Kamis, 01 Januari 2009

HUKUM SALAT JAMAK DAN QASAR

(SEBELUM BERANGKAT, SELAMA MUSAFIR, DAN SETELAH KEMBALI)
Oleh : PROF. Dr. H. Ramli Abdul Wahid, MA

A. Kemudahan dalam Islam
Islam adalah Agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Sebagai manusia, Muslim tidak selamanya berada di tempat tinggalnya. Ka-dang-kadang ia sedang menempuh perjalanan jarak jauh. Perjalanan jarak jauh atau musafir sedikit banyaknya akan menghadapi kesu-litan. Di antaranya kesulitan mencari air, kesulitan mencari tempat salat, dan kesulitan menjaga kebersihan pakaian dan sebagainya. Is-lam memperhatikan keadaan manusia. Karena itu, dalam Islam ada yang disebut hukum `azimah (dasar) dan ada yang disebut rukhshah (kemudahan). Dalam keadaan normal, berlaku hukum `azimah dan dalam keadaan tidak normal selalu berlalu hukum rukhshah.
Salat yang lima kali adalah fardu atas setiap Muslim. Demikian tingginya kewajiban melaksanakan salat fardu sehingga orang yang malas menger-jakannya berdosa besar dan dihukum bunuh. Orang yang mengingkari wajibnya salat menjadi keluar dari Islam. Namun, bagi orang yang sedang musafir, pelaksanaan salat fardu diberi keringanan. Orang yang mu-safir boleh memendekkan salat yang bangsa empat rakaat menjadi dua rakaat dan menggabung antara salat Zuhur dan Asar dan salat Magrib dan Isya. Memendekkan salat yang empat rakaat menjadi dua disebut qasar dan menggabung antara Zuhur dan Asar serta antara Magrib dan Isya disebut jamak.
Pelaksanaan salat jamak dan qasar mempunyai ketentuan yang berbeda dari ketentuan salat yang biasa. Dalam makalah ini, sebagai ketentuan ber-kaitan dengan jamak dan qashar itu akan dikemukakan.
B. Jarak Perjalanan Boleh Qasar
Para ulama telah berbeda pendapat dalam menentukan jarak musafir yang membolehkan qashar salat. Mazhab Hanafi menentukan jaraknya minimal perjalanan tiga hari tiga malam dan tidak mesti perjalanan itu dari pagi sampai sore, tetapi memadalah perjalanan dari pagi sampai tergelincir matahari. Perhitungan satu hari adalah perjalanan sedang dengan istirahat yang biasa. Sementara jumhur ulama menentukan jarak perjalanan yang membolehkan qashar itu perjalanan selama dua hari atau dua marhalah dengan perjalanan berbeban. Menurut DR. Wahbah az-Zuhaili, jarak perjalanan tersebut ditaksir empat barid atau 16 farsakh atau 48 mil. Satu mil sama dengan 3500 hasta. Ini ditaksir 89 km atau tepatnya 88,704 km. Dengan perjalanan jarak yang demikian seseorang boleh mengqasar salatnya sekalipun perjalanan itu sekarang ini bisa ditempuhnya da-lam satu jam, seperti naik pesawat. Sebab, ia tetap masuk ke dalam kategori orang yang menempuh perjalanan empat barid.
Ketika menjelaskan perjalanan dua hari ini, H.M. Arsyad Thalib Lubis mengutip perhitungan Sayid Ahmad Bek Al-Husaini bahwa jaraknya 89040 meter. Sementara H. Sulaiman Rasjid menjelaskan jarak perjalanan dua hari ini 80,640 km. Sejauh ini terlihat perbedaan perhitungan jarak perjalanan boleh qashar itu antara DR. Wahbah az-Zuhaili, H.M. Arsyad Thalib Lubis, dan H. Sulaiman Rasjid. Perbedaan ini timbul ketika mengalihkan perhitungan dari bilangan yang sangat relatif, yaitu hitungan perjalanan perhari kepada hasta kepada bilangan yang konkrit, yaitu km. Karena masalahnya relatif maka pengamalannya pun tidak harus kaku. Hitungan yang mana saja pun boleh diamalkan. Inilah syarat minimal jarak perjalanan yang membolehkan qashar, yakni memen-dekkan salat Zuhur, Asar, dan Isya yang masing-masing empat rakaat menjadi dua rakaat. Ini juga menjadi syarat bagi salat jamak, yakni menggabungkan antara salat Zuhur dengan Asar dan antara Magrib dengan Isya, baik dikerjakan pada waktu salat yang pertama (jamak taqdim) maupun pada waktu salat yang kedua (jamak ta’khir).
C. Jamak/Qasar Sebelum Musafir
Menurut DR. Wahbah az-Zuhaili, para ulama telah sepakat bahwa permulaan perjalanan yang boleh padanya qashar salat dan seumpamanya adalah keluarnya orang yang musafir dari rumah-rumah negerinya (kota-nya) dan negeri (kota) itu menjadi di belakangnya atau telah melewati bangunan arah tempat ia keluar. Sebab, mukim tergantung pada mema-sukinya maka musafir pun pada keadaan keluar darinya. Firman Allah, “Wa iza dharabtum fi al-ardh falaisa `alaikum an taqshuru min ash-shalah” (Jika kamu melakukan musafir di muka bumi maka tidak ada dosa atas kamu untuk mengqashar salat) Wahbah berkomentar, “Tidaklah seseorang itu musafir sebelum keluar.”
Imam an-Nawawi memberikan penjelasan detail tentang kapan seorang yang berniat musafir dibolehkan memulai qashar sebagai berikut. Tidak boleh melakukan qashar kecuali meninggalkan tempat tinggal (iqamah). Dalam ayat, Allah menggantungkan qashar pada musafir. Jika seorang yang melakukan perjalanan itu penduduk satu negeri (kota), ia tidak mengqashar sampai ia meninggalkan bangunan negeri (kota) itu itu. Jika ia penduduk satu kampung yang di sebelahnya ada kampung lain, ia mengqashar dengan meninggalkan kampungnya, jika ia penghuni kemah-kemah dan kemah-kemah itu menyatu, ia tidak meng-qasar sampai ia meningalkan semua kemah itu, dan jika kemah-kemah itu terpisah-pisah, ia meng-qashar setelah ia meninggalkan kemah-kemah yang berdekatan dengan kemahnya. Imam Syafii dan sahabat-sahabatnya berkata bahwa seseorang musafir dari negeri (kota) yang memiliki tembok khusus, disyaratkan ia melewati tembok itu. Sebab, ia belum dihitung musafir sebelum melewatinya. Jika telah ia telah melewatinya, ia diberi rukhshah untuk qashar dan lainnya. Jika negeri (kota) itu terbelah dua karena dipisahkan oleh sungai seperti Bagdad, maka orang yang hendak musafir itu menyeberang dari sebelah ke sebelah, ia tidak boleh qashar sampai ia meninggalkan bangunan di belahan kedua itu karena kedua belahan(bagian) itu adalah satu ne-geri (kota). DR. Wahbah az-Zuhaili juga menjelaskan ketidakbolehan seorang yang hendak musafir mengqasar salat sebelum keluar dari negeri atau kampungnya menurut empat mazhab.
Keterangan ini menunjukkan bahwa menurut empat mazhab dan jumhur ulama tidak boleh qashar sebelum keluar dari negeri (kota) atau kampung tempat tinggal. Namun demikian, Ibn al-Munzir menceritakan dari al-Haris ibn Abi Rabi`ah ketika hendak musafir, al-Haris salat bersama jemaah dua rakaat di rumahnya. Di antara mereka ada al-Aswad ibn Yazid dan banyak dari sahabat Ibn Mas`ud. Namun Imam an-Nawawi menilai pendapat ini fasid (salah) karena pendapat ini berlawanan dengan sebutan musafir
Adapun tentang jamak, menurut mazhab Hanafi hanya boleh bagi orang yang sedang ihram haji. Jamak tagdim ketika berada di Arafah dan jamak ta’khir ketika di Muzdalifah. Menurut mazhab Maliki, jamak taqdim boleh dengan salah satu syarat bahwa tergelincir mata-hari ketika turunnya orang yang musafir untuk istirahat. Ini berarti sedang dalam perjalanan (safar), bukan di negeri tempat tinggal. Menurut mazhab Syafii, salah satu syarat jamak taqdim adalah berkekalannya perjalanan (safar) sampai memasuki salat kedua dengan takbir al-ihram sekalipun terputus perjalanan (safar) itu di tengah salat yang kedua. Jika terputus perjalanan (safar) sebelum masuk ke dalam salat kedua maka jamak tidak sah lagi karena hilangnya sebab kebolehan jamak. Mazhab Hanbali mensyaratkan bahwa salat jamak itu bagi orang yang sedang dalam perjalanan (safar) yang boleh padanya qashar. Semua ini menunjukkan bahwa menurut mazhab Hanafi tidak ada jamak kecuali bagi orang yang sedang ihram haji di Arafah dan Muzdalifah dan menurut tiga mazhab lainnya jamak taqdim itu hanya boleh bagi orang yang sedang musafir, tidak bagi orang yang belum keluar dari negeri (kota) tempat tinggalnya.
Namun demikian, satu jemaah dari mazhab Zahiri dan Asyhab dari sahabat Malik membolehkan jamak bagi orang yang masih dalam negerinya (kotanya). Alasannya adalah keumuman lafaz hadis Ibn `Abbas, “Jama`a Rasulullah sallahu`alaih wasallam bain az-Zuhr wa al-`Ashr wa al-Maghrib wa al-`Isya fi ghair khauf wa la safar” (Rasul saw. menjamak Zuhur dan Asar dan antara Magrib dan Isya, bukan karena takut dan bukan karena musafir).
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa jamak taqdim harus dilakukan setelah keluar dari kota atau kampung tempat tinggal. Selain ini dalam kitab Tuhfah ath-Thullab disebutkan pula bahwa seorang musafir yang tidak bisa mendapatkan alat untuk wuduk atau tayammum, boleh melakukan salat sebagaimana adanya dan setelah sampai di tempat tujuan wajib menulanginya. Sementara pendapat dari ulama Zahiri yang membo-lehkan jamak yang masih di kota atau kampung tempat tinggal—meskipun tidak kuat—dapat dipandang sebagai alternatif bagi orang yang benar-benar sedang mengalami kesulitan.
D. Jamak/ Qasar dalam Perjalanan dan Setelah Kembali
Setelah keluar dari kota atau kampung, seorang yang sedang musafir mulai boleh melakukan jamak dan qashar sesuai dengan ketentuan tersebut sebelumnya. Namun, para ulama berbeda dalam menentukan batas waktu kebolehan itu. Menurut mazhab Maliki dan Syafii, jika seorang yang musafit berniat untuk tinggal di suatu negeri, selama empat hari atau lebih—selain hari masuk dan keluar dari negeri itu--maka ia tidak boleh melakukan salat qasar. Menurut mazhab Hanbali, tidak boleh qasar bagi orang yang berniat menetap (iqamah) di negeri tempat tujuan sekalipun tanpa menentukan waktu iqamah-nya. Menurut mazhab Hanafi qasar boleh sampai 15 hari. Rukhshah dengan sebab safar berakhir dengan kembali ke negeri tempat tinggal.
Adapun orang yang belum kembali dari perjalanan (safar) karena menunggu urusannya sehingga safarnya tertunda-tunda dan ia berniat berangkat kapan urusannya selesai maka selama itu ia boleh melakukan qashar dan jamak sekalipun bertahun-tahun. Dalam perjalanan kembali, rukhshah qashar dan jamak masih berlaku sampai memasuki batas kota atau kampung. Begitu seorang yang musafir sampai ke batas kota atau kampungnya, rukhshah jamak dan qasar berakhir.

Tidak ada komentar: