Kamis, 01 Januari 2009

HUKUM SALAT JAMAK DAN QASAR

(SEBELUM BERANGKAT, SELAMA MUSAFIR, DAN SETELAH KEMBALI)
Oleh : PROF. Dr. H. Ramli Abdul Wahid, MA

A. Kemudahan dalam Islam
Islam adalah Agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Sebagai manusia, Muslim tidak selamanya berada di tempat tinggalnya. Ka-dang-kadang ia sedang menempuh perjalanan jarak jauh. Perjalanan jarak jauh atau musafir sedikit banyaknya akan menghadapi kesu-litan. Di antaranya kesulitan mencari air, kesulitan mencari tempat salat, dan kesulitan menjaga kebersihan pakaian dan sebagainya. Is-lam memperhatikan keadaan manusia. Karena itu, dalam Islam ada yang disebut hukum `azimah (dasar) dan ada yang disebut rukhshah (kemudahan). Dalam keadaan normal, berlaku hukum `azimah dan dalam keadaan tidak normal selalu berlalu hukum rukhshah.
Salat yang lima kali adalah fardu atas setiap Muslim. Demikian tingginya kewajiban melaksanakan salat fardu sehingga orang yang malas menger-jakannya berdosa besar dan dihukum bunuh. Orang yang mengingkari wajibnya salat menjadi keluar dari Islam. Namun, bagi orang yang sedang musafir, pelaksanaan salat fardu diberi keringanan. Orang yang mu-safir boleh memendekkan salat yang bangsa empat rakaat menjadi dua rakaat dan menggabung antara salat Zuhur dan Asar dan salat Magrib dan Isya. Memendekkan salat yang empat rakaat menjadi dua disebut qasar dan menggabung antara Zuhur dan Asar serta antara Magrib dan Isya disebut jamak.
Pelaksanaan salat jamak dan qasar mempunyai ketentuan yang berbeda dari ketentuan salat yang biasa. Dalam makalah ini, sebagai ketentuan ber-kaitan dengan jamak dan qashar itu akan dikemukakan.
B. Jarak Perjalanan Boleh Qasar
Para ulama telah berbeda pendapat dalam menentukan jarak musafir yang membolehkan qashar salat. Mazhab Hanafi menentukan jaraknya minimal perjalanan tiga hari tiga malam dan tidak mesti perjalanan itu dari pagi sampai sore, tetapi memadalah perjalanan dari pagi sampai tergelincir matahari. Perhitungan satu hari adalah perjalanan sedang dengan istirahat yang biasa. Sementara jumhur ulama menentukan jarak perjalanan yang membolehkan qashar itu perjalanan selama dua hari atau dua marhalah dengan perjalanan berbeban. Menurut DR. Wahbah az-Zuhaili, jarak perjalanan tersebut ditaksir empat barid atau 16 farsakh atau 48 mil. Satu mil sama dengan 3500 hasta. Ini ditaksir 89 km atau tepatnya 88,704 km. Dengan perjalanan jarak yang demikian seseorang boleh mengqasar salatnya sekalipun perjalanan itu sekarang ini bisa ditempuhnya da-lam satu jam, seperti naik pesawat. Sebab, ia tetap masuk ke dalam kategori orang yang menempuh perjalanan empat barid.
Ketika menjelaskan perjalanan dua hari ini, H.M. Arsyad Thalib Lubis mengutip perhitungan Sayid Ahmad Bek Al-Husaini bahwa jaraknya 89040 meter. Sementara H. Sulaiman Rasjid menjelaskan jarak perjalanan dua hari ini 80,640 km. Sejauh ini terlihat perbedaan perhitungan jarak perjalanan boleh qashar itu antara DR. Wahbah az-Zuhaili, H.M. Arsyad Thalib Lubis, dan H. Sulaiman Rasjid. Perbedaan ini timbul ketika mengalihkan perhitungan dari bilangan yang sangat relatif, yaitu hitungan perjalanan perhari kepada hasta kepada bilangan yang konkrit, yaitu km. Karena masalahnya relatif maka pengamalannya pun tidak harus kaku. Hitungan yang mana saja pun boleh diamalkan. Inilah syarat minimal jarak perjalanan yang membolehkan qashar, yakni memen-dekkan salat Zuhur, Asar, dan Isya yang masing-masing empat rakaat menjadi dua rakaat. Ini juga menjadi syarat bagi salat jamak, yakni menggabungkan antara salat Zuhur dengan Asar dan antara Magrib dengan Isya, baik dikerjakan pada waktu salat yang pertama (jamak taqdim) maupun pada waktu salat yang kedua (jamak ta’khir).
C. Jamak/Qasar Sebelum Musafir
Menurut DR. Wahbah az-Zuhaili, para ulama telah sepakat bahwa permulaan perjalanan yang boleh padanya qashar salat dan seumpamanya adalah keluarnya orang yang musafir dari rumah-rumah negerinya (kota-nya) dan negeri (kota) itu menjadi di belakangnya atau telah melewati bangunan arah tempat ia keluar. Sebab, mukim tergantung pada mema-sukinya maka musafir pun pada keadaan keluar darinya. Firman Allah, “Wa iza dharabtum fi al-ardh falaisa `alaikum an taqshuru min ash-shalah” (Jika kamu melakukan musafir di muka bumi maka tidak ada dosa atas kamu untuk mengqashar salat) Wahbah berkomentar, “Tidaklah seseorang itu musafir sebelum keluar.”
Imam an-Nawawi memberikan penjelasan detail tentang kapan seorang yang berniat musafir dibolehkan memulai qashar sebagai berikut. Tidak boleh melakukan qashar kecuali meninggalkan tempat tinggal (iqamah). Dalam ayat, Allah menggantungkan qashar pada musafir. Jika seorang yang melakukan perjalanan itu penduduk satu negeri (kota), ia tidak mengqashar sampai ia meninggalkan bangunan negeri (kota) itu itu. Jika ia penduduk satu kampung yang di sebelahnya ada kampung lain, ia mengqashar dengan meninggalkan kampungnya, jika ia penghuni kemah-kemah dan kemah-kemah itu menyatu, ia tidak meng-qasar sampai ia meningalkan semua kemah itu, dan jika kemah-kemah itu terpisah-pisah, ia meng-qashar setelah ia meninggalkan kemah-kemah yang berdekatan dengan kemahnya. Imam Syafii dan sahabat-sahabatnya berkata bahwa seseorang musafir dari negeri (kota) yang memiliki tembok khusus, disyaratkan ia melewati tembok itu. Sebab, ia belum dihitung musafir sebelum melewatinya. Jika telah ia telah melewatinya, ia diberi rukhshah untuk qashar dan lainnya. Jika negeri (kota) itu terbelah dua karena dipisahkan oleh sungai seperti Bagdad, maka orang yang hendak musafir itu menyeberang dari sebelah ke sebelah, ia tidak boleh qashar sampai ia meninggalkan bangunan di belahan kedua itu karena kedua belahan(bagian) itu adalah satu ne-geri (kota). DR. Wahbah az-Zuhaili juga menjelaskan ketidakbolehan seorang yang hendak musafir mengqasar salat sebelum keluar dari negeri atau kampungnya menurut empat mazhab.
Keterangan ini menunjukkan bahwa menurut empat mazhab dan jumhur ulama tidak boleh qashar sebelum keluar dari negeri (kota) atau kampung tempat tinggal. Namun demikian, Ibn al-Munzir menceritakan dari al-Haris ibn Abi Rabi`ah ketika hendak musafir, al-Haris salat bersama jemaah dua rakaat di rumahnya. Di antara mereka ada al-Aswad ibn Yazid dan banyak dari sahabat Ibn Mas`ud. Namun Imam an-Nawawi menilai pendapat ini fasid (salah) karena pendapat ini berlawanan dengan sebutan musafir
Adapun tentang jamak, menurut mazhab Hanafi hanya boleh bagi orang yang sedang ihram haji. Jamak tagdim ketika berada di Arafah dan jamak ta’khir ketika di Muzdalifah. Menurut mazhab Maliki, jamak taqdim boleh dengan salah satu syarat bahwa tergelincir mata-hari ketika turunnya orang yang musafir untuk istirahat. Ini berarti sedang dalam perjalanan (safar), bukan di negeri tempat tinggal. Menurut mazhab Syafii, salah satu syarat jamak taqdim adalah berkekalannya perjalanan (safar) sampai memasuki salat kedua dengan takbir al-ihram sekalipun terputus perjalanan (safar) itu di tengah salat yang kedua. Jika terputus perjalanan (safar) sebelum masuk ke dalam salat kedua maka jamak tidak sah lagi karena hilangnya sebab kebolehan jamak. Mazhab Hanbali mensyaratkan bahwa salat jamak itu bagi orang yang sedang dalam perjalanan (safar) yang boleh padanya qashar. Semua ini menunjukkan bahwa menurut mazhab Hanafi tidak ada jamak kecuali bagi orang yang sedang ihram haji di Arafah dan Muzdalifah dan menurut tiga mazhab lainnya jamak taqdim itu hanya boleh bagi orang yang sedang musafir, tidak bagi orang yang belum keluar dari negeri (kota) tempat tinggalnya.
Namun demikian, satu jemaah dari mazhab Zahiri dan Asyhab dari sahabat Malik membolehkan jamak bagi orang yang masih dalam negerinya (kotanya). Alasannya adalah keumuman lafaz hadis Ibn `Abbas, “Jama`a Rasulullah sallahu`alaih wasallam bain az-Zuhr wa al-`Ashr wa al-Maghrib wa al-`Isya fi ghair khauf wa la safar” (Rasul saw. menjamak Zuhur dan Asar dan antara Magrib dan Isya, bukan karena takut dan bukan karena musafir).
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa jamak taqdim harus dilakukan setelah keluar dari kota atau kampung tempat tinggal. Selain ini dalam kitab Tuhfah ath-Thullab disebutkan pula bahwa seorang musafir yang tidak bisa mendapatkan alat untuk wuduk atau tayammum, boleh melakukan salat sebagaimana adanya dan setelah sampai di tempat tujuan wajib menulanginya. Sementara pendapat dari ulama Zahiri yang membo-lehkan jamak yang masih di kota atau kampung tempat tinggal—meskipun tidak kuat—dapat dipandang sebagai alternatif bagi orang yang benar-benar sedang mengalami kesulitan.
D. Jamak/ Qasar dalam Perjalanan dan Setelah Kembali
Setelah keluar dari kota atau kampung, seorang yang sedang musafir mulai boleh melakukan jamak dan qashar sesuai dengan ketentuan tersebut sebelumnya. Namun, para ulama berbeda dalam menentukan batas waktu kebolehan itu. Menurut mazhab Maliki dan Syafii, jika seorang yang musafit berniat untuk tinggal di suatu negeri, selama empat hari atau lebih—selain hari masuk dan keluar dari negeri itu--maka ia tidak boleh melakukan salat qasar. Menurut mazhab Hanbali, tidak boleh qasar bagi orang yang berniat menetap (iqamah) di negeri tempat tujuan sekalipun tanpa menentukan waktu iqamah-nya. Menurut mazhab Hanafi qasar boleh sampai 15 hari. Rukhshah dengan sebab safar berakhir dengan kembali ke negeri tempat tinggal.
Adapun orang yang belum kembali dari perjalanan (safar) karena menunggu urusannya sehingga safarnya tertunda-tunda dan ia berniat berangkat kapan urusannya selesai maka selama itu ia boleh melakukan qashar dan jamak sekalipun bertahun-tahun. Dalam perjalanan kembali, rukhshah qashar dan jamak masih berlaku sampai memasuki batas kota atau kampung. Begitu seorang yang musafir sampai ke batas kota atau kampungnya, rukhshah jamak dan qasar berakhir.

NABI-NABI PALSU

ALIRAN DAN PAHAM DALAM SEJARAH ISLAM
Oleh : PROF. DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA
Ketua Komisi Dikbud MUI Tk. I SU

A. Sejarah Ringkas
Kajian Islam terbagi kepada berbagai bidang ilmu yang antara lain adalah ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu tawhid, ilmu kalam, dan ilmu fikih. Ilmu kalam membahas tentang Tuhan, rasul-rasul, wahyu, akhirat, iman dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Ilmu kalam disebut juga ilmu usuluddin, ilmu `aqa’id, dan teologi. Dalam mengkaji dan membahas materi ilmu kalam ini terdapat bermacam-macam cara memahaminya di kalangan umat Islam. Paham yang lahir dari suatu cara memahami materi ilmu kalam ini dalam bahasa Arab disebur firqah yang jamaknya firaq. Firqah dalam bahasa Indonesia disebut aliran. Aliran-aliran dalam ilmu kalam disebut dalam bahasa Arab al-firaq al-Islamiyah. Untuk aliran dalam fikih disebut mazhab. Namun, belakangan penggunaan sebutan-sebutan ini sudah tidak terlalu ketat lagi sehingga kata mazhab kadang-kadang sudah digunakan oleh sementara orang untuk maksud aliran dalam ilmu kalam.
Persoalan yang pertama-tama muncul dalam Islam adalah persoalan di bidang politik. Waktu Nabi Muhammad saw. wafat, muncul persoalan siapa yang berhak menjadi penggantinya sebagai khalifah. Menurut sejarah, Abu Bakar disetujui menja-di Khalifah pertama. Khalifah kedua, Umar, ketiga Usman, dan keempat Ali. Terbu-nuhnya Usman dan naiknya Ali menjadi Khalifah keempat kemudian menim-bulkan masalah. Pada tahun 37 H, terjadi perang antara Ali sebagai Khalifah dan Mu`awiyah sebagai Gubernur Syam. Perang ini terjadi di Siffin sehingga perang ini dikenal de-ngan perang Siffin. Karena pasukan Mu`awiyah terdesak dan sudah siap untuk mundur, tangan kanannya yang terkenal licik, `Amr ibn al-‘Ash minta berdamai de-ngan mengangkatkan Alquran ke atas. Para qari di barisan Ali minta agar perdamaian itu diterima Ali. Ali dan sebagian pengikutnya keberatan. Tapi, karena desakan, akhirnya Ali menyetujuinya. Disepakati bahwa Abu Musa al-Asy`ari mewakili Ali dan `Amr ibn al-‘Ash mewakili Mu`awiyah. Dengan alasan meng-hormati orang tua, `Amr meminta Abu Musa lebih dahulu berdiri memakzulkan Ali dan kemudian `Amr memakzulkan Mu`a-wiyah. Setelah Abu Musa memakzulkan Ali, `Amr berdiri mengukuhkan Mu`a-wiyah menjadi Khalifah. Kekacauan terjadi. Pasukan Ali yang sejak semula tidak setuju dengan perdamaian tipu itu keluar dari barisan `Ali dan menjadi penentangnya dan sekaligus penentang Mu`awiyah. Kelompok yang keluar ini disebut Khawarij. Mereka memandang Ali, Mu`awiyah, Abu Musa, `Amr ibn al-`Ash, dan orang-orang yang setuju dengan perdamaian yang disebut dalam sejarah arbitrase sebagai kafir. Tak berapa lama, Khawarij ini pecah pula kepada beberapa sekte yang antara satu dengan lainnya saling mengkafirkan dan menghalalkan darahnya. Sekte al-Kamiliyah menilai semua sahabat kafir karena tidak berbaiat kepada Ali dan Ali pun menjadi kafir karena tidak memerangi mereka. Persoalan kafir pun berkembang. Kalau tadinya kafir itu berarti orang yang tidak berhukum kepada Alquran, maka kemudian pelaku dosa besar (murtakib al-kabirah), yakni pembunuh Usman pun dihukum kafir. Ternyata, persoalan ini menimbulkan tiga alir-an. Pertama Khawarij yang memandang pelaku dosa besar kafir. Kedua aliran Murji-’ah yang memandang pelaku dosa besar tetap mukmin dan hukumannya ditang-guhkan kepada Mahkamah Allah untuk mengampuninya atau tidak mengampuninya. Ketiga aliran Muktazilah yang memandang pelaku dosa besar berada di antara dua posisi mukmin dan kafir (al-manzilah bain al-manzilatain). Di luar tiga golongan ini, masih tinggal golongan yang mengikuti paham mayoritas umat Islam yang kemudian dikenal dengan golongan Ahlus Sunnah wa al-Jama`ah. Al-Hasan al-Basri (w. 110 H) Imam Malik (w. 179 H) dan Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) adalah di antara tokoh-tokoh Ahlus Sunnah. Paham Ahlus Sunnah ini kemudian dipertegas oleh Abu al-Hasan al-Asy`ari (w. 330 H). Menurut dia, Allah mengetahui dengan ilmu, hidup dengan hayah, menghendaki dengan iradah. Ilmu Allah esa dan ta`alluq (berobjek) kepada segala yang maklum. Setiap yang wujud dapat dilihat. Karena itu, Allah dapat dilihat karena Ia wujud. Pelaku dosa besar jika tidak taubat, maka hukumannya terse-rah kepada Allah. Manusia mujbar (terpaksa), tetapi Allah memberi kasab baginya. Alquran adalah kalam Allah yang qadim. Selain Abu al-Hasan al-Asy`ari, dikenal pula Ahmad at-Tahawi (w. 322 H) di Mesir dan Abu Mansur al-Maturidi as-Samarkandi (w. 333 H) yang ketiganya disebut dalam sejarah sebagai pendiri aliran Sunni. Namun karena antara mereka terdapat juga perbedaan, maka yang lebih tepat paham mereka dibangsakan kepada masing-masing. Misalnya, paham Asy`ariyah, pa-ham Maturidiyah, dan paham Tahawiyah.
Pendiri paham Muktazilah adalah Wasil ibn `Ata’ (w. 131 H) di Basrah. Ia adalah murid al-Hasan al-Basri. Ketika mendiskusikan hukum pelaku dosa besar, Wa-shil berdiri dari majlis al-Hasan dan pergi ke satu sudut dari Masjid Basrah.Di sana ia berkata bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak Mukmin, melainkan al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Sejak itu, paham ini ber-kembang menjadi satu aliran. Di atas telah disebutkan pokok ajaran mereka. Menurut mereka, Alquran makhluk, manusia berbuat dengan kehendaknya sendiri, tidak ada takdir, Tuhan tidak dapat dilihat, mengutus Rasul wajib bagi Allah.
Sebagai pengaruh penggunaan akal yang semakin besar dalam memahami nas, muncul pula paham Qadariyah dan Jabariyah. Menurut Qadariyah, manusia mempu-nyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat (free will and free act). Orang per-tama berpaham Qadariyah adalah Ma`bad al-Juhani yang terbunuh pada tahun 80 H. Menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berke-hendak dan berbuat (predestination atau fatalism). Orang pertama berpaham Jaba-riyah adalah Ja`d ibn Dirham (w. 124 H). Kemudian, paham ini dikembangkan oleh muridnya Jahm ibn Safwan yang dihukum mati dan dibunuh pada tahun 127 H karena menurut dia sorga dan neraka akan binasa atau tidak kekal. Sekarang Agus Mustafa lahir di Indonesia membawa paham Jahm ibn Safwan ini dalam bukunya yang berju-dul, Ternyata Akhirat Tidak Kekal.
Pendukung Ali dalam bahasa Arab disebut Syi`ah `Ali. Syi`ah `Ali juga mem-bentuk aliran yang memiliki paham yang berbeda dengan lainnya. Syiah pun memiliki sekte-sekte. Ahlus Sunnah pun bermacam-macam pula yang pada garis besarnya ada dua, Salaf atau Salafi dan Khalaf. Paham Salaf diwakili Imam Ahmad ibn Hambal (w.241 H), Abu al-Hasan al-Asy`ari (w. 330 H), dan Syekh Ibn Taimiyah (w. 728 H), sedang paham Khalaf diwakili al-Baqillani (w.403 H) dan al-Juwaini (w. 478 H). Perbedaan pokok antara Salaf dan Khalaf adalah soal takwil. Takwil berarti memberi makna kepada nas Alquran dan Hadis dengan makna yang jauh, tidak makna zahirnya. Misalnya, yadullah diartikan oleh Salaf dengan ‘tangan Allah.’ Khalaf mengartikannya dengan ‘kekuasaan Allah.’
Demikianlah lahir dan berkembang aliran-aliran dalam Islam. Masing-masing berkembang menjadi sekte-sekte. Sebagian sekte ini masih dalam lingkaran Islam dan sebagian lagi sudah tergelincir dari Islam. Misalnya, sekte `Ajaridah dari Khawarij tidak mengakui surat Yusuf sebagi bagian dari Alquran. Sebab, menurut mereka cerita porno tidak layak menjadi isi Kitab Suci Alquran. Sekte Saba’iyah dari Syi`ah yang berpendapat bahwa wahyu itu seharusnya diturunkan kepada Ali, tetapi Jibril tersalah menurunkannya kepada Muhammad saw. Tentunya paham-paham seperti ini sudah tergelincir dari Islam.

B. Ajaran Masing-masing Aliran
Ajaran pokok Ahlus Sunnah adalah rukun iman yang enam, yaitu (1) iman kepada Allah, (2) imam kepada para malaikat, (3) iman kepada kitab-kitab samawi, (4) imam kepada rasul-rasul, (5) iman kepada hari kiamat, dan (6) iman kepada takdir Allah. Ajaran pokok Syi`ah Imamiyah lima, yaitu (1) tawhid, (2) al-`adl (3) kenabian, (4)al-imamah (khalifah), dan (5) al-ma`ad (berbangkit pada hari kemudian). Ajaran pokok Muktazilah juga lima, yatu (1) tawhid, (2) al-`adl (keadilan Tuhan), (3) al-manzilah bain al-manzilatain (posisi antara dua posisi), (4) al-wa`d wa al-wa`id (janji dan ancaman(, dan (5) amar makruf dan nahi munkar.
Menurut Ahlus Sunnah, iman adalah iqrar bi al-lisan wa tashdiq bi al-qalb wa `amal bi al-jawarih (pengakuan dengan lidah, pembenaran dengan hati, dan pengemalan dengan anggota tubuh). Menurut Ahlus Sunnah, amal merupakan bagian dari iman. Tidak beramal berarti kurang iman. Karena itu, iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Menurut Muktazilah, iman bukanlah tashdiq (pembenaran) dan bukan ma`rifah (mengenal Allah), tetapi `amal (perbuatan). Ini berarti bahwa iman menurut mereka adalah pelaksanan perintah-perintah Allah. Menurut Murjiah, iman ialah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, rasul-rasul-Nya dan segala apa yang datang dari Tuhan. Iman menurut mereka tidak bertambah dan tidak berkurang.
Di antara ajaran Ahlus Sunnah adalah percaya kepada takdir bahwa segala sesuatunya sudah ditentukan Allah sejak azali, Tuhan dapat dilihat di sorga, mengutus rasul-rasul itu tidak wajib atas Tuhan, tidak ada nabi sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw., para rasul dianugerahi mukjizat sebagai bukti utusan Allah, dan buruk dan baik ditentukan oleh Allah, bukan akal..
Di antara paham dan ajaran Syi`ah adalah bahwa Abu Bakar, Umar, dan Usman adalah perampas khilafah yang seyogianya bagi Ali, para imam Syi`ah seperti nabi wajib ma`shum (terpelihara) dari segala yang tercela dan keji dari masa kanak-kanak sampai waktu mati sebagaimana juga mereka terpelihara dari lalai, keliru, dan lupa. Al-Imamiyah meyakini bahwa perntah mereka adalah perintah Allah, larangan mereka larangan Allah, menaati mereka menaati Allah, mendurhakai mereka mendurhakai Allah, wali mereka adalah wali Allah, musuh mreka berarti musuh Allah. Tidak boleh menolak mereka. Orang yang menolak mereka seperti orang yang menolak Rasul. Orang yang menolak Rasul seperti orang yang menolak Allah. Wajib menyerah kepada mereka, tunduk kepada kepada perintah Allah, dan mengambil pendapat mereka. . Karena itu, ucapan mereka termasuk hadis, kitab al-Kafi karya al-Kulaini sebagai kitab hadis sahih, bukan Shahih al-Bukhari dan bukan Shahih Muslim. Menurut al-Imamiyah, Imam al-Mahdi telah lahir pada tahun 256 H dengan nama Muhammad ibn al-Hasan al-`Askari dan terus hidup sampai sekarang. Mereka juga percaya akan reinkarnasi. Abu Talib menurut mereka Muslim, hadis hanya sah bila diriwayatkan oleh Ahlul Bait, boleh taqiyah yaitu menyembunyikan iman yang diyakini kepada orang tertentu untuk menjaga keselamatan, tidak menerima ijmak dan qiyas, dan boleh nikah mut`ah (kontrak).
Mengenai klaim kenabian sejak zaman Nabi saw. sudah ada. Pada tahun ke-10 H, al-Aswad ibn Ka`b ibn `Auf al-~`Insi mengaku nabi tanpa menginkari kenabian Nabi Muhammad saw. Ia menunjukkan bukti kenabiannya dengan himar (keledai) miliknya. Ia berkata kepada keledainya, “Sujudlah kepada tuhanmu,” maka keledai itu pun sujud. Ia mengaku dua malaikat, Sahiq dan Syahiq turun membawa wahyu kepadanya. Di antara wahyunya, “wa al-mayisat maisan wa ad-darisat darsan yahujjuna `ashaban wa furada `ala qala`is humurin wa shuhub.” Ia memiliki banyak pengikut di Najran dan San`a. Rasul mengutus orang yang membunuhnya dan benar-benar dibunuh. Di masa Nabi juga muncul Musailamah ibn Habib mengaku Nabi tanpa mengingkari kenabian Muhammad. Tapi ia meminta bagi dua dunia, separoh baginya dan separoh lagi bagi suku Kuraisy. Bergabung bersamanya Sajah yang juga mengaku nabi perempuan. Mereka mengaku menerima wahyu dan mempunyai banyak pengikut. Musailamah dibunuh tahun 12 H dan Sajah dibunuh juga. Muncul lagi seorang yang sempat menjadi sahabat Rasul tapi kemudian mengaku nabi, yaitu Tulaihah ibn Khuwailid al-Asadi. Katanya Jibril turun kepadanya. Namun, ia beruntung kembali rujuk dan bergabung dengan tentara Islam sampai jatuh syahid pada perang Nahawan di Irak. Muncul lagi sesudah wafat Nabi Muhammad saw. Zu at-Taj Laqit ibn Malik al-Azdi mengaku nabi. Ia memiliki orang-orang jahil dari penduduk `Aman. Ia kalah melawan tentara Muslim yang dikirim Abu Bakar. Di masa Khalifah `Abd al-Malik muncul al-Haris ibn Sa`id al-Kazzab. Khalifah memintanya bertaubat, tetapi ia tidak bersedia sehingga ia dibunuh dengan cara disalib. Di masa Khalifah al-Maqnsur, muncul Abu `Isa ibn Ya`qub al-Ashfahani mengaku nabi dan rasul al-Masih al-Muntazar. Ia mengaku bicara dengan Allah. Ia mewajibkan sepuluh kali salat serta menentukan waktu-waktunya. Ia meme-rintahkan para pengikutnya untuk melaksanakannya. Di masa Khalifah al-Mahdi dari Bani Abbas muncul Yusuf al-Barm mengaku nabi dan menyesatkan banyak orang. Ia disalib.
Di masa Khalifah Usman muncul `Abdullah ibn Saba’ dari kalangan Syiah Menurut al-Bagdadi, di samping Ibn Saba’ ada lagi `Abdullah ibn as-Sauda’. Keduanya bersikap ekstrem mengagungkan Ali. Al-Mukhtar ibn `Ubadillah ats-Tsaqafi merupakan orang yang mengaku nabi danturunnya wahyu kepadanya. Ia memiliki kemampuan membuat hal-hal aneh. Ia memiliki kursi, kedukunan, dan sajak-sajak seperti wahyu. Hamzah ibn `Imarah al-Barbari muncul sesudah matinya Muhammad ibn al-Hanafiyah tahun 81 H. Hamzah mengaku Mahdi dan inkernasi. Ia mengaku nabi dan mengatakan bahwa Muhammad ibn al-Hanafiyah Allah. Bayan ibn Sam`an at-Tamimi mengaku bahwa Abu Hasyim memberi tahunya dari Allah atas kenabiannya dengan firman-Nya, “Haza bayanun linnasi.” Al-Mughirah ibn Sa`id al-Bajali, teman Bayan ibn Sam`an. Ia mengaku nabi dan menyangka bahwa ia dapat menghidupkan orang mati. Jibril turun kepadanya membawa wahyu. `Abdullah ibn `Amr ibn Harb al-Kindi pendiri al-Harbiyah dari kelompok ekstrem. Ia mengikuti paham al-Bayaniyah tentang klaimnya bahwa ruh Allah reinkarnasi kepada diri para nabi dan para imam yang akhirnya sampai kepada `Abdullah ibn `Amr. Bakir ibn Mahan dari juru dakwah Abbasiah mengutusnya ke Khurasan untuk memimpin Syiah Bani `Abbas di sana tahun 118 H. Kemudian, ia menampilkan paham al-Harbiyah. Hal itu sampai kepada Asad ibn `Abdillah. Asad menemukannya sampai penyalibannya. Abu Mansur al-`Ijli pada mulanya mengklaim bahwa al-baqir menyerahkan kepemimpinan kepadanya. Secara bertahap ia sampai kepada klaim menjadi nabi dan rasul. Ia berpendapat bahwa nabi dan rasul tidak pernah terputus. Kabar ini sampai kepada Khalifah al-Mahdi dan ia pun membunuh jemaah mereka. Al-Muqanna` menklaim tuhan dengan jalan reinkarnasi. Ia juga menklaim dapat menghidupkan orang mati. Ia dikepung tentara al-Mahdi. Konon ia akhirnya membakar diri sendiri tahun 163 H. Abu al-Khattab Muhammad ibn Abi Zainab seorang murid terbaik dari Ja`far ash-Shadiq. Sayangnya, ia kemudian kafir dan menklain nabi. Khalifah al-Mansur mengirim tentara dan akhirnya Abu al-Khattab disalib. Dari pengikut Abu al-Khattab muncul Bazgh ibn Buzaigh ibn Musa dan pengikut-pengikutnya meyakini bahwa setiap Mukmin menerima wahyu dan semua mereka adalah para nabi yang menerima wahyu. Bahkan, ia mengaku naik ke langit, Allah mengusap mukanya dan meludah ke mulutnya, melihat Ali duduk sebelah kanan Tuhan jalla jalaluh. Inkar Sunnah juga sudah ada sejak zaman klasik. Imam asy-Syafii (w. 204 H) telah menjelaskan argumen mereka dan alasan-alasan menolak argumen tersebut dalam kitabnya, al-Umm.
Muktazilah sering mengutamakan akal atas nas. Bahkan, dalam mengenal Allah pun akal diutamakan. Seorang tokoh Muktazilah yang melalui tulisannya sekarang ini orang mengenal paham Muktazilah, al-Qadhi `Abd al-Jabbar berkata, “Ketahuilah bahwa dalil empat macam, yaitu hujah akal, Alquran, Sunnah, dan Ijmak.Mengenal Allah tidak tercapai kecuali dengan hujah akal.. Di antara paham dan ajaran Muktazilah yang menggambarkan sikap mereka yang mengutamakan akal atas wahyu adalah buruk dan baik ditentukan oleh akal. Menurut mereka juga Allah tidak mempunyai sifat karena itu bertentangan dengan tawhid menurut Muktazilah, Alquran makhluk, pelaku dosa besar pada al-manzilah bain al-manz-ilatain, Allah tidak dapat dilihat, manusia menjadikan perbuatannya sendiri. Menurut Ahlus Sunnah, nilai baik dan nilai buruk diketahui melalui syarak.

C. Mengapa Timbul Aliran dalam Islam
Aliran-aliran tersebut di atas semuanya merujuk Alquran dan Hadis. Tetapi, ternyata hasilnya berbeda antara satu dengan lainnya. Perbedaan ini masih dapat ditolerir sepanjang ada dalilnya dari Alquran dan Hadis serta cara pemahamannya berdasarkan kaedah bahasa Arab dan kaedah-kaedah Agama yang diakui para ulama. Misalnya tentang persoalan Tuhan dapat dilihat menurut Ahlus Sunnah dan tidak dapat dilihat menurut Muktazilah. Ahlus Sunnah mengajukan dalil Alquran, Wujuh yaumaizin nadhirah ila Rabbiha nazirah (Beberapa muka di hari itu bercahaya gemilang melihat kepada Tuhannya (surat al-Qiyamah : 22-23). Ayat ini diperkuat dengan hadis sahih riwayat al-Bukhari dan Muslim, Innakum satarauna rabbakum `iyanan (Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhan kamu senyata-nyatanya). Mukta-zilah mengajukan ayat Alquran La tudrikuh al-absharu wa huwa yudriku al-abshar (Ia tidak dapat dilihat oleh mata dan Ia melihat mata (surat al-An`am : 103). Ahlus Sunnah akan mengkompromikan antara keduanya bahwa yang dimaksud dengan Tuhan dapat dilihat itu pada dimensi akhirat, yaitu sorga, sedang Tuhan tidak dapat dilihat pada dimensi dunia. Muktazilah akan berkata bahwa setiap yang dapat dilihat adalah materi (benda), sedang Tuhan tidak benda. Ahlus Sunnah akan menjawab bah-wa Tuhan dapat dilihat bukan karena materi, tetapi karena mawjud (wujud). Begitulah seterusnya dialog berlangsung. Namun, perbedaan ini masih dapat diterima karena pemahaman masing-masing tidak bertentangan dengan nas-nas tersebut.
Demikian juga dengan takwil dan tidak boleh takwil. Kaum Salaf akan menuduh Khalaf mengada-ngada. Kaum Khalaf menjawab bahwa takwil itu memang ada dan sah dalam bahasa Arab. Khalaf juga akan mengatakan bahwa takwil perlu untuk menghadapi orang yang tidak puas dengan tafwidh (menyerahkan makna yang sebenarnya kepada Tuhan).
Sama halnya dengan manusia menentukan nasibnya menurut Muktazilah dan Qadariyah, kedua kelompok ini akan mengajukan sejumlah ayat Alquran yang menjelaskan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berbuat. Misalnya, Innallah la yughayyir ma bi qawm hatta yughayyiru ma bi anfusihim (Allah tidak mengubah apa yang ada pada suatu kaum hingga mereka sendiri yang mengubahnya). Kaum Jabariyyah akan mengemukkan sejulah ayat yang menunjukkan kekuasan mutlak Tuhan. Misalnya, Fa``al lima yurid (Ia berbuat apa yang dikehendaki-Nya)
Adapun paham yang mengatakan surat Yusuf tidak masuk bagian dari Alquran, paham yang mengatakan wahyu seharusnya diturunkan kepada Ali, akhirat tidak kekal, inkar Sunnah, paham orang-orang yang mengaku nabi, seperti Mirza Ghulam Ahmad (w. 1908 M), Lia Eden, Ahmad Musaddeq, Ibu Dhani, Muhammad Sayuti dan juga paham semua agama sama dan pengikut semua agama masuk sorga tentunya tidak dapat ditolerir. Paham-paham tersebut ini tentunya sudah keluar dari Islam.
Untuk pengetahuan lebih lanjut, dapat dibaca antara lain dalam kitab Dirasat fi al-Firaq wa al-`Aqa’id al-Islamiyyah karya Dr. `Irfan `Abd al-Hamid, al-Farq bain al-Firaq karya al-Baghdadi, al-Ghulu wa al-Firaq al-Ghaliyah fi al-Hadharah al-Islamiyyah karya Dr. `Abdullah Sallum as-Samurra’I, al-Irsyad karya al-Juwaini, Mazahib al-Islamiyyin karya Dr. `Abd ar-Rahman Badawi, Tarikh al- Fikr al-`Arabi karya Dr. Umar Farrukh, Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah karya `Ali Mushthafa al-Ghurabi, Tayyarat al-Fikr al-Islami karya Dr. Muhammad `Imarah, dan Tarikh al-Mazahib al-Isalamiyyah fi as-Siyasah wa al-`Aqa’id karya Syekh Muhammad Abu Zahrah. Melalui kitab-kitab ini, seorang pembaca akan mengetahui bahwa hampir tidak ada satu paham atau aliran pun yang belum pernah muncul pada masa lalu dan hukumnya serta dalil-dalilnya, baik dari Alquran dan Sunnah maupun dari akal.






DAFTAR PUSTAKA
Al-Farq bain al-Firaq karya al-Baghdadi
Ilmu Kalam karya Prof.K.H.M. Taib Tahahir Abd. Mu`in
I’tiqah Ahlussunnah Wal-Jama’ah karya K.H. Siradjuddin ‘Abbas
Al-Irsyad karya al-Juwaini
Mazahib al-Islamiyyin karya Dr. `Abd ar-Rahman Badawi
Tarikh al-Fikr al-`Arabi karya Dr. Uamar Farrukh
Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah karya `Ali Mushthafa al-hurabi
Tayyarat al-Fikr al-Islami karya Dr. Muhammad `Imarah
Ushul ad-Din al-Islami karya Dr. Rusydi `Ilyan dan Qahthan `Abd ar-Rahman ar-Ruri