obat-obat ini pada umumnya menimbulkan bahaya ketergantungan secara fisik dan psikologis, toleransi, kalap dan bersifat menyerang, hilang kesadaran, hepatitis, dan kematian. Secara ringkas, bahaya penyalah-gunaan Narkoba mulai dari otaknya bocor, berbagai macam penyakit ruha-ni, berbagai macam penyakit jasmani, sampai kepada maut.
Bahaya lain dari Narkoba adalah pemiskinan. Orang yang ketergan-tungan pada Narkoba, tidak perduli habis uang untuk mendapatkan jenis Narkoba yang diinginkannya. Pada Konferensi Masyarakat Anti Narkoba dan Keluarga Korban Narkoba pada tanggal 27 Mei 2000 di Hotel Tiara Medan, seniman Anja dari Grup Gita Rolis, Jakarta menceritakan bahwa bagi teman-temannya di kalangan seniman dan artis yang terjerumus menjadi pecandu Narkoba, rumah harga milyaran mudah saja dijual untuk mendapatkan Narkoba. Dalam Konferensi ini juga seorang ibu menceri-takan bahwa anaknya terlibat dalam kelompok pecandu Narkoba. Kata-nya, yang namanya uang dan harta sudah ludas mengobatkan anaknya, tapi tidak sembuh-sembuh. Lima dari teman anknya itu sudah mati waktu itu.
Pengaruh Narkoba bukan hanya menimpa orang yang terlibat, tetapi juga mengenai seluruh anggota keluarga. Dalam Konferensi tersebut, Kama-luddin, SH yang pada waktu itu sebagai Ketua Gerakan Anti Narkoba (GAN) mengatakan bahwa bila seorang anggota keluarga terkena Narkoba, seisi rumah menjadi stress.
Penjara telah menjadi tunangan bagi orang yang terlibat Narkoba. SIB terbitan 14 April 2006 mengutip Kakanwil Departemen Hukum dan HAM SU, Drs. Untung Sugiono, BclP, MM yang mengatakan bahwa saat ini penghuni Lembaga Pemasyarakatan (LP) di SU berjumlah 11.000 orang. 70% dari jumlah ini adalah kasus Narkoba.
Kematian terus mengintai pecandu Narkoba. SIB, 12 Mei 2007 mengutip keterangan Koordinator Satgas IV Badan Narkotika Nasional (BNN), Kom-bes Pol Bambang Haryoko yang menjelaskan bahwa sekitar 30 hingga 40 orang me-ninggal setiap hari akibat penyalahgunaan Narkoba di Indonesia. Diperkirakan bahwa pengguna Narkoba di Indonesia sekitar 3,2 juta jiwa dari jumlah pendu-duk 220 juta jiwa.

Menepis Pengaruh Narkoba
Mengingat bahaya dan dampak negatif yang ditimbulkan Narkoba serta penyebarannya yang demikian deras, upaya mengatasinya tidak mungkin ditunda lagi dan tidak mungkin ditangani oleh pemerintah saja, melainkan semua pihak dan semua individu masyarakat. Di antara upaya preventif yang dapat dilakukan adalah melalui pemantapan iman dan pengetahuan Agama. Semua orang beragama dapat mengambil bagian dalam upaya ini sesuai jalur masing-masing. Namun, yang menempati barisan terdepan dalam penguatan iman dan pendalaman Agama adalah para ustaz, muballig, dan dai. Tidak kurang pentingnya peran para guru dan orang tua.
Iman merupakan benteng batin yang paling ampuh menangkis godaan Narkoba. Seorang yang memiliki iman yang kuat tidak akan bisa diterobos Narkoba. Bagi orang yang beriman, hidup bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat. Bahkan, kehidupan di akhirat sangat panjang dan bahkan abadi, sedang kehidupan dunia sa-ngat terbatas waktunya. Seorang yang beriman meyakini bahwa mengkonsumsi Nar-koba hukumnya haram, dosa besar, dan akan menyeretnya ke dalam azab api neraka. Dalam hadis sahih riwayat al-Bukhari Nabi saw. bersabda yang artinya, “Tidak berzina orang yang berzina ketika berzina ia beriman. Tidak minum khamar orang yang minum khamar ketika minum khamar ia beriman. Dan tidak mencuri orang yang mencuri ketika mencuri sedang ia beriman.” Hadis ini menjelaskan bahwa selama iman bersemayam di dalam dada, seorang Mukmin tidak berani melakukan perbuatan haram, termasuk mengkonsumsi Narkoba. Orang berani melakukan itu hanya ketika imannya tercabut.
Upaya kedua adalah memilih teman. Pergaulan sangat berpengaruh kepada sikap dan prilaku seseorang, terutama di masa anak-anak dan remaja. Sebab, pengalaman seorang remaja masih sangat terbatas. Ia belum terlalu memikirkan akibat jangka panjang dari tindakannya. Orang dewasa sendiri pun bisa terpengaruh dengan ling-kungan. Berteman dengan orang yang terlibat Narkoba, kalau pun tidak cepat, lama-lama seorang akan terpengaruh dengan teman itu. Seseorang terpengaruh dengan temannya, mungkin sebab bujukan atau rasa kesetiakwanan atau paksaan. Sebuah persahabatan tidak mungkin terbangun tanpa adanya proses saling mempengaruhi yang akhirnya melahirkan persamaan sikap.. Berkenaan dengan pengaruh perteman-an inilah Rasul saw. bersabda, al-Mar’u `ala dini khalilih, falyanzur ahadukum man yukhalilu (Seorang itu menurut agama temannya. Karena itu, seseorang kamu hen-daklah memperhatikan siap yang akan ditemaninya). Mau selamat dari Narkoba, ja-nganlah dekat-dekat dengan orang Narkobaan. Mau selamat dari judi janganlah ber-teman dengan orang yang suka main judi. Agar tidak terjerumus ke dalam lembah prostitusi, janganlah dekat-dekat dengan orang yang suka cerita porno dan perzinaan.
Selain upaya itu adalah dengan memahami dan menghayati bahaya Narkoba. Kadang-kadang orang terjerumus ke dalam suatu maksiat karena tidak memahami akibatnya. Di atas sudah disebutkan betapa mudrat yang disebabkan Narkoba. Dengan menyadari itu semua, seorang tidak akan berani mencoba Narkoba. Alquran mengingatkan dalam surat al-Baqarah ayat 195, Wa la tulqu bi aidikum ilat tahlukah (Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan). Dalam sebuah ha-dis, Rasul saw. bersabda, La dharara wa la dhirara (Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain).
Diketahui bahwa ada sejumlah faktor yang menyebabkan seseorang terlibat dalam penyalahgunaan Narkoba yang antara lain adalah : (1) keinginan menonjolkan diri sebagai orang pemberani, (2) dorongan ingin tahu, (3) ikut-ikutan, (4) solidaritas kelompok, (5) ingin buat sensasi, (6) ingin menguji nyali, (7) iseng dan meng-hilangkan rasa bosan, (8) sikap berontak dan protes terhadap orang tua atau guru, (9) pelarian dari problem yang sedang dihadapi, (10) karena terancam atau dipaksa oleh teman. Seorang yang sadar akan mudrat yang ditimbulkan Narkoba akan mampu menghindarkan diri dari semua faktor ini. Dalam pergaulan ia selalu mawasdiri. Mi-salnya, duduk-duduk bersama teman di pinggir jalan sangat berpeluang mengubah sikap dan pikiran kepada hal-hal negatif. Sehubungan dengan ini Rasul saw. ber-sabda, Iyyakum wal julusa fiththuruqat (Jauhi kamulah duduk-duduk di jalan). Orang melakukan kejahatan karena ada peluang. Jika peluang itu dihindari, maka orang akan selamat dari melakukannya.
Khusus bagi remaja, penguatan cita-cita ingin jadi apa setelah dewasa juga satu pertahanan batin yang kuat menolak pengaruh Narkoba. Kesempatan hidup ini sangat singkat. Masa sukses dan masa menikmati kesuksesan mungkin tidak lebih dari empat puluh tahun. Dalam sebuah riwayat, Nabi dikatakan bersabda yang artinya, “Rebutlah lima sebelum datangnya lima perkara, hidupmu sebelum matimu, mudamu sebelum tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, waktu lapangmu sebelum waktu sibukmu, waktu kayamu sebelum miskinmu.” Allah swt. juga menantang manusia siapa yang kerjanya paling baik dalam surat Hud ayat 7 yang artinya, “agar Dia menguji siapa di antara kamu yang amalnya lebih baik.” Seorang yang memiliki cita-cita yang kuat akan bekerja keras untuk mewujudkannya. Dengan demikian peluang untuk menyia-nyiakan waktu tidak ada sehingga godaan-godaan yang akan menyim-pangkannya dari cita-cita itu, termasuk Narkoba otomatis terhindar. Orang yang ti-dak mempunyai cita-cita dalam hidup akan bisa terpengaruh dengan Narkoba.

Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang terjerumus ke dalam praktik Narkoba akan kehilangan masa depannya. Keberhasilan untuk pulih kembali secara murni dari dampak negative Narkoba sangat kecil. Seandainya pun berhasil pulih, ia telah menyia-nyiakan umurnya dan modal-nya untuk selama masa pemulihan. Karena itu, orang-orang yang terlanjur jauh dalam praktik Narkoba dapat disebut sebagai lost generation (generasi yang hilang), yakni generasi yang tidak dapat diperhitungkan lagi. Pendeknya, penyalahgunaan Narkoba sama sekali tidak ada baiknya, melainkan buruknya sangat banyak sampai kepada maut.
Meskipun penyebaran Narkoba dewasa ini sangat deras sehingga sulit dibendung, namun terlibat atau tidaknya seseorang dalam Narkoba sangat tergantung pada dirinya sendiri. Jika memang ia tidak ingin menghancurkan masa depannya, ia dapat menghindari Narkoba dengan berbagai cara pencegahan yang diterangkan di atas. Jika terlanjur kecanduan, pengobatan dan pertobatan melalui rehabilitasi keaga-maan merupakan cara penyembuhan yang sangat mujarab.

Penulis adalah Sekretaris Komisi Dikbud MUI SU

Medan, 17 Nopember 2007.

DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA

Rabu, 20 Februari 2008

PENGALAMAN ANEH DALAM SAKARAT

Oleh : DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA
Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN-SU
Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI-SU




A. Pendahuluan
Banyak informasi Al-Quran dan Hadis tentang hal gaib, baik dalam kehidupan dunia maupun sesudah mati yang tidak dapat diamati dengan pancaindra dan tidak pula dapat dieksperimen sehingga tidak dapat diterima orang yang tidak beriman. Bahkan, orang Mukmin juga ada yang merasa terpaksa percaya kepadanya. Akalnya tidak dapat menerimanya, tetapi karena masih ragu untuk keluar dari Islam, sementara hal itu diberitakan Al-Quran dan Hadis serta para guru pun mewajibkannya untuk beriman, ia pun mengaku percaya walaupun hatinya tetap ragu.
Sebenarnya, dalam kehidupan pun banyak terjadi peristiwa ganjil yang sulit diterima akal, tetapi berlangsung dalam kenyataan. Misalnya, di Simpang Talang, Puncak, Bogor Haji Asyari melakukan operasi kilat terhadap berbagai penyakit benjolan, daging tumbuh, dan kanker. Penulis sendiri mernyaksikannya dan bahkan sempat dioperasi pada bagian perut untuk mengeluarkan batu. Meskipun batunya tidak ditemukan, namun pisau sempat ditancapkan tiga kali ke perut dan kemudian ditutup dengan hansaplast. Bekas lukanya pun hilang setelah satu hari. Di Pasar Samarang, Garut seorang yang bernama Haji Aron melakukan hal yang sama. Ia mudah saja mengeluarkan daging tumbuh dan menutup bekas operasinya dengan hansaplast dan berselang beberapa waktu bekasnya pun hilang. Di belakang Polonia, seorang yang bernama Syuib Harahap juga melakukan pengobatan secara aneh. Ia selalu melakukan pengobatan secara duet. Setelah membaca doa, biasanya ia memindahkan penyakit pasiennya kepada teman duetnya. Kemudian, ia berkomunikasi dengan penyakit itu melalui teman duetnya yang sudah kesakitan itu dan setelah mengetahui identitas penyakit, ia mengusirnya. Sementara pasiennya betul-betul merasa penyakitnya telah hilang. Setelah beberapa waktu, kadang-kadang penyakit itu masuk lagi kepada pasiennya sehingga pengobatan yang sama diulangi lagi untuk beberapa kali.
Kejadian aneh lain adalah seorang ibu melahirkan bayi kura-kura pada tahun lima puluhan. Pengasuhnya bernama Hafsah yang dulunya tinggal di Sei Kepayang Darat, Asahan dan sekarang menetap di Riau. Kura-kura itu minum susu dan sempat hidup beberapa hari. Seorang gadis cilik yang nama panggilannya, Semi di Perkebonan Adolina, Kampung Staman, Perbaungan ketika berumur sembilan tahun sempat mati beberapa jam. Kain kapannya sudah diambil dari kantor kebun papan keranda sudah dipotong dan alat-alat jenazahnya sudah disiapkan, tiba-tiba ia bergerak dan hidup kembali sampai sekarang. Sekarang ia masih hidup sudah menjadi nenek tinggal di Perbaungan. Kemanakannya sekarang tinggal di Garu III, Gang 4, Simpang Marindal, Medan.
Dalam kajian tauhid, kejadian-kejadian aneh dinamai dengan berbagai sebutan. Jika terjadi pada calon seorang nabi disebut irhash, pada seorang nabi disebut mukjizat, pada seorang wali Allah disebut karamat, pada seorang Mukmin yang saleh disebut ma`unah, pada seorang fasik bila sesuai dengan keinginannya disebut istidraj atau sihir dan bila berbeda dengan keinginannya disebut istihanah. Contoh-contoh dikemukakan untuk membuktikan bahwa kejadian-kejadian yang tidak masuk akal bisa terjadi dengan izin Allah. Demikian jugalah pemberitaan Al-Quran dan Hadis tentang wujud jin dan makhluk halus lainnya, pencabutan nyawa oleh Malaikat Izrael, azab kubur, dan peristiwa kiamat.
Dalam tulisan ini dikemukakan ayat 93 dari surat al-An`am yang artinya, “Dan sekiranya engkau melihat di waktu orang-orang zalim dalam sakarat maut sedang malaikat memukul dengan tangan mereka (seraya berkata), keluarkanlah nyawamu, pada hari ini kamu dibalasi dengan siksa penghinaan karena kamu mengatakan terhadap Allah yang tidak benar dan kamu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.”
Ayat ini menjelaskan bahwa orang zalim, termasuk orang yang maksiat kepada Allah akan dipukuli malaikat ketika hampir mati atau dalam keadaan sakaratulmaut dan akan mendapat azab penghinaan. Malaikat dan perlakuan mereka terhadap orang yang hampir mati ini tentunya tidak pernah disaksikan orang. Akan tetapi, keterangan di bawah ini nanti akan menceritakan kejadian itu. Adapun azab penghinaan mengandung makna penyaksian orang banyak terhadap seseorang dalam keadaan tidak terhormat.

