Rabu, 11 Februari 2009

MEMAHAMI FATWA MUI TENTANG GOLPUT

Oleh : Prof. Dr. H. Ramli Abdul Wahid, MA
Ketua Komisi Dikbud MUI Tk. I SU

A. Teks Fatwa
Seorang yang hendak memahami suatu konsep perlu mengetahui teks me-nyangkut konsep itu secara utuh dan jelas lebih dahulu agar pemahaman itu tidak melenceng dari maksud yang sebenarnya. Teks Fatwa Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III yang berlangsung di Padang Panjang pada tanggal 24-26 Januari 2009 tentang golput ada lima butir sebagai berikut.
(1)Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa, (2) Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama, (3) Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan masyarakat, (4) Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (shiddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathanah), dan memperjuangkan kepentinganh umat Islam hukumnya adalah wajib, (5) Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 (empat) atau tidak memi-lih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukum-nya adalah haram.

B. Dasar Fatwa
Fatwa tentang golput ini disertai dengan dasar pene-tapannya dari Al-Quran dua ayat dan dari Hadis sebelas buah hadis. Setelah Al-Quran dan Hadis, dasarnya juga diambil dari pernyataan Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Kemudian dike-mukakan tujuh kaedah fikih, dua pernyataan al-Mawardi, dua pernyataan Ibn Taimiyah, dan satu kutipan pendapat dari Mawahib ash-Shamad.
Dari Al-Quran, surat an-Nisa : 59 yang artrinya, “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) dan ulil amri di antara kamu.” Di antara hadis adalah riwayat al-Bukhari yang artinya, “Jika suatu perkara diserahkan kepada selain ahlinya maka tunggulah waktunya;” dan hadis riwayat Ahmad yang artinya, “Tidak halal bagi tiga orang yang bepergian kecuali mereka mengangkat di antara mereka seorang pemimpin.” Di antara kaedah fikih adalah kaedah yang artinya, “Apabila suatu kewajiban tidak dapat dilaksanakan secara sempurna tanpa adanya sesuatu yang lain, maka pelaksanaan sesuatu yang lain tersebut hukumnya juga wajib” dan kaedah yang artinya, “ Sesuatu yang tidak didapatkan semua (sesuai dengan idealisasi dan kehendak kita), seyogianya tidak ditinggalkan semuanya.” Salah satu kutipan dari al-Mawardi artinya, “Kepemimpinan (al-imamah) merupakan tempat pengganti kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia, dan memilih orang yang menduduki kepemimpinan tersebut hyukumnya adalah wajib menurut ijma`.”

C. Analisis
Kutipan-kutipan dari teks Fatwa Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III dan dasarnya tersebut di atas menunjukkan bahwa kalimat ‘golput haram’ ti-dak ditemukan dalam fatwa itu. Mengenai golput dapat dipahami dari bagian terakhir dari butir lima dari fatwa tersebut, yakni golput haram jika calon yang memenuhi syarat ada. Sebaliknya, bagian awal dari butir lima itu memberikan pengertian bahwa memilih (memberi suara dalam pemilihan) haram, jika yang di-pilih itu tidak memenuhi syarat yang tersebut pada butir empat.
Tentang wajibnya mengangkat kepala negara, bukanlah pendapat baru dalam Islam melainkan sudah menjadi pendapat klasik. Para sabahat Nabi saw. menangguhkan pemakaman Nabi saw. dari hari Senin sampai ke hari Rabu karena menjaga kevakuman pemimpin. Perintah Al-Quran untuk taat kepada pemimpin menuntut keharusan adanya pemimpin yang dipatuhi. Karena itu, para ulama dari dahulu, seperti al-Baghdadi (w.429 H), al-Mawardi (w.450 H), Ibn Hazm (w.456 H), Ibn Khaldun (w. 708 H) sampai para ulama belakangan semua menyatakan wajibnya mengangkat kepala negara untuk menegakkan keadilan dan menjaga kekacauan. Inilah pendapat agama. Adapun yang mengatakan bahwa pemberian suara pada pemilihan kepala negara sebagai hak rakyat, pendapat ini bukanlah pendapat agama, tetapi paham demokrasi sekuler.
Al-Quran mewajibkan umat untuk taat kepada ulil amri. Secara etimologis, ulil amri dalam bentuk jamak. Ini berarti, kepemimpinan itu terdiri dari sejumlah orang. Bentuk kepemimpinan yang terdiri dari sejumlah orang ini dalam sistem modern sangat jelas. Pemimpin tingkat pusat mempunyai menteri-menteri serta pemimpin-pemimpin yang membenatunya di tingkat daerah. Di Indonesia, umat Islam belum memiliki cara lain untuk mengangkat pemimpin selain dari cara demokrasi dan trias politika yang membagi kekuasaan kepada kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Selama belum terwujud sistem syura atau khilafah atau sistem lainnya, mau tidak mau umat Islam harus mengikuti sistem demokrasi yang sekuler ini.
Dengan sistem demokrasi, mereka dari tiga kekuasaan tersebutlah yang mengelola dan mengatur negara. Agar pengelolaan dan pengaturan negara ini bertujuan pada mewujudkan keadilan dan kemakmuran rakyat, maka mereka itu haruslah terdiri dari orang-orang terpercaya. Untuk mewujudkan pemimpin-pemimpin terpercaya, umat Islam berkewajiban mendukung calon-calon terper-caya melalui pemberian suara pada agenda-agenda pemilihan.
Menurut penulis, calon-calon pemimpin terpercaya itu ada meskipun tidak banyak. Bagi yang tidak mengetahuinya bertanyalah kepada yang mengetahuinya. Salah satu cara berpikir yang relevan dengan konteks pemilihan adalah ibarat orang yang mencari tempat menompang salat. Dalam hal kebersihan, umat Islam ini tidak sama. Ada yang rumahnya dipercaya bersih dari najis, ada yang kurang bersih, dan ada pula yang memang selalu tidak bersih. Tentunya, orang yang hati-hati akan memilih rumah yang dipercaya bersih dari najis.
Perlu pula diketahui bahwa Fatwa Ijtima Ulama ini sama sekali tidak menyebut partai dan pribadi tertentu yang dipandang memenuhi syarat. Karena itu, tidaklah wajar menuduh MUI telah menerima dana dari partai atau pribadi tertentu untuk mengeluarkan fatwa golput tersebut.

Tidak ada komentar: