Sabtu, 27 September 2008

HADIS-HADIS TENTANG FADHA’IL AL-A`MAL DAN KAITANNYA DENGAN AMALAN PUASA RAMADAN

Oleh : H. Ramli Abdul Wahid


A. Pengertian Fadha’il al-A`mal
Fadha’il adalah bentuk jamak dari kata bahasa Arab, fadhilah yang artinya keutamaan-keutamaan atau kelebihan-kelebihan. Al-a`mal adalah bentuk jamak dari kata `amal yang artinya amal atau ibadah. Satu ibadah dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek wujud ibadah itu sendiri dan aspek keutamaannya atau pahalanya. Kedua aspek ini harus mempunyai dalil. Dalil pokok untuk ajaran Islam adalah Alquran dan Hadis. Dalil wujud ibadah harus kuat, yaitu ayat Alquran atau hadis yang sahih atau hadis hasan. Hadis daif tidak bisa menjadi dalil wujudnya suatu amal atau ibadah. Sementara dalil untuk fadha’il al-a`mal menurut sebagian ulama tidak mesti hadis yang sahih atau hasan, melainkan boleh juga hadis daif dengan syarat-syarat tertentu. Demikian juga fadhilah waktu ibadah tertentu, sepertri fadhilah bulan barakah Ramadan.
Hadis-hadis fadhail al-a`mal antara lain adalah hadis-hadis yang mene-rangkan fadhilah salat jamaah yang 27 kali lipat ganda, fadhilah haji mabrur masuk sorga, dan fadhilah puasa diampunkan dosa-dosa yang telah lalu. Termasuk juga fadhilah bulan Rajab dan bulan Ramadan. Hadis-hadis ini ada yang sahih dan ada yang daif. Jika hadis daif ini masih memenuhi syarat yang ditentukan ulama, misalnya tidak terlalu daif, maka menurut sebagian ulama masih bisa diterima sebagai dalil untuk menerangkan fadhilah ibadah atau bulan tertentu.

B. Ulama dan Syarat Hadis Daif untuk Fadhail al-A`mal
Di antara ulama yang menerima hadis daif untuk menjadi dalil fadhail al-a`mal adalah Imam an-Nawawi dan Ibn Hajar al-`Asqalani. Kedua ulama ini adalah ulama fikih dan ulama Hadis. Ibn Hajar al-`Asqalani banyak mengarang ilmu Hadis dan syarah Hadis. Di antara karangannya adalah kitab biografi para sahabat dengan tarjihnya yang bernama al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shabah. Kitab ini terdiri atas empat jilid besar. Susunannya sangat sistematis dan isinya sangat informative tentang biografi para sahabat. Kitab monumental lainnya adalah Tahzib at-Tahzib. Kitab ini terdiri atas 14 jilid tentang biografi para periwayat hadis dalam Kitab Hadis Pokok yang Enam (Sahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmizi, Sunan an-Nasa’I, dan Sunan Ibn Majah). Setiap peneliti Hadis tidak bisa mengabaikan kedua kitab ini. Kitab monumental lainnya adalah Fat-hul Bari Syarh Shahih al-Bukhari. Kitab ini merupakan salah satu kitab syarah Shahih al-Bukhari, terdiri atas 13 ditambah muqaddimahnya satu jilid khusus. Kita tidak dapat membayangkan adanya seorang ulama yang diakui sebagai ulama Hadis di zaman modern, tapi tidak memiliki kitab ini.
Imam an-Nawawi juga sebagai pribadi referensi di bidang fikih dan Hadis. Ialah penulis syarah Shahih Muslim dengan judul Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi yang terdiri atas 14 jilid. Ia juga penulis kitab fikih mazhab Syafii, Syarh al-Muhaz-zab yang terdiri atas 20 jilid. Keterangan ini dikemukakan untuk menunjuk-kan kompetensi keduanya di bidang Hadis.
Imam an-Nawawi menjelaskan dalam kitabnya Matn at-Taqrib tentang kesepakatan ulama atas bolehnya, bahkan mustahabnya (sunnatnya) mengamalkan hadis daif dalam fadhail al-a`mal. Di dalam kitab ini ia tidak menjelaskan syarat hadis daif ini, kecuali syarat dalam fadhail al-a`mal. Kemudian, al-Hafiz al-`Ala’i menambahkan syarat hadis ini tidak terlalu daif. Setelah itu, Ibn Daqiq al-`Id menambahkan dua syarat lain, yaitu bahwa keadaan hadis ini berada di bawah hadis pokok yang diamalkan. Artinya wujud ibadah itu berdasarkan hadis yang layak dijadikan hujah. Hadis daif ini hanya berfungsi menjelaskan fadhilah ibadah tersebut. Syarat kedua adalah bahwa orang yang mendasarkan fadhilah ibadahnya kepada hadis daif itu tidak sampai meyakini atas kesahihan hadis itu. Hadis itu tetap diyakininya sebagai hadis daif. Ia mengamalkan hadis ini hanya atas dasar kehati-hatian. Jangan-jangan, hadis ini sebenarnya sahih, yakni berat dugaan benar berasal dari Nabi, tetapi berdasarkan penampilan zahirnya daif, yakni kecil sekali kemung-kinannya benar berasal dari Nabi. Sebab, hadis daif bukan berarti pasti tidak berasal dari Nabi. Sebaliknya, hadis sahih bukan berarti pasti berasal dari Nabi. Hadis yang pasti dari Nabi itu adalah hadis-hadis mutawatir, yaitu pemberitaan oleh banyak orang kepada banyak orang dan kepada banyak orang, dan begitulah seterusnya sampai kepada generasi pengumpulnya (mukharrijnya), seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan Imam at-Tirmizi.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa akhirnya, syarat-syarat hadis daif yang boleh dijadikan dalil atas fadhail al-a`mal itu ialah keadaannya tidak daif sekali, hadis itu tidak berdiri sendiri menjadi dalil wujud amal, melainkan hanya menerangkan tentang fadhilah amal, sedangkan dalil untuk wujud amal itu harus hadis sahih atau hasan, dan orang yang mengamalkannya jangan sampai berubah keyakinan bahwa hadis daif menjadi sahih, tetapi tetap daif. Kemudian, Ibn Hajar al-`Aqalani menukil syarat-syarat itu semuanya dalam satu keterangan. Sesudah itu, pandangan Imam an-Nawawi ini diikuti sejumlah ulama, seperti Jalaluddin as-Suyuthi, al-Haitami, dan Ibn `Arraq. Sementara ulama yang tidak setuju mengamalkan hadis daif dalam fadhail al-a`mal antara lain adalah Yahya ibn Ma`in. Menurut Asyraf ibn Sa`id dalam bukunya, Hukm al-~Amal bi al-Hadits adh-Dha`ifi fi Fadha’il al-A`mal, dapat pula dipahami bahwa Imam Muslim dan Imam al-Bukhari tidak setuju dengan pengamalan hadis daif untuk fadha’il al-a`mal ini.

C. Kriteria Hadis Daif Ringan
Berdasarkan kekuatan hujahnya, Hadis dapat diklasifikasikan kepada mutawatir (pasti dari Rasul), sahih (diduga keras dari Rasul), hasan (berada di bawah sahih sedikit), daif (lemah), bathil (hadis palsu, tetapi tidak disengaja membang-sakannya kepada Rasul), dan maudhu` (palsu, disengaja menciptakan dan membangsakannya secara bohong kepada Rasul). Fokus kita sekarang tentang hadis daif yang tidak terlalu berat. Memang, hadis daif itu ada yang daif ringan, daif (sedang), dan daif berat. Ini membutuhkan sebuah ilmu yang disebut `Ilm al-Jarh wa at-Ta`dil, yaitu ilmu tentang penilaian periwayat hadis. Para ulama telah membuat istilah-istilah untuk menunjukkan peringkat kehujahan riwayatnya. Misalnya, seorang periwayat yang dinilai dengan istilah syaikh wasath atau shaduq insya Allah, maka hadis yang diriwayatkannya adalah daif ringan. Seorang yang dinilai dengan istilah dha`if, maka hadis yang diriwayatkannya adalah daif (sedang). Tetapi, seorang periwayat yang dinilai dengan istilah matruk, maka hadis yang diriwa-yatkannya adalah daif berat. Jika seorang periwayat dinilai dengan istilah dajjal atau wadhdha`, maka hadis yang diriwayatkannya dinilai maudhu` (palsu). Keterangan ini terlalu teknis dan rumit, tetapi dikemukakan untuk sekedar menjadi gambaran sederhana agar pembaca memahami maksud hadis daif yang tidak terlalu berat. Jadi, hadis daif itu sendiri bervariasi, dari daif ringan, daif (sedang), dan daif berat.

D. Hadis-hadis Fadha’il al-A`mal
Hadis-hadis fadha’il al-a`mal ada yang sahih dan ada yang daif. Misalnya, hadis tetang keutamaan bulan Ramadan.
“Apabila masuk bulan Ramadan, pintu-pintu sorga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.”
Hadis ini menerangkan keutamaan bulan Ramadan. Hadis ini sahih termuat dalam kitab Shahih al-Bukhari juz 4 halaman 92.
“Barangsiapa bangun beribadah malam Ramadan berdasarkan iman dan mengharap rida Allah, diampunkan baginya dosanya yang telah lalu.”
Hadis ini menerangkan fadhilah malam Ramadan. Orang yang salat padanya akan mendapatkan keampunan dari Allah atas dosanya yang lalu. Hadis ini sahih, termuat dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
“Satu kali umrah pada bulan Ramadan sama dengan satu kali haji.”
Hadis ini termuat dalam Sunan at-Tirmizi jilid 3 halaman 276 dengan sanad lengkap. At-Tirmizi sendiri menilainya hasan gharib.”
“Seseorang akan mendapatkan kehinaan dan kerendaghan jika namaku disebutkan di sisinya, namun ia tidak bersalawat atasku. Seseorang akan mendapatkan kehinaan dan kerendahan jika ia memiliki kedua orang tua atau salah satunya, namun ia tidak melaksanakan hak keduanya yang memasukkannya ke dalam sorga. Seseorang akan mendapatkan kehinaan dan kerendahan jika ia memasuki bukan Ramadan dan Ramadan telah berlalu sebelum ia diampuni.”
Bagian akhir dari hadis ini menerangkan fadhilah Ramadan yang kehadirannya memberikan kesempatan untuk mendapatkan keampunan dari Allah. Hadis ini adalah sahih diriwayatkan oleh at-Tirmizi, Ahmad, al-Hakim, dan Ibn Hibban. At-Tirmizi sendiri menilainya hasan gharib. Ibn Hajar, az-Zahabi, al-Hakim, dan Ibn Hibban menilainya sahih.
“Barangsiapa bergembira dengan masuknya bulan Ramadan, Allah mengharamkan jasadnya masuk neraka.”
Hadis ini termuat dalam kitab Durratun Nashihin halaman 7 karya al-Khubari. Hadis ini juga menerangkan fadhilah bulan Ramadan. Sayangnya, hadis ini maudhu` (palsu) dengan dua alasan. Pertama, hadis ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis yang diakui. Bahkan, hadis ini tidak ditemukan dalam kitab kumpulan hadis daif. Penulis Durratun Nashihin juga tidak menyebutkan sumber pengambilannya. Hadis semacam ini dikenal dengan istilah la yu`raf lahu ashlun atau la ashla lahu (tidak diketahui sumber aslinya). Alasan kedua adalah isinya mengandung ciri-ciri hadis palsu yaitu amalan yang terlalu kecil menjanjikan pahala yang terlalu besar.
“Awal bulan Ramadan adalah rahmat, pertengahannya keampunan, dan akhirnya pembebasan dari neraka.”
Hadis ini termuat dalam Kitab adh-Dhu`afa’ al-Kabir karya al-`Uqaili, jilid II halaman 162 dan kitab al-Jami` ash-Shaghir karya as-Suyuthi jilid I halaman 432. Hadis ini menjelaskan keutamaan bagian-bagian bulan Ramadan. Sayangnya, hadis ini daif. Bahkan, Pendekar Hadis abad 20, Muhammad Nashiruddin al-Albani menilainya maudhu` (palsu). Kedaifan hadis ini berasal dari dua orang periwayatnya, Sallam ibn Sulaiman ibn Sawwar dan Maslamah ibn ash-Shalt. As-Suyuthi menilainya daif. Ibn `Adi menilai Sallam munkar al-hadits. Abu Hatim menilai Maslamah matruk.
“Semua amal manusia baginya kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu bagi-Ku dan Aku yang akan membalasnya.”
Hadis ini adalah hadis qudsi yang nilainya sahih. Hadis ini diriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dengan sanad yang lengkap. Hadis ini menerangkan keistimewaan pahala puasa. Begitu besar pahalanya sehingga tidak terbatas dan bahkan Allah menja-min akan memberi balasannya secara langsung.
“Barangsiapa memberi pebuka kepada orang yang puasa, ia memperoleh seumpama pahalanya tanpa berkurang sedikit pun dari pahala orang yang berpuasa.”
Hadis ini diriwayatkan oleh at-Tirmizi. Ia menilainya hasan sahih.
“Sesungguhnya, orang yang berpuasa, bersalawat atasnya para malaikat jika orang makan di sisinya hingga mereka selesai.”
Hadis ini menerangkan keutamaan orang yang puasa sabar melihat orang makan di dekatnya. Hadis ini diriwayatkan oleh at-Tirmizi dan dinilainya hasan.

Senin, 01 September 2008

SILABUS MATA KULIAH HADIS TEMATIS SMT I AGAMA DAN FILSAFAT ISLAM PASCASARJANA IAIN SU

Tahun Akademi Januari s.d. Mei 2008
Oleh : DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA
Perkuliahan dilaksanakan dengan sistem seminar. Setiap peserta menyiapkan dan mempresentasikan satu makalah sesuai dengan judul dan jadwal yang ditetapkan. Untuk setiap makalah ditetapkan seorang pembanding utama yang bertugas menelaahnya secara serius, mengoreksi, mempertanyakannya, dan memberi masukan sebagai bahan perbaikan yang lebih sempurna. Para peserta yang lainnya diberikan kesempatan untuk bertanya dan memberikan masukan setelah pembanding utama. Perbaikan makalah dan keaktifan dalam seminar menjadi bagian dari penilaian kepada peserta.
Ukuran makalah tidak lebih dari 20 halaman kuarto. Isinya meliputi hadis-hadis mengenai judul yang dibahas, sumber-sumber aslinya secara akurat, nilai hadisnya dari aspek sanad dan aspek matan, pengertiannya berdasarkan literatur klasik dan modern dengan berbagai pendekatan, ter-masuk pendekatan kontekstual jika diperlukan, serta analisis dan kesimpulan penulis. Kutipan terhadap berbagai pendapat harus dianalisis dan di-tarjih.
Makalah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik, benar, dan efektif serta transeliterasi SKB Menteri Agama dan Mendikbud tahun 1987. Makalah diserahkan kepada dosen dan peserta selambat-lambatnya dua hari sebelum jadwal seminar. Makalah perbaikan dan makalah asal yang sudah dikoreksi diserahkan kepada dosen selambat-lambatnya satu bulan dari hari seminar. Keterlambatan penyerahan makalah, baik untuk seminar maupun untuk perbaikan akan mempengaruhi nilai tugas peserta.
Adapun judul-judul makalah yang menjadi bahasan pokok dalam seminar mata kuliah ini adalah sebagai berikut. Judul-judul ini dapat dimo-difikasi dengan syarat tidak mengubah makna.
1. Definisi Agama Islam Menurut Hadis
2. Hadis-hadis tentang Muhammad saw. Sebagai Nabi Terakhir
3. Hadis-hadis tentang Islam Terpecah ke dalam 73 Aliran
4. Ahlulkitab dalam Hadis
5. Memberi Salam kepada non-Muslim dalam Hadis
6. Khususiyat Rasul saw.
7. Warisan dan Kawin dengan non-Muslim dalam Hadis
8. Hadis Buatan Penguasa Amawiyah,
9. Hadis Mutasyabihat,
10. Hadis-hadis tentang Gender
11. Hadis-hadis tentang Minta Jabatan
12. Hadis-hadis tentang Zuhud

PUASA DALAM LINTASAN SEJARAH


Oleh : DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA

A. Literatur Sejarah Puasa
Literatur tentang hukum dan hikmah puasa banyak tersebar di mana-mana. Tetapi, literatur tentang sejarah puasa tidak banyak dan tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia. Sementara keberadaan puasa di kalangan bangsa-bangsa sebelum lahirnya Islam sudah masyhur dan disebutkan secara jelas dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 183 yang artinya, “Diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu.” Karena itu, sejarah puasa menarik untuk dibahas sebagai penjelasan kepada ayat ini. Bahkan, dalam sejarah Islam sendiri pelaksanaan puasa itu tidak selamanya sama. Seka-lipun intinya sama, yaitu menahan diri dari segala yang membatalkan puasa sepanjang hari, namun praktik-praktik yang mengitari inti puasa itu kadang-ka-dang berbeda.
Dalam kitab-kitab fikih, sejarah puasa tidak dijelaskan. Dalam tarikh tasyri`, sekelumit dari sejarahnya disebutkan bahwa puasa bulan Ramadan itu diwajibakan pada bulan Syakban tahun ke-2 Hijrah. Dalam kitab-kitab tafsir sejarah puasa terpaksa dijelaskan sebagai tafsir kepada ayat tersebut. Namun demikian, dari sejumlah kitab tafsir, maka Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha yang memberikan penjelasan yang agak panjang tentang puasa umat-umat terdahulu. Kemudian, menyusul Tafsir al-Mizan karya ulama Syiah Thabathabai. Namun, ketika berbicara tentang riwayat puasa Islam sebelum disyariatkannya puasa sebulan Ramadan, dengan mudah ia mengatakan bahwa riwayat-riwayat itu daif (lemah). Sebagai mufasir Syiah, ia menuduh riwayat itu berasal dari kaum Sunni. Penulis beruntung memiliki kitab Hikmah at-Tasyri` wa Falsafatuh karya Syekh Ali Ahmad al-Jurjawi. Ternyata, buku ini memberikan penjelasan yang agak panjang dan berisi informasi tambahan kepada informasi kitab-kitab lainnya. Karena itu, sumber tulisan ini pada dasarnya adalah Tafsir al-Manar, kitab Hikmah at-Tasyri` wa Falsafatuh, Tafsir al-Mizan, Alkitab(Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), dan Ensiklopedi Praktis Kerukunan Hidup Umat Beragama yang diedit oleh Pdt. P. Sipahutar, M.Th dan Drs. Arifinsyah, M. Ag.

B. Puasa Sebelum Islam
Ketika menafsirkan ayat tentang puasa umat-umat sebelum datangnya Islam, Rasyid Ridha menjelaskan bahwa puasa diwajibkan atas pengikut agama sebelum lahirnya Islam. Puasa menjadi salah satu rukun dari setiap agama karena puasa termasuk ibadah paling berat dan media yang paling baik untuk memperbaiki akhlak. Allah memberi tahu umat Islam bahwa puasa diwajibkan juga atas umat-umat sebelumnya untuk menunjukkan bahwa agama-agama itu satu asalnya dan tujuannya serta meneguhkan keadaan wajibnya, dan menyenangkan hati umat Islam menerima wajibnya. Sebab, suatu tugas yang memang sudah lazim berlaku sebelumnya lebih mudah diterima daripada tugas yang baru dan belum pernah diwajibkan sebelumnya.
Dalam menerangkan ayat ini, Muhammad Abduh menyatakan bahwa Allah tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang berpuasa sebe-lum Islam itu. Namun, sudah dimaklumi bahwa puasa telah dilakukan oleh selu-ruh penganut kepercayaan, termasuk penyembah berhala. Misalnya, puasa diketahui adanya di kalangan orang-orang Mesir kuno pada masa keberhalaan mereka. Dari sana, syariat puasa pindah kepada orang-orang Yunani. Mereka menjadikannya wajib terutama atas kaum perempuan. Demikian juga—tandas-nya--orang-orang Romawi mewajibkan puasa sampai sekarang. Hindu penyem-bah patung pun puasa sampai sekarang.
Al-Jurjawi mengutip keterangan DR. Ali Abd al-Wahid bahwa pengkajian tentang sejarah agama-agama menunjukkan bahwa puasa termasuk ibadah manusia yang paling tua dan paling banyak tersebar. Menurutnya, hampir tidak ada suatu agama yang dianut masyarakat yang terlepas dari kewajiban berpuasa.
Ada puasa yang dibangsakan kepada Nabi Dawud, yaitu puasa sehari berbuka sehari. Di kalangan Yahudi, puasa pada hari perdamaian atau Grafirat adalah wajib. Lamanya satu hari penuh. Orang yang melanggarnya dihukum bunuh. Hal ini dijelaskan dalam Perjanjian Lama pada kitab Imamat 16: 29, “Ini-lah yang menjadi ketetapan untuk selama-lamanya bagi kamu, yakni pada bulan yang ketujuh, pada tanggal sepuluh bulan itu kamu harus merendahkan diri dengan berpuasa dan janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan, baik orang Israel asli maupun orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu.” Tentang hukuman mati bagi orang yang tidak merendahkan diri dengan berpuasa dise-butkan pada kitab Imamat : 23 : 29, 30, “Karena setiap orang yang pada hari itu tidak merendahkan diri dengan berpuasa, haruslah dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya. Dan Setiap orang yang melakukan sesuatu pekerjaan pada hari itu, orang itu akan Kubinasakan dari tengah-tengah bangsanya.”
Dalam Perjanjian Baru, puasa dilakukan sesuai dengan kebutuhan yang biasanya dikaitkan dengan suatu keperluan, misalnya untuk persiapan menerima firman Tuhan,(Keluaran 34: 28; Daniel 9: 3), sebagai tanda penyesalan atau per-tobatan individual maupun kolektif (1 Raja-Raja 21 : 27), dan sebagai tanda kedukaan (1 Samuel 31 : 13).
Yesus berpuasa 40 hari 40 malam di padang gurun dan mengatakan bahwa jenis setan tertentu tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa. Hal ini tersebut dalam kitab Matius 4 : 1-2 dan 17 : 19-21, “Maka Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis. Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya laparlah Yesus.” “Kemudian murid-murid Yesus datang dan ketika mereka sendirian dengan Dia, bertanyalah mereka: Mengapa kami tidak dapat mengusir setan itu? Ia berkata kepada mereka: Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung itu : Pindahlah dari tempat ini ke sana,--maka gunung itu akan pindah dan takkan ada yang mustahil bagimu. Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa.”
Dalam Ensiklopedi Praktis Kerukunan Hidup Umat Beragama dijelaskan bahwa dalam tradisi Ketolik, pelakanaan puasa diadakan 40 hari sebelum Paskah tanpa menghitung hari-hari Minggu. Angka 40 mengingatkan akan 40 tahun bagi Israel menjelajah gurun sebelum masuk Tanah Suci ; 40 hari Musa berada di Gunung Sinai; dan terutama lamanya Yesus berpuasa selama 40 hari. Masa ini disebut Masa Prapaskah atau masa tobat dan persiapan diri untuk Hari Raya Paskah. Pada masa ini juga Gereja Katolik mengadakan Aksi Puasa Pemba-ngunan.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa Hindu juga mengenal puasa. Puasa secara lahirnya menghentikan kegiatan makan dan minum. Puasa secara rohani ialah mengendalikan segala hawa nafsu. Dalam praktik, ada juga penganut yang mengaku Hindu sekarang ini yang puasanya dengan meninggalkan makanan berat, seperti nasi dan roti, sementara makan permen dan kue-kue tidak dilarang.
Di kalangan Buddha puasa disebut Attangasila. Bagi umat Buddha yang melaksanakan Attangasila, ia menghindari hubungan kelamin, tidak makan sebe-lum jam 06.00 dan telah jam 12.00, dan mengendalikan nafsu-nafsu indera yang rendah. Attangasila ini dlakukan umat Buddha setiap bulan tanggal 1,8, 15, 23 berdasarkan penanggalan bulan.
Di kalangan orang Jawa, konon sejak lama ada juga puasa untuk tujuan tertentu, seperti mencari kekebalan dan ilmu gaib. Misalnya yang disebut dengan puasa mutih. Di langan perdukunan juga banyak jenis puasa.
Demikianlah keberadaan puasa dari masa ke masa di berbagai agama dan bangsa. Adapun bentuk dan cara pelaksanaan puasa tidak semua sama. Ada puasa dalam bentuk tidak makan, tidak minum, tidak melakukan hubungan kelamin, tidak bekerja, dan tidak berbicara. Ada yang bentunya dengan menahan diri dari salah satu atau sebagian saja dari semua yang disebutkan. Kata DR. Ali Abd al-Wahid, mungkin puasa dari bicara merupakan yang paling aneh dari bentuk-bentuk puasa yang pernah ada. Namun demikian, bentuk puasa dari bicara ini tersebar di banyak masyarakat primitif dan lainnya. Di masyarakat penduduk asli Australia, wajib atas perempuan yang suaminya meninggal puasa dari bicara dalam masa yang panjang yang kadang-kadang sampai satu tahun lamanya. Tampaknya, puasa semacam ini pernah diikuti di kalangan Yahudi sebelum datangnya Yesus. Hal ini dipahami dari perintah Allah kepada Siti Maryam dalam Alquran surat Maryam ayat 26 yang artinya, “Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah :Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.”

C. Puasa Islam dari Masa ke Masa
Sebagian ulama tafsir mengatakan bahwa puasa Ramadan telah diwajibkan atas Ahlulkitab. Belakngan, orang Yahudi dan Nasrani meninggalkannya. Seba-gian sejarawan mengatakan bahwa puasa Ramadan tersebar di sebagian kabilah Arab di masa Jahiliyah, khususnya kabilah Kuraisy. Hanya saja, riwayat-riwayat ini tidak memiliki dalil yang pasti. Bagaimanapun sekiranya puasa Ramadan pernah disyariatkan atas orang Yahudi dan Nasrani atau tersebar di kalangan Arab Jahiliyah, hal ini tidak mengurangi sedikit pun keabsahannya disyariatkan dalam Islam. Sebagai Agama yang berasal dari Tuhan yang sama, Islam banyak melan-jutkan syariat yang diajarkan Nabi Ibrahim, Musa, dan Isa. Sejumlah riwayat menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. berpuasa sebelum diwajibkannya puasa Ramadan. Namun, puasa Ramadan atas umat Islam mulai diwajibkan pada bulan Syakban tahun kedua sesudah hijrah Nabi saw. Dalil wajibnya puasa Rama-dan adalah Alquran surat al-Baqarah ayat 183-185 dan sejumlah hadis sahih riwayat al-Bukhari dan lainnya. Puasa pengganti dan puasa nazar juga termasuk puasa wajib. Selain itu ada sejumlah puasa sunnat, seperti puasa Senin dan Kamis, puasa enam hari pada bulan Syawal, puasa hari Arafah, dan puasa tiga hari pada pertengahan setiap bulan Qamariyah. Ada pula hari-hari yang puasa padanya haram, yaitu Hari Raya Fitrah, Hari Raya Adha (Haji) dan hari-hari tasyrik, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 dari bulan Zulhijah.
Puasa dalam Islam ialah menahan diri dari segala yang membatalkan dari waktu terbit fajar sampai terbenam matahari dengan berniat puasa pada setiap malamnya. Inilah yang pokok dari puasa. Adapun cara pelaksanaanya terdapat perbedaan dari satu tempat ke tempat yang lain dan dari masa ke masa yang lain. Misalnya di India, ada masyarakat yang ketika matahari terbenam, mereka pergi ke masjid dan berbuka bersama. Sebelum berbuka, mereka menyanyikan hikayat tentang anak kecil yang hendak puasa, tapi dicegah ibunya. Anak itu berpuasa juga, tapi sayangnya meninggal waktu Asar. Singkatnya, datanglah Malaikat Jibril menyeru anak itu bangun. Ternyata anak itu kembali hidup. Hikayat ini bertujuan menunjukkan betapa hebatnya kekuatan puasa itu, yang mati bisa hidup. Hikayat ini mereka nyanyikan sekitar setengah jam sebelum berbuka. Setelah salat Isya dan tarawih mereka membaca Alquran. Sampai sekarang, orang India selalu mengadakan buka dan makan bersama dengan mengundang sanak keluarga. Buka bersama ini dilakukan dari rumah ke rumah untuk mempererat silaturrahim.
Pada masa pemerintahan Fatimiyah di Kairo, sesuai dengan akidah Syiah Ismailiyah yang mereka anut, bulan Ramadan adalah bulan Imam (Khalifah). Seminggu sebelum Ramadan, para hakim Fatimiyah keluar dalam rombongan yang megah. Mereka keliling melihat-lihat persiapan masjid untuk memeriksa apa yang dibutuhkan masjid dalam memeriahkan penyambutan bulan Ramadan. Pada akhir bulan Syakban, rombongan resmi Khalifah keluar dengan wibawa yang besar di dalam jiwa rakyatnya. Sebab, menurut akidah Syiah Ismailiyah Fatimiyah tidak sah puasa kecuali apabila rakyat melihat Khalifah. Khalifah menziarahi kuburan leluhurnya. Rombongan kembali ke Istana dan sebagian tinggal di luar menunggu hidangan dan hadiah. Mereka terus bergembira sampai sahur. Hi-dangan ini berlanjut sampai akhir Ramadan.
Di Indonsia dahulu orang sangat membesarkan bulan Ramadan dan pelaksanan puasa. Begitu hebohnya masa menyongsong bulan Ramadan sehingga bulan Rajab disebut bulan serabi karena pada bulan ini banyak orang melaksanakan kenduri serabi. Bulan Syakban disebut bulan nasi karena padanya banyak orang melakukan kenduri nasi. Kegiatan ini setidak-tidaknya berlaku di kalangan Melayu pesisir. Tradisi ini berlangsung meriah sampai tahun 1960-an. Sekarang sudah hilang. Namun, tampaknya pemerintah Tanjungbalai Asahan berusaha menghidupkannya. Lebih kurang dalam tiga tahun belakangan, di Masjid Raya Tanjungbalai Asahan diadakan kenduri serabi dan kenduri nasi. Acara ini diseponsori Wakil Walikota, Drs. H. M. Thamrin Munthe, M.Hum. Dahulu, pada malam Ramadan di masjid dan musalla beberapa grup melaksanakan tadarus. Sekarang sudah jarang. Dahulu, sanak saudara dan tetangga saling mengirim pebuka, sekarang sudah jarang. Dahulu orang yang tidak berpuasa segan menunjukkan dirinya tidak puasa, tapi sekarang orang yang tidak berpuasa tanpa rasa malu makan dan merokok sesuka ha-tinya.
Sekarang, semarak kebiasaan ziarah kubur dua tiga hari sebelum masuk Ramadan. Imam salat tarawih dikontrak dari kalangan para hafiz. Sebelum salat tarawih diadakan ceramah singkat yang disebut kultum (kuliah tujuh menit) atau kulibas (kuliah lima belas mineit). Setelah witir, jarang yang tinggal di masjid untuk tadarus. Malam sepuluh terakhir juga sulit mencari orang yang melakukan iktikaf.