B. Pengalaman Sakarat
Sehubungan dengan pengalaman sakaratulmaut, berikut ini dikemukakan kejadian-kejadian luar biasa.
1. Abdullah bin Ahmad menceritakan bahwa ia sudah memegang tali dari kain untuk mengikat dagu ayahnya jika meninggal yang dalam sakaratulmaut. Tiba-tiba Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Tidak, jauhlah, tidak, jauhlah.” Kemudian ia sadar. Abdullah bertanya mengapa hal itu diucapkannya. Imam Ahmad menjelaskan bahwa setan berdiri setentang dengannya sambil menggigit jarinya dan berkata, “Hai Ahmad, cobalah uji aku dan tarik kepadamu.” Aku menjawabnya dengan kalimat itu.
2. Ketika Imam Abu Ja`far al-Qurthubi dekat wafat, orang mengajarinya, “Ucapkanlah, La ilahaillallah. Ia berkata, “Tidak.” Ketika ia siuman, orang menceritakan hal itu kepadanya. Imam Abu Ja`far menerangkan bahwa dua orang setan datang kepadanya. Satu sebelah kananya dan yang satu lagi sebelah kirinya. Seorang di antara mereka berkata, “Matilah dalam agama Yahudi karena itulah agama yang terbaik.” Seorang lagi berkata, “ Matilah dalam agama Kristen karena itulah agama yang terbaik. Menjawab tawaran itulah Imam Abu Ja`far berkata, “Tidak.”
3. Seorang pemimpin komunis terkemuka di Medan menjalani operasi karena penyakit tertentu. Dalam keadaan di larang bergerak, tiba-tiba dia bergerak dengan sekuat tenaganya karena mengelak dari anjing yang hendak menerkamnya. Tidak lama kemudian ia meninggal.
4. Abdullah bin Rawahah pingsan. Seorang perempuan meratapinya. Ketika siuman, Abdullah menjelaskan bahwa setiap perempuan itu meratapinya malaikat yang berdiri memegang besi bertanya kepadanya apakah benar yang dikatkan perempuan itu. Abdullah menjawab, “Tidak.” Sekiranya ia menjawab benar tentunya malaikat itu memukulkan besinya.
5. Kiyai Fathul Bari di desa Telanger, Soko Hanah, Simpang (Madura) pingsan selama 45 menit pada Ahad, 9 Agustus 1970. Ia telah dinggap mati dan ditangisi oleh keluarga. Tiba-tiba dia sadar kembali. Karena peristiwanya tersebar luas, wartawan Harian Abadi sempat datang mewawancarainya. Kiyai menerangkan pengalamannya antara lain bahwa ia merasa sangat panas, lapar dan haus. Seorang yang menyerupai neneknya yang telah lama meninggal datang sambil membawa makanan dan minuman yang sangat butuhkannya. Orang itu berkata, “Kalau engkau mau menerima pemberian saya ini, tentunya engkau akan masuk sorga seperti hal saya dulu dapat masuk sorga karena menerima pemberian yang serupa.” Tawaran itu tolaknya. Dia melihat catatan kebaikan dan kejahatan. Dia nerasa tidak berada di dunia. Rohnya keluar dengan sakitnya seakan-akan tubuhnya hancur luluh. Ratap dan tangisan orang-orang sekitarnya sangat mengganggu jasadnya yang hancur itu. Dia dibaringkan. Katanya dia melihat semua sanak keluarga. Dia dibawa melayang ke alam luas. Dia dibawa ke sebuah tempat yang berbau busuk. Di sana laki-laki dan perempuan dalam keadaan yang menyedihkan. Tapi, penjaganya menolaknya. Kemudian, dia dibawa ke tempat yang lain yang keadaannya lebih baik. Tapi, di sinipun dia ditolak. Saat itulah mungkin dia sadar kembali. Namun, pada tanggal 10 Agustus 1970 Kiyai tersebut benar-benar menghembuskan nafasnya terakhir.
Peristiwa-peristiwa di atas menunjukkan bahwa orang yang dalam sakaratulmaut melihat sesuatu yang orang di sekitarnya tidak melihatnya. Demikian jugalah kejadian orang-orang zalim dipukuli malaikat, sedang orang sekelilingnya tidak menyaksikannya. Bahkan, mereka yang dalam sakaratulmaut menyaksikan bermacam-macam pemandangan sebagaimana yang diberitakan dalam Al-Quran dan Hadis.

C. Azab Kehinaan
Di dalam Al-Quran disebutkan beraneka macam azab. Ada yang disebut azabal hariq yang artinya siksa bakar, azaban nar yang artinya siksa api neraka. Kedua macam siksaan ini tidak mesti disaksikan orang lain. Sementara siksa penghinaan mengandung makna bahwa kejadian itu ditonton orang banyak. Sehubungan dengan pengertian ini, mungkin contoh-contoh berikut bisa dikaitkan dengan maksud tersebut.
1. Seorang jawara meninggal tiba-tiba pada Senin malam sehabis Isya bulan Oktober 2000 di Kampung Hulu, Jawa Tengah. Darah keluar dari mulut, hidung, mata, dan telinga. Sekujur tubuh membengkak dan busuk sehingga sarung yang dipakainya tak muat lagi. Setelah anaknya datang dari Jakarta, pada hari Rabunya jam 11.00 jenazah disalatkan, tetapi dalam jarak lima meter karena orang yang menyalatkan tak tahan mencium baunya. Orang juga enggan mengusung kerandanya karena bau dan darah serta nanah merembes di kain kapannya. Mayat ini ternyata adalah putra seorang Kiyai yang mempunyai pesantren dan jenazah sendiri pernah menjadi santri selama enam tahun dan jago ilmu nahu, saraf dan memaknai Alquran. Ketika berkeluarga, ia mengalami kesulitan hidup dan akhirnya berubah sikap dan menjadi jawara yang ditakuti masyarakat sehingga dia makan, menganmbil rokok dari warung orang tanpa bayar, suka memukul isteri dan menipu.
2. Seorang janda miskin dan telah berusaha berdagang kecil-kecilan tapi gagal. Akhirnya dia putus asa dan berselingkuh sampai melahirkan anak zina dua kali dan pada hamil ketiga dari hubungan gelap ia mengalami pendarahan dan meninggal pada hamil empat bulan. Jenazahnya sangat berat dan membesar dan tidak dapat dipisahkan dari keranda sehingga dikubur bersama kerandanya.
3. Seorang kakek tua dan kaya di Desa Sukamaju, Jawa Tengah meninggal pada tahun 80-an. Mayatnya membesar dan memanjang sehingga kuburannya dibesarkan tiga kali, tapi tidak juga cukup.Penggalian kuburannya juga cukup aneh. Kalajengking yang besar-besar berwarna hijau ke hitam-hitaman bermunculan di mana-mana. Dicoba pindah dua kali tetapi kalajengking bermunculan sehingga jenazah dimasukkan ke liang pertama walaupun kalajengking penuh menunggunya. Karena terus memanjang, mayat terpaksa dibengkokkan. Rupanya, kakek ini suka menggeser batas tanah termasuk terhadap tanah saudaranya sendiri.
4. Seorang perempuan pengkhayal ingin kaya. Setelah kawin 10 tahun namun kekayaan yang dikhayalkannya tidak diperolehnya akhirnya dia berselingkuh dengan pedagang kelontong. Kisah ini terjadi di Blora, Jawa Tengah. Dia cerai dari suaminya dan kawin dengan teman selingkuhnya. Karena mengetahui tujuannya, suami kedua ini pun menceraikannya. Berselang beberapa tahun, dia kembali kepada suaminya pertama. Untuk mewujudkan khayalannya, dia melakukan persugian sambil berdagang rempah-rempah. Dagangnya tumbuh berkembang. Dia pun mulai memiliki truk, mobil, rumah dan kemewahan lainnya. Suatu hari, dia bersama suaminya pergi mengambil bahan dari desa yang agak jauh. Waktu pulangnya, dia mengantuk dan tidur sendirian di belakang. Tiba-tiba, terjadi kecelakaan yang mengakibatkan kepalanya hancur, otaknya berserakan ke luar, dan ususnya pun terburai keluar. Dia mati di tempat dan ketika dikuburkan, air warna darah merah pekat serta bau amis keluar dari sela-sela kuburannya. Dia pun dimasukkan ke dalam kuburan yang terendam air darah itu. Masyarakat menduga bahwa ini akibat persugian yang dilakukannya.

D. Penutup
Uraian di atas menunjukkan bahwa seorang yang sedang dalam sakarat menghadapi berbagai cobaan dan pengalaman, sedang orang yang hadir mengelilinginya tidak melihatnya. Ini sejalan dengan keterangan Khalifah Uman bin Khattab, Hadirilah orang-orang yang hendak mati di antara kamu dan ingatkanlah mereka. Sebab, mereka sedang melihat apa yang tidak kamu lihat dan ajarkanlah kepada mereka La ilahaillalllah. Suatu pelajaran bahwa cobaan itu bukan hanya dihadapkan kepada orang-orang zalim, tetapi juga kepada orang alim dan saleh. Karena itu, orang-orang saleh dahulu sangat takut mengingat sakarat. Karena dalam sakarat seorang merasa panas, sangat lapar dan dahaga. Mereka khawatir kalau tidak mampu melawan godaan itu sehingga mati dalam kufur. Nabi sendiri memohon agar Allah meringankan sakaratulmaut baginya dalam doanya, “Allahumma hawwin `alayya sakaratulmaut.” (Ya Allah, ringankanlah bagiku sakaratulmaut). Bila para ulama dan orang saleh menghadapi cobaan dalam sakarat, tentunya orang biasa lebih wajar menerima cobaan itu.
Uraian di atas juga menggambarkan bagaimana orang-orang maksiat ketika dikuburkan. Allah menunjukkan beraneka macam kejadian aneh terjadi pada diri mereka setelah mati sebelum dimakamkan dan dapat disaksikan orang banyak. Kejadian-kejadian ini diturunkan dari buku Pedoman Mati Menurut Al-Qur,’an dan Hadis karya H.M.Arsjad Thalib Lubis dan majalah Hidayah edisi 35, 36, 37, dan 38 tahun 2004. Tampaknya, cerita tentang pengalaman dan kejadian ini dapat memperkuat informasi ayat tersebut di atas.



Medan, 14 Februari 2004


DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA

SALAT KHUSYUK

By: DR.H. Ramli Abdul Wahid, MA

Kualitas pelaksanaan salat bervariasi, antara lain salat khasyi`un, salat daimun, salat sahun. Yang terbaik adalah salat khasyi`un, yakni salat orang-orang yang khusyuk. Faedah salat khusyuk banyak, antara lain membawa ketenangan hati, terhindar dari kemaksiatan, disiplin, bahkan sampai kepada keterlenaan munajat dengan Allah swt.
Syarat-syarat zahir salat khusyuk antara lain : (1) sempurna syarat sahnya, yaitu badan, pakaian, dan tempat bersih dari najis berat, najis pertengahan, dan najis ringan, badan bersih dari hadas besar dan hadas kecil, menutup aurat dengan sempurna, mengetahui masuk waktu, menghadap kiblat, dan mengetahui syarat dan rukun salat, (2) keadaan bebas dari hiruk pikuk yang mengganggu pendengaran, (3) keadaan bebas dari gambar, lukisan, dan benda-benda yang mengganggu penglihatan, (4) keadaan fisik segar, tidak mengantuk dan tidak lelah sehingga salat dilaksanakan dengan semangat, (5) keadaan udara hendaknya bagus sehingga tidak terasa gelisah dalam salat, (6) takbiratulihram hendaknya pendek dan tidak panjang.
Syarat-syarat batin salat khusyuk antara lain : (1) senantiasa hadir hati dalam salat, (2) memahami segala bacaan dan perbuatan, (3) membesarkan Allah, (4) rasa kagum atas kebesaran Allah dan merasakan kekerdilan diri, (5) rasa malu terhadap Allah atas ketidaksempurnaan bacaan dan perbuatan salat, (6) khawatir kalau salat tidak diterima Allah karena kekurangan pelaksanaannya, (7) rasa harap diterima Allah karena Ia Maha Pemurah dan kita telah berusaha maksimal melakukan salat.


H. Ramli Abdul Wahid