Jumat, 18 Juli 2008

BENARKAH JEMAAH AHMADIYAH INDONESIA TIDAK MEMPERCAYAI MIRZA GHULAM AHMAD SEBAGAI NABI


Oleh : Dr. H. Ramli Abdul Wahid, MA
Ketua Komisi Dikbud MUI SU

A. Pengakuan Mirza Sebagai Nabi
Harian Waspada terbitan, Jumat, 25 April 2008 telah memuat tulisan berjudul, “Ajaran dan Klaim Pendiri Aliran Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad.” Mirza mempunyai banyak ajaran dan klaim yang bertentangan dengan ajaran pokok Agama Islam. Dalam tulisan tersebut dikemukakan tujuh belas ajaran dan klaim Mirza yang dikutip langsung dari Kitab Tazkirah Wahyun Muqaddasun (Wahyu Suci) sebagai himpunan wahyu yang diterimanya dari Tuhan. Sumber lain adalah buku-buku karangan langsung Mirza, yaitu al-Istifta’, Maktub Ahmad, Mawahib ar-Rahman, dan Eik Ghalathi Ka Izalah dalam bahasa Urdu yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul, Memperbaiki Suatu Kesalahan oleh H.S. Yahya Pontoh. Tujuh belas ajaran dan klaim Mirza tersebut sengaja dikemukakan secara leterlek tanpa komentar agar pembaca memahaminya secara mandiri, tanpa dicampuri analisis dari penulis.
Ajaran pokok Mirza adalah pengakuannya sebagai nabi dan rasul. Mirza lahir jauh sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw. Mirza lahir di Qadian, India pada tahun 1835 dan meninggal pada tahun 1908. Sementara Alquran dan Hadis menjelaskan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir, tidak ada lagi Nabi sesudahnya. Keyakinan tentang Nabi Muhammad sebagai Nabi penutup adalah ajaran prinsipil dalam Islam. Ini adalah masalah akidah. Akidah lebih penting daripada syariah. Orang yang akidahnya salah menjadi sesat dan bisa keluar dari Agama Islam. Ibadah, puasa, zakat, haji, dan segala ibadahnya tidak sah. Sebaliknya, orang yang tidak salat, tidak puasa, tidak berzakat karena malas, bukan karena meyakini bahwa ibadah-ibadah ini tidak wajib, ia masih tetap Muslim. Hanya saja, ia berdosa dan akan masuk neraka untuk menebus dosanya itu dan kemudian masuk sorga karena ia masih tetap Mukmin. Karena itu, pengakuan Mirza sebagai Nabi dengan segala perangkatnya, seperti turunnya wahyu, adanya mukjizat, dan kedatangan Jibril kepadanya menjadi dasar bagi para ulama di masanya dan sampai sekarang untuk mengkafirkannya. Demikian juga para pengikutnya.
Kepercayaan akan kenabian Mirza ini jugalah yang menjadi masalah pada Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Sekiranya Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) benar tidak mengakui Mirza sebagai nabi dengan segala perangkat kenabiannya, permasalahan Ahamdiyah sudah selesai. Karena itu, umat Islam perlu mengetahui apakah JAI mempercayai kenabian Mirza atau tidak.

B. Kenabian Mirza di Kalangan JAI
Untuk mengetahui apakah Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) meyakini kenabian Mirza atau tidak, penyelidikan harus dilakukan melalui sumber-sumber autentik, yaitu Anggaran Dasar(AD) JAI dan buku-buku serta pernyataan-pernya-taan yang dikeluarkan oleh JAI secara resmi. Sumber-sumber tulisan ini adalah Anggaran Dasar Jemaah Ahmadiyah Indonesia (AD JAI), buku Kami Orang Islam(KOI) Cet. V, Penerbit Jemaat Ahmadiyah Indonesia, tahun 1985; buku Tiga Masalah Penting(TMP) karya H. Mahmud Ahmad Cheema H.A., yang sudah cetak ulang lima belas kali dari tahun 1985 sampai 2004. Buku ini telah diperiksa oleh Dewan Naskah Jemaat Ahmadiyah Indonesia, SK Dewan Naskah NO. 011/26.09-95 dan diterbitkan oleh Hajaruddin S.Ag & MI (1995) Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Jl. Raya Parung Bogor No. 27, PO Box 33/Pru, Parung Bogor 16330; buku Memperbaiki Suatu Kesalahan (Eik Ghalathi Ka Izalah) karya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Alih bahasa : H.S. Yahya Pontoh, diterbitkan oleh Jelamaat Ahmadiyah Indonesia, 1993; dan Penjelasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia Terhadap Keberatan-keberatan dari Pihak Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) yang dikeluarkan oleh Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Jl. Raya Parung-Bogor No. 27, Bogor pada tanggal 27-09-94 ditujukan kepada Ketua Mahkamah Agung RI, Jl. Merdeka Utara, Jakarta Pusat dan untuk memudahkan, selanjutnya akan disebut Penjelasan.
Dalam AD Jemaat Ahmadiyah Indonesia (AD-JAI) dijelaskan sebagai berikut. I. Nama dan Waktu didirikan : Djemaat Ahmadiyah bagian Indonesia diberi nama Djemaat Ahmadiyah Indonesia dapat tempat kedudukan Djakarta dan didirikan pada tahun 1925. (M) untuk waktu yang tidak tertentu. II. Maksud : Maksud Djemaat ini ialah menjebarkan Agama Islam menurut peladjaran Hazrat Masih Mau’ud a.s. dan para Khalifahnja keseluruh Indonesia, dan membantu Djelamaat Ahmadiyah diluar Indonesia dalam hal itu. V. Terhadap Pemerintah: Djemaat Ahmadiyah Indonesia-berdasar atas peladjaran Ahmadiyah—tunduk pada Undang-undang Negara. VIII. Keahmadiyahan (Keanggautaan) : Djemaat Ahmadiyah Indonesia ini terdjadi dari orang-orang Ahmadi. Jang disebut Ahmadi ialah : a. Laki-laki atau perempuan jang telah beriman dan mengaku dengan hati dan iqrar dengan lisan atau tulisan (baiat) bahwa segala da’wa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. itu benar dan mengikuti kepada jang mendjadi Khalifah-khalifah, dan ia masuk