Rabu, 11 Februari 2009

MEMAHAMI FATWA ROKOK HARAM

Prof. Dr. H. Ramli Abdul Wahid, MA
Ketua Komisi Dikbud MUI SU

A. Teks Fatwa
Fatwa yang ditetapkan dalam Ijtimak Ulama Komisi Fatwa Se-Indonseia III pada tanggal 24-26 2009 di Padang Panjang banyak, yaitu masalah strategis kebangsaan yang meliputi tindakan negara terhadap penodaan agama, kewajiban menyusun, mengelaborasi konsep-konsep dan pemikiran Islam secara komprehensif, dan tentang hukum memilih pemimpin; masalah kontemporer yang meliputi hukum merokok, masalah zakat, dan masalah wakaf; dan masalah perundang-undangan yang meliputi hukum pernikahan usia dini, konsumsi makanan halal, senam yoga, vasektomi, dan bank mata dan organ tubuh orang lain. Akan tetapi, yang mencuat dan dipermasalahkan sebagian orang adalah tentang fatwa haram merokok dan golput. Tulisan ini hanya terbatas tentang fatwa rokok.
Agar tidak salah paham, teks asli tentang fatwa rokok secara utuh dikemukakan sebagai berikut. Ketentuan hukum merokok : 1. Di dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III terdapat perbedaan pandangan mengenai hukum di kalangan peserta, yaitu antara makruh dan haram (Khilaf ma bayna al-makruh wa al-haram) 2. Peserta Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III sepakat memberikan amanah kepada MUI Pusat untuk menetapkan fatwa haram atau makruhnya merokok. 3. Peserta Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III sepakat bahwa merokok hukumnya haram : a. Di tempat umum, b. bagi anak-anak, c. bagi wanita hamil, d. bagi Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI).

B. Cara Memahami
Teks di atas memberikan pengertian bahwa haramnya rokok yang sudah dicapai kesepakatannya adalah bagi empat kelompok tersebut, yaitu tempat umum, anak-anak, wanita hamil, dan pengurus MUI. Hukum merokok bagi selain yang empat tersebut itu sejauh yang disepakati dalam Ijtima III adalah antara makruh dan haram. Tetapi, para peserta juga sepakat menyerahkan penetapan finalnya kepada MUI Pusat. Berarti, peserta Ijtima menyadari perlunya penetapan hukum merokok haram atau makruh agar dapat menjadi pegangan umat dalam beramal. Ini juga berarti hukum merokok bagi selain empat kelompok tersebut belum final. Namun demikian, dipahami pula bahwa sebenarnya semua peserta sepakat atas tidak baiknya merokok dan atas pelarangan merokok. Yang menjadi perbedaan adalah tentang tingkat pelarangan itu. Haram berarti larangan tegas dan keras, sedang makruh larangan tidak tegas. Sebab, secara bahasa makruh sendiri berarti dibencii. Secara fikih, makruh didefinisikan sebagai perbuatan yang berpahala meninggalkannya dan tidak berdosa melakukannya.
Selanjutnya perlu dipahami bahwa kekuatan fatwa final tentang hukum merokok yang akan ditetapkan oleh MUI Pusat kemudian itu, sama dengan kekuatan fatwa Ijtima III karena MUI Pusat menerima mandat dari Ijtima itu sendiri.
Adapun tentang perbedaan pendapat di kalangan ulama, bukanlah suatu yang aneh. Di dalam kitab-kitab usul fikih diterangkan banyak faktor yang menyebabkan munculnya perbedaan pendapat. Di antara faktor yang menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah perbedaan cara baca Alquran (qiraat), perbedaan penilaian terhadap hadis, perbedaan metode penggalian hukum (istinbath), dan ketiadaan nas Alquran dan Hadis menyangkut masalah yang dihadapi. Dalam konteks hukum merokok, terjadinya perbedaan pendapat terutama timbul dari ketiadaan nas yang langsung menyebut rokok. Rokok tidak ada di negeri Arab di zaman Nabi saw., zaman sahabat, dan zaman para ulama pendiri mazhab. Tembakau masuk ke Dunia Arab pada abad XI Hijriah. Namun demikian, Alquran dan Hadis telah menerangkan kriteria keharaman sesuatu. Antara lain Alquran menjelaskan bahwa Allah mengharamkan hal-hal yang jorok (QS, al-A`raf: 157). Alquran melarang melakukan perbuatan yang menyebabkan kebinasan diri (QS, al-Baqarah : 195) Alquran melarang tabzir dan memandang orang mubazzir sebagai saudara setan (QS, al-Isra’ : 27)
. Nabi menjelaskan yang artinya, “Tidak ada mudrat dan tidak memudratkan.” Hadis ini berarti bahwa seseorang tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan diri orang lain. Semua unsur larangan ini terdapat pada rokok. Merokok mengeluarkan asap yang berbau busuk, menyebabkan berbagai penyakit, dan membelinya membuang-buang uang untuk sesuatu yang tidak berman-faat. Karena itu, sejak lama rokok sudah diharamkan oleh sebagian ulama. Mereka telah mengharamkannya pada waktu penelitian ilmiah belum ba-nyak mengungkap bahaya rokok. Sekarang, penelitian tingkat nasional dan internasional sudah terlalu banyak membuktikan bahaya merokok sampai ke tingkat menyebabkan kematian.
Stacey Kenfield dari Harvard School of Public Health di Boston dan para koleganya menjelaskan temuan mereka dalam Journal of the American Medical Assoisation bahwa 64 per sen kematian pada perokok dan 28 per sen kematian pada mantan perokok, ternyata disebabkan rokok. Pada tahun 2000 terdapat lima juta kematian prematur yang disebabkan rokok. Dinas Kesehatan Kota Medan pernah menjelaskan bahwa setiap batang rokok yang dinyalakan mengeluarkan lebih kurang 4000 bahan kimia beracun yang sangat berbahaya dan menyebabkan kematian. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa pada tahun 2030, kematian yang disebabkan tembakau akan mencapai tiga juta per tahun di negeri-negeri industri dan tujuh juta jiwa di negeri-negeri berkembang. Karena jelasnya kematian yang disebabkan rokok ini, maka WHO membuat program “Kawasan Tanpa Rokok.” Program ini sudah diikuti oleh sejumlah negara yang bukan Islam, seperti India, Vietnam, dan Singapur. Larangan merokok dengan denda yang bervariasi di tempat-tempat umum dan tempat-tempat kerja sudah diberlakukan di Inggeris sejak bulan Juli 2007, di Skotland sejak 2006, di Wales dan Irlandia Utara sejak 2007. Pemerintah DKI Jakarta juga telah membuat Perda Larangan Merokok di tempat umum dan disahkan oleh DPRD-nya pada 4 Februari 2005. Pelanggar Perda ini diberi sanksi enam bulan kurungan atau denda sebesar 50 juta rupiah.
Sampai tahun 1980-an masih ada penerbangan yang membolehkan merokok di bagian belakang. Sejak 1990-an semua penerbangan bebas asap rokok. Karena itu, sebenarnya tidak pantas lagi Islam yang jelas mengharamkan perbuatan yang berbahaya untuk tidak mengharamkan ro-kok.
Namun demikian, harus dipahami mengapa masih ada juga ulama yang memakruhkannya. Pertama, memang tidak ada nas yang tegas secara eksplisit menyebut dan mengharamkan rokok. Tetapi, pada saat bahaya merokok semakin jelas tentunya hukum melarangnya juga akan semakin kuat. Perlu pula dipahami bahwa orang belum mengharamkan rokok bisa karena pertimbangan ekonomi. Ada sebagian daerah yang penghidupan warganya tergantung kepada tembakau, baik dari aspek pertaniannya dan industrinya, maupun dari aspek pengangkutannya. Misalnya, mereka hidup sebagai petani tembakau, buruh pabrik rokok, dan terlibat dalam kegiatan pengangkutannya. Pengharaman rokok bagi daerah dalam kondisi seperti ini bisa menimbulkan kekacauan dan kegon-cangan sosial. Mengahadapi kondisi seperti ini perlu diterapkan kaedah akhaffudh dhararain, yakni memilih yang paling ringan dari dua mudrat. Dari aspek siyasah syar`iyah juga bisa diterapkan pengharaman secara bertahap yang disebut tadrij. Saat ini kesepakatan baru sampai pada pengharamaan merokok bagi empat kelompok tersebut. Diharapkan, pada saatnya nanti akan tercapai kesepatan pengharamannya secara total. Perlu juga diingat bahwa dalam keadaan tertentu diterapkan kaedah, Ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluh (Sesuatu yang belum dapat dilaksanakan secara kese-luruhan tidak ditinggalkan keseluruhan). Dalam konteks rokok belum ter-capai kesepakatan untuk mengaharamkannya secara total, minimal empat kelompoklah dahulu diharamkan.

C. Kesimpulan
Tercapainya kesepakatan peserta Ijtima Ulama di Padang Panjang tentang haramnya merokok secara parsial perlu dipahami secara luas, tidak dari aspek normatifnya saja. Dengan melihatnya dari aspek normatif, ekonomi, dan politik, penetapan fatwa itu akan dapat dipahami secara positif. Dengan menggunakan sejumlah kaedah dan siyasah syar`iyah, fatwa itu wajar dan sah. Sebagai perbandingan, para ulama dahulu tidak pernah membahas hukum pemeliharaan lingkungan secara eksplisit. Sekarang sudah banyak gagasan tentang fikih lingkungan hidup sesuai dengan kebutuhan zaman. Sekarang marak lahirnya perda-perda syariah dengan berbagai aspek penekanannya sesuai dengan kondisi real. Misalnya, di Tangerang perda syariahnya menekankan pencegahan maksiat. Di Padang Sidimpuan dan Natal, perda syariahnya mene-kankan aspek pakaian dan pendidikan yang Islami. Di daerah lain tekanannya lain pula. Mengapa tidak perda syariah secara totalitas (Islam kaffah). Tentunya di sini ada pertim-bangan siyasah syar`iyah dan proses pentahapan syari`ah (tadrij). Perlu pula digarisbawahi bahwa fatwa hukum merokok yang dihasilkan Ijtima Ulama di Padang Panjang belum final, masih menunggu keputusan MUI Pusat.

Tidak ada komentar: