Jumat, 22 Februari 2008

DRAF KOMPILASI HUKUM ISLAM

Oleh: DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA
Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN-SU
Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Tk.I MUI-SU



A. Pendahuluan
Alhamdulillah, Islamisasi hukum di Indonesia telah berlangsung antara lain melalui pengeshan UU Perkawinan tahun 1973, lahirnya UU No. 7 tentang Peradilan Agama tahun 1989, Kompilasi Hukum Islam tahun 1991, UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan Syariat yang disempurnakan dengan UU No. 10 tahun 1998. Islamisasi dimaksudkan di sini adalah penetapan hukum Islam secara nasional yang diberlakukan terhadap pemeluk Agama Islam. Sejak awal kemerdekaan, umat Islam mengharapkan penerapan syariat terhadap pemeluknya. Ternyata, walaupun dalam aspek tertentu, harapan itu mulai menampakkan dirinya. Mudah-mudahan, UU tentang pornografi, perzinahan, perjudian, minuman keras, pakaian, makanan, pergaulan antara perempuan dan laki-laki yang bukan mahram, pendidikan, dan seterusnya akan menyusul sehingga Islam sebagai pedoman hidup yang sempurna benar-benar berlaku di tengah umatnya. Dalam hubungan ini pula diharapkan Nangro Aceh yang sudah diberikan hak otonom untuk menerapkan syariat Islam segera tampil menjadi contoh daerah yang menerapkan syariat Islam secara total pertama di Indonesia. Namun demikian, di tengah berlangsungnya upaya Islamisasi hukum ini, umat Islam dikejutkan dengan draf Kompilasi Hukum Islam yang lain dari Kompilasi Hukum Islam yang lama dan lari dari nas Alquran dan Hadis.
Draf Kompilasi Hukum Islam yang baru ini sungguh asing bagi hukum Islam yang dikenal di kalangan Islam sehingga mengagetkan banyak orang. Ada yang menilainya keluar dari syariat Islam, ada yang menyebutnya Kompilasi Hukum Inkar Syariat, dan bahkan ada yang mengkafirkannya. Sementara orang awam kurang mengikutinya dan bahkan lebih banyak yang sama sekali tidak mengetahuinya. Karena itu, melalui tulisan ini diharapkan agar umat Islam lebih banyak mengetahuinya dan berjuang untuk menggagalkannya.

B. Isi Draf KHI
Kompilasi Hukum Islam yang masih dalam bentuk draf dan belum disahkan oleh DPR mengandung banyak ketentuan aneh. Di antara draf KHI yang perlu menjadi perhatian adalah (a) pasal 2 tentang perkawinan bukan ibadah, tetapi hanya kontrak yang didasarkan pada kesepakatan kedua pihak suami dan istri, (b) pasal 6 tentang wali nikah bukan rukun nikah, (c) pasal 6 tentang pencatatan sebagai rukun perkawinan, (d) pasal 11 tentang status perempuan boleh menjadi saksi seperti laki-laki, (e) pasal 7 tentang batas minimal usia perkawinan 19 tahun, baik calon istri maupun calon suami, (f) pasal 7 tentang gadis usia 21 tahun boleh menikahkan dirinya sendiri, (g) pasal 16 tentang mahar boleh diberikan oleh istri kepada calon suami, (h) pasal 49 tentang kesetaraan suami dan istri pada kedudukan, hak, dan kewajiban, (i) pasal 22 dan 28 tentang sahnya kawin kontrak dan dinyatakan bubar bersamaan dengan berakhirnya masa perkawinan, (j) pasal 51 tentang pencarian nafkah sebagai kewajiban bersama antara suami dan istri, (k) pasal 54 tentang kawin beda agama boleh selama dalam batas untuk mencapai tujuan perkawinan, (l) pasal 3 tentang poligami mutlak tidak boleh, (m) pasal 88 tentang iddah berlaku bagi istri dan suami, (n) pasal 88 tentang iddah didasarkan pada terjadinya akad, bukan pada dukhul, (o) pasal 53 tentang nusyuz bisa terjadi dari pihak suami, (p) pasal 1 dan 59 tentang khulu` dan talak adalah sama sehingga pelakunya boleh rujuk, dan (q) pasal 105 tentang suami dan istri sama-sama memiliki hak untuk rujuk.
Pasal aneh tentang hukum waris antara lain adalah (a) pasal 2 tentang beda agama tidak penghalang waris-mewarisi, (b) pasal 16 tentang anak di luar nikah mewarisi dari ayah biologisnya, dan (c) pasal 8 tentang bagian anak laki-laki dan perempuan dalam harta warisan sama, satu banding satu.

C. Tinjauan Analitik
Telah dikemukakan tujuh belas pasal bermasalah dalam KHI menyangkut hukum nikah dan tiga pasal mengenai hukum waris. Untuk menganalisa secara terperinci satu persatu pasal-pasal ini tentunya membutuhkan lembaran cukup banyak. Namun yang jelas, pasal-pasal yang dikemukakan tadi semuanya bertentangan dengan nas yang jelas, baik dalam Alquran maupun dalam Hadis. Di antaranya yang paling krusial adalah pasal 2 yang menyatakan dengan gamblang bahwa pelaksanaan nikah tidak ibadah. Ini berarti urusan nikah sudah keluar dari urusan Agama dan tidak sakral lagi. Karena itu, cara dan pelaksanannya disusun berdasarkan pikiran manusia saja dan boleh berbeda dengan ketentuan yang ada dalam Alquran dan Hadis. Padahal, aturan dan ketentuannya diatur dalam Alquran dan Hadis. Ini menunjukkan bahwa draf KHI sebenarnya usaha sekulerisasi, profanisasi Alquran dan Hadis, dan sekaligus penolakan status Alquran dan Hadis sebagai sumber hukum Islam. Pasal 3 tentang tidak bolehnya poligami secara mutlak. Pasal ini jelas bertolak belakang dengan Alquran surat an-Nisa’ ayat 3 yang artinya, “Maka nikahi perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat…”Ayat ini menerangkan bolehnya poligami sampai empat, meskipun disyaratkan adil. Maksud adil di sini adalah dalam hal pembagian waktu dan nafkah, bukan sama dalam cinta dan perasaan.Sebab, hal itu tidak mungkin terpenuhi dan tidak mungkin terukur. Inilah yang dimaksud dalam ayat 128 dari surat an-Nisa’. Nabi sendiri berpoligami. Para ulama dari dahulu sampai sekarang sepakat tentang bolehnya poligami walaupun mereka bervariasi tentang ketat dan longgarnya dalam memahamkan pengertian adil. Adapun alasan tim KHI tidak lain hanyalah akal semata. Apalagi, tim yang membuat draf KHI ini termasuk aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Pengarusutamaan Gender.
Perlu diketahui bahwa Jaringan Islam Liberal (JIL) meyakini tiga pokok pikiran Agama yang mungkin diistilahkan “Tiga Rukun Agama JIL”, yaitu (1) semua agama sama, (2)tidak ada hukum dalam Islam, dan (3) Nabi Muhammad manusia biasa. Dari keyakinan semua Agama sama ini lahirlah pasal tentang bolehnya kawin beda agama dan pasal bolehnya beda agama saling mewarisi. Dari keyakinan tidak adanya hukum dalam Islam maka JIL leluasa menetapkan hukum sekehendak hatinya. Mereka pun mengambil hukum-hukum Barat yang sekuler seberapa maunya dan dibangsakan kepada Islam. Mereka pun berkata, “Jika hukum Islam yang selama ini sebenarnya hanyalah hasil ijtihad para ulama, maka kami pun berhak membuat hukum Islam berdasarkan ijtihad kami.” Mengenai pikiran ini perlu dikemukakan bahwa tidak semua hukum Islam hasil pikiran mujtahid. Ketentuan-ketentuan yang jelas dalam Alquran dan Hadis bukanlah hasil ijtihad. Para mujtahid hanya membahasakannya ke dalam terminologi hukum. Kemudian, aktivis JIL berbeda dengan para mujtahid setidaknya dalam (1) para mujtahid menguasai alat-alat untuk menggali hukum dari Alquran dan Hadis, seperti pengetahuan bahasa Arab, tafsir, Hadis, dan qawa`id usul dan qawa`id fikih, (2) tujuan mujtahid adalah semata-mata menggali hukum dari sumber aslinya, bukan untuk mendapatkan bantuan dari siapa pun dan bukan untuk mencocok-cocokkan Islam dengan pemikiran Barat atau Amerika, (3) mujtahid menggunakan metode dan pendekatan yang sesuai dengan bahasa Alquran dan Hadis, bukan metode yang dipaksa-paksakan (4) dalam mengistinbath hukum dan menuliskan-nya, mujtahid tidak mendapat bantuan apa pun dari Non-Muslim, (5) mujtahid siap disiksa oleh penguasa yang jahil karena mempertahankan kebenaran hukum yang diyakininya, dan (6) mujtahid warak dan mengamalkan ilmunya. Kita rindu melihat aktivis JIL yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut.
Khusus mengenai metode dan pendekatan, JIL menggunakan pendekatan filsafat dan akal. Jadi, yang menjadi patokan mereka adalah akal, khususnya cara berpikir Barat. Segala sesuatunya diukur dengan akal. Dalam Islam akal menempati posisi penting. Bahkan, hadis menjadi lemah bila bertentangan dengan akal. Tetapi, akal yang tidak bebas nilai, yaitu akal yang telah mendapat cahaya dari Alquran dan Hadis, bukan akal Goldziher, Schacht, Juynboll, dan orang yang kafir terhadap Alquran dan Hadis.Segala hukum yang tidak sesuai dengan akal--sekali lagi akal Barat yang bebas nilai—akan dibuang dan diganti dengan konsep gender dan pluralisme. Konsep gender dan ide semua agama sama yang dijajakan oleh JIL adalah berasal dari Barat. Jika konsep mereka bertentangan dengan hadis, mereka akan mencari alasan mendaifkan hadis. Jika mereka tidak menemukan alasan melemahkan hadis, mereka dengan mudah berkelah dengan berbagai pendekatan Barat, termasuk pendekatan kontekstual untuk melegitimasi pendapat mereka. Demikian juga mereka memperlakukan Alquran. Tampaknya, pendekatan kontekstual merupakan senjata pamungkas yang paling ampuh meng-obrak-abrik ayat Alquran dan Hadis. “Rukun ketiga” dari “Agama” JIL, yaitu bahwa Nabi Muhammad sebagai manusia biasa juga merupakan landasan yang kuat untuk menyingkirkan Hadis. Karena manusia biasa, Muhammad bisa saja keliru. Untuk mengetahui cara perlakuan JIL terhadap Alquran dan Hadis lebih jelas dapat dibaca dalam buku Fiqih Lintas Agama karya Prof. DR. Nurcholish Madjid dkk.
Pasal 28 tentang sahnya kawin kontrak (mut`ah ) atau kawin selama vakansi juga berbahaya. Selain dasarnya tidak kuat, pasal ini juga membuka kesempatan menambah perzinahan dan bencana bagi kaum perempuan. Di kalangan kaum Sunni kawin mut`ah tidak dibenarkan. Meskipun pada awal Islam Nabi saw. membolehkannya bagi tentara Islam yang lama meninggalkan keluarganya, tetapi kemudian Nabi tidak membolehkannya. Saat ini kaum Syiah saja yang membolehkannya. Tetapi, perlu diketahui bahwa di Iran sendiri nikah mut`ah dipandang aib dan jarang dilakukan. Tiba-tiba di Indonesia yang penduduknya Sunni, aib Syiah itu akan diformalkan menjadi peraturan yang diterapkan kepada kaum Sunni. Selain dasar hukumnya tidak dikenal di kalangan Sunni, bahaya mut`ah juga jelas. Selagi tidak dibolehkan pacaran dalam arti pergaulan bebas, banyak remaja Islam yang berzina, apalagi dibuka pintu, tentunya perzinahan lebih merajalelal lagi. Mut`ah jelas membawa bencana bagi keluarga perempuan. Sebab, kawin kontrak akan banyak melahirkan anak yang tidak berayah. Sekalipun ada iddah, tapi sejak semula si laki-laki tidak berniat nikah parmanen. Ia menikahi si gadis hanya untuk kepentingan waktu tertentu. Paling-paling ia sabar bertahan sampai habis iddahnya. Setelah itu, ia kawin mut`ah lagi dengan gadis yang lain. Maka banyaklah gadis yang akan menjanda dan anak-anak yang tidak berayah. Sementara laki-laki akan menjadi zawwaqun, yaitu laki-laki yang suka merasai rahim banyak perempuan, sedang ini dilarang tegas oleh Nabi saw. Jadi, urgensi pembaharuan hukum Islam yang diklaim oleh JIL sama sekali tidak terlihat di sini. Justru sebaliknya akan menimbulkan bencana, terutama bagi pihak perempuan.
Pasal 54 tentang bolehnya nikah beda agama juga bertentangan dengan Alquran. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 221, “Dan janganlah nikahi orang-orang musyrik perempuan hingga mereka beriman…” dan, “Dan janganlah nikahkan orang-orang musyrik laki-laki (kepada perempuan-perempuan kamu) sehingga mereka beriman.” Sementara perempuan-perempuan Ahlulkitab jelas boleh dinikahi oleh Muslim laki-laki berdasarkan surat al-Maidah ayat : 6, “…dan orang-orang yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Kitab bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahi mereka...” JIL memprotes Alquran mengapa hanya membolehkan nikah dengan perempuan Ahlulkitab, tidak sebaliknya. Karena itu, mereka memaksa Alquran untuk membolehkan laki-laki Ahlulkitab nikah dengan perempuan Islam. Seolah-olah mereka lebih mengetahui daripada Alquran.
Pada pasal 2 dari hukum warisan dibolehkan saling mewarisi orang yang berbeda agama. Pasal ini bertentangan dengan hadis yang artinya, “Seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang Muslim.” Kelompok JIL berupaya mencari alasan mendaifkan hadis ini. Karena tidak menemukan alasannya, mereka berkelah dengan pendekatan kontekstual. Dahulu terjadi hubungan yang kurang baik antara Muslim dan non-Muslim sehingga hadis itu layak melarang waris beda agama. Sekarang—kata mereka—hubungan Muslim dan non-Muslim sudah baik, maka hadis itu tidak diberlakukan lagi. Klaim mereka ini terlalu mengada-ada. Di mana hubungan baik itu terjadi dan sejauh mana baiknya. Apakah hubungan baik sekarang ini sudah dapat menandingi hubungan baik di zaman Rasul di Madinah. Klaim ini bisa diterima oleh orang yang tidak mengerti sejarah. Paham ini jelas sebagai usaha menyahuti paham pluralisme Agama versi Barat. Pemahaman kontekstual ada dalam Islam, tetapi dalam keadaan tertentu. Ketika sebuah nas benar-benar tidak mungkin dipahami secara zahirnya. Dalam Islam dikenal kaedah, Tagayyurul ahkam bitagayyuril ahwal wal azminati wal amkinah (Hukum berubah karena perubahan keadaan, waktu, dan tempat), tetapi disertai dengan kaedah, al-Ashlu filkalami al-haqiqah (prinsip dalam pernyataan adalah makna hakiki) dan al-Manthuqu muqaddamun `alal Mafhumi (pemahaman tekstual didahulukan atas pemahaman kontekstual). Oleh karena itu, babi boleh dimakan dalam keadaan darurat, perbuatan syirik boleh dalam keadaan terpaksa (istikrah), dan suku Kuraisy dahulu syarat untuk menjadi khalifah, tetapi sekarang tidak lagi karena solidaritas Kuraisy tidak sekuat di zaman Rasul dan para sahabatnya. Pemahaman kontekstual dalam Islam dibolehkan tidak secara bebas, menurut keinginan. Sementara pembolehan saling mewarisi antara yang berbeda agama untuk umat Islam di Indonesia khususnya sama sekali tidak diperlukan. Anak yang berbeda agama tidak mendapat warisan dari orang tuanya yang Muslim di Indonesia sudah berlaku sejak masuknya Islam dan sampai sekarang tidak menimbulkan masalah. Paham pluralis agama dalam hal warisan di Indonesia adalah tindakan mengada-ada.

D. Penutup
Uraian di atas menunjukkan kandungan draf KHI yang telah jauh melenceng dari syariat. Sebagiannya telah dianalisa secara ringkas sehingga jelas tergelincirnya dari syariat. Karena itu, umat Islam harus menolaknya dan masing-masing melakukan upaya untuk menggagalkannya. Sebab, jika draf KHI sempat disahkan DPR , maka jadilah hukum yang bukan syariat diterapkan kepada umat Islam di Indonesia. Lebih dari itu, umat Islam Indonesia berarti setuju dengan pemikiran JIL yang mengobrak-abrik Alquran dan Hadis yang sebenarnya merupakan protes terhadap syariat. Sebagai konsekwensinya, umat Islam berarti rela dengan lahirnya kaum protestan Islam.
Untuk menolak draf KHI ini semua lembaga Islam, mulai dari MUI, NU, Muhammadiyah, Al-Washliyah, Al-Ittihadia, Persis, Mathla`ul Anwar, PUI, serta ormas Islam lainnya, perguruan-perguruan tinggi Islam, partai-partai Islam, dan semua badan dan lembaga Islam berkewajiban bangkit mengajukan protes dan penolakan secara tegas terhadap draf KHI. Semua lembaga menyampaikan sikap keberatannya kepada DPR RI, Depag RI, dan pemerintah RI agar draf KHI ditolak dan dinyatakan tergelincir dari syariat.

Tidak ada komentar: