Rabu, 20 Februari 2008

PUASA DITINJAU DARI HADIS

Oleh : H. Ramli Abdul Wahid

Bulan Ramadan
Dalam Islam, Ramadan adalah penghulu dari segala bulan. Ramadan adalah bulan yang mulia, penuh berkah, dan dapat membersihkan manusia dari dosa. Pada bulan Ramadan, Alquran diturunkan buat pertama kalinya. Pada bulan Ramadan pahala amal sunat disamakan dengan pahala amal wajib di luarnya. Padanya juga diwajibkan puasa. Disunatkan salat tarawih, dan diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah. Di dalamnya juga terjadi lailatulkadar yang pahala beramal yang jatuh pada malam itu lebih baik daripada pahala amal seribu bulan di luarnya. Mengenai lailatulkadar disebutkan hadis Rasul saw. dalam Shahih al-Bukhari jilid I halaman 228 :


“Barang siapa bangun pada malam lailatulkadar dengan iman dan mengharapkan rida Allah diampunkan dosanya yang telah lalu, dan barang siapa melaksanakan puasa pada bulan Ramadan dengan iman dan mengharapkan rida Allah diampunkan dosanya yang telah lalu.”
Dalam kitab yang sama di halaman 227, al-Bukhari meriwayatkan :


“Apabila masuk bulan Ramadan, pintu-pintu langit dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.”
Ibn Hajarmengemukakan di dalam kitabnya, Fath al-Bari, jilid IV, hlm. 143-144, penjelasan para ulama tentang maksud hadis ini. Di antaranya ia mengemukakan pendapat `Iyadh bahwa maksud hadis tersebut bisa dalam pengertian tekstual dan bisa juga dalam arti isyarat akan banyaknya pahala serta keampunan, sedang godaan setan-setan berkurang sehingga merekaseperti dibelenggu. Kemungkinan lain, terbukanya pintu-pintu sorga berarti Allah swt. Membukakan bagi hamba-hamba-Nya ketaatan yang menjadi penyebab masuk sorga. Tertutupnya pintu-pintu neraka berarti terpalingnya keinginan berbuat maksiat yang membawa pelakunya ke dalam neraka. Terbelenggunya setan-setan berarti ketidakmampuan mereka untuk memperdaya dan membangkitkan hawa nafsu orang yang sedang berpuasa.
Sementara itu, al-Qurthubi cenderung kepada pengertian tekstualnya. Kemudian, ia mencoba menjawab pertanyaan yang mungkin timbul tentang bagaimana bisa terjadi kejahatan kalau memang setan-setan sudah dibelenggu dengan penjelasan bahwa kejahatan luput dari orang-orang yang melakukan puasa yang syarat-syarat dan tata-tertibnya benar-benar dipelihara. Ini juga bisa berarti bahwa setan yang dibelenggu itu hanya sebagian saja atau berarti kejahatan berkurang dalam bulan Ramadan.
Berbagai penafsiran ini menunjukkan keistimewaan bulan Ramadan dan bahwa orang yang melakukan puasa seharusnya terhindar dari kemaksiatan sehingga dengan latihan pensucian mental selama sebulan penuh itu dirinya menjadi bersih untuk masa setahun setahun berikutnya.
Kedudukan dan Fungsi Puasa
Puasa adalah salah satu rukun Islan yang lima. Puasa fardu merupakan ibadah wajib yang disyariatkan hanya pada bualn Ramadan. Imam al-Bukhari meriwa-yatkan dalam kitab Shahih-nya hadis :


“Islam dibangun atas lima dasar, yakni menyaksikan bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan Muhammad itu utusan Allah, mendirikan salat, menge-luarkan zakat, haji, dan puasa Ramadan.”
Hadis yang sama maksudnya diriwayatkan al-Bukhari dalam kitabnya beberapa kali, misalnya tentang kedatangan Jibril as. yang menanya Rasul saw. tentang iman, Islam, dan ihsan.
Dalam hadis di awal tulisan ini sudah diterangkan bahwa orang yang melak-sanakan puasa dengan penuh iman dan mengharap rida Allah akan terhapus dosanya yang telah lalu. Terbukanya pintu sorga, dan tertutupnya pintu neraka, serta terbelenggunya setan-setan pada bulan Ramadan juga berkaitan dengan keadaan manusia sedang berpuasa. Sehubungan dengan keutamaan dan fungsi puasa juga, Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya jilid I, halaman 226 hadis :


“Puasa adalah perisai, maka janganlah ia (yang berpuasa) berkata kotor dan jangan ber-buat jahat. Jika ada orang yang menyerangnya atau memakinya maka hendaklah ia berkata, “Saya sedang berpuasa,” dua kal. Demi Tuhan yang diriku di tanganNya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa (karena meninggalkan makan) lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi karena ia meninggalkan makannya, minumannya, dan nafsunya karena Aku. Puasa itu bagi-Ku dan Aku yang membalasnya, satu kebaikan dengan sepuluh kali lipat.”
Ini berarti bahwa puasa berfungsi menjadi benteng melawan kejahatan dan prilaku yang tidak terpuji. Melalui latihan puasa Ramadan ini, Nabi saw. menanamkan kepada umat Islam sikap lapang dada, sabar, dan ikhlas dalam pergaulan. Sebab, orang yang dalam keadaan puasa biasanya lebih mudah tersinggung daripada di luar waktu puasa. Ternyata, Islam mengajarkan dalam keadaan berpuasa pun orang tidak boleh mudah marah. Dengan memiliki sikap lapang dada seperti ini, egoisme dan keangkuhan akan hilang dari orang yang berpuasa.
Puasa juga merupakan latihan untuk membangkitkan rasa tanggung jawab social pada diri manusia. Orang yang berpuasa akan merasakan penderitaan lapar dan haus yang dialami kaum fakir miskin sepanjang masa. Perasaan lapar dan dahaga ini akan menimbulkan kesadaran dalam diri orang yang berpuasa untuk berusaha meringankan penderitaan saudaranya. Kesadaran ini juga akan menumbuhkan keinsapan untuk tidak hidup bermewah-mewah di tengah masyarakat yang diselimuti kemiskinan dan kelaparan. Dalam beberapa riwayat Nabi saw. bersabda bahwa orang yang memberi bukaan bagi orang yang berpuasa akan mendapat pahala seumpama pahala orang yang melakukannya tanpa mengurangi sedikit pun pahala puasa orang tersebut. Sebagaimana diriwayatkan at-Tirmizi di dalam kitabnya, Sunan at-Tirmizi, jilid III, halaman 171 :


“Barangsiapa memberi pebuka bagi orang yang berpuasa baginya pahala seperti pahala orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikit pun.”
Puasa tidak hanya berfungsi membentuk sikap dan perilaku terpuji dalam pergau-lan, tetapi juga dapat meningkatkan kesehatan. Dalam riwayat Ahmad Nabi bersabda :


“Berpuasalah kamu, niscaya akan sehat.”
Menurut as-Suyuthi dalam kitabnya, al-Jami` ash-Shaghir, jilid II, halaman 103, nilai hadis ini hasan. Hadis ini menerangkan bahwa puasa mendatangkan kesehatan. Mes-kipun bagi orang sekuler tidak ada syariat puasa, namun para ahli medis di Barat banyak yang menerapkan puasa bagi pasiennya untuk pengobatan berbagai penyakit, terutama penyakit darah tinggi dan penyakit gula. Di tengah masyarakat juga banyak orang yang mengamalkan puasa sunnat untuk mengontrol kadar gulanya. Di bulan Ramadan, pende-rita sakit gula merasakan betul manfaat puasa. Gulanya terkontrol sekalipun tidak olah raga.
Kualitas Puasa
Demikian banyak maslahat dunia dan akhirat yang terkandung dalam syariat puasa. Akan tetapi, tidak setiap yang disebut puasa pasti dapat mewujudkan tujuan puasa itu. Bahkan, ada puasa yang tidak mendatangkan suatu hasil apa pun juga. Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh ad-Darimi dalam kitabnya, Sunan ad-Darimi, juz II, halaman 39 :


“Berapa banyak orang yang berpuasa, tapi tidak memperoleh dari puasanya kecuali dahaga dan berapa banyak orang yang bangun tengah malam tapi tidak meperoleh kecuali hanya berjaga malam.”
Imam al-Bukhari juga meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya, halaman 228 :


“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan bohong dan perbuatan jahat, maka Allah tidak berkepentingan sedikit pun pada perbuatannya meningalkan makan dan minum.”
Dari kedua hadis ini dapat dipahami bahwa kualitas puasa itu bervariasi. Ada puasa yang mampu membentuk takwa sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat 183 dari surat al-Baqarah, ada yang hanya sekedar membayar kewajiban, dan ada pula yang tidak bermanfaat. Sehubungan dengan ini, kitab Ihya’ `Ulum ad-Din, jilid I, halaman 235-236, Imam al-Ghazali membagi puasa kepada tiga tingkatan sebagai berikut.
Puasa umum, yaitu menahan perut dan alat kelamin dari memenuhi keinginan nafsu.
Pusa khusus, yaitu puasa menahan pendengaran, penglihatan, lidah, tangan, dan seluruh anggota tubuh dari dosa.
Puasa khushushul khushush, yaitu puasa hati dari keinginan-keinginan yang rendah dan pikiran-pikiran duniawi serta menahan diri secara total dari mengingat selain Allah swt.
Orang yang sudah sampai pada tingkatan ini akan menganggap puasanya batal denganj memikirkan sesuatu selain Allah swt. dan hari akhirat. Demikian juga—menurut penilainnya—puasanya akan batal dengan memikirkan dunia kecuali dunia yang dimaksudkan untuk agama.

Adapun puasa tingkat kedua adalah puasa orang-orang saleh. Untuk menca-pai tingkatan kedua ini diperlukan beberapa syarat batin sebagai berikut.
1. Memejamkan dan menahan pandangan dari melihat setiap yang dicela melihatnya dan setiap yang melengahkan hati dari ingat kepada Allah swt.
2. Memelihara lidah dari omong kosong, dusta, bergunjing, memfitnah, perkataan keji, permusuhan, dan membuatnya diam serta menyibukkan hati dengan zikir kepada Allah dan membaca Alquran.
3. Menahan pendengaran dari setiap yang tidak disukai dalam gama.
4. Menahan semua anggota tubuh dari yang makruh dan menahan perut dari yang syubhat waktu berbuka.
5. Tidak memperbanyak makanan sekalipun yang halal waktu berbuka.
6. Sesudah berbuka, hatui berbimbang antara cemas dan harap karena ia tidak mengetahui pasti apakah puasanya diterima atau tidak.


Evaluasi Puasa
Dalam Alquran disebutkan bahwa puasa diwajibkan agar pelakunya menjadi bertakwa. Sebagian ciri takwa telah dijelaskan dalam hadis-hadis tersebut di atas. Di antara perilaku orang yang bertakwa disebutkan pula dalam surat Ali Imran, ayat 134-135. Dalam ayat ini dijelaskan secara eksplisit lima dari perilaku dimaksud.
1. Suka berinfak, baik di waktu senang maupun di waktu susah.
2. Menahan marah. Orang yang mencapai derjat takwa akan mampu menahan dan mengontrol marah karena antara menahan dan meneruskan marah sebenarnya ter-gantung pada kehendak yang bersangkutan.
3. Memberi maaf kepada orang yang bersalah, sedang ia mampu membalasnya.
4. Berbuat baik kepada orang lain.
5. Bersegera meminta ampun kepada Allah jika terlanjur membuat kesalahan.
Inilah sebagian perilaku orang yang sudah mencapai derjat takwa yang sekaligus menjadi tujuan pokok dari disyariatkannya puasa. Untuk mengetahui seberapa besar puasa berfungsi membentuk ketakwaan, pelaku puasa dapat mengevaluasi berapa banyak perilaku tersebut telah melekat dan menghiasi dirinya. Kesempurnaan perilaku tersebut pada dirinya merupakan indikasi atas kesempurnaan ibadah puasanya karena telah berhasil mengantarkannya ke tingkat takwa. Sebaliknya, ketiadaan tanda-tanda tersebut pada dirinya menjadi indikasi pula atas ketiadaan efektifitas puasanya. Sebagai konsekwensinya, puasanya pun perlu diperbaiki, baik dari sudut kebenaran dan kesempurnaan pelaksanannya maupun dari sudut keikhlasan dan penghayatannya.


Medan, 26 Agustus 2007

Tidak ada komentar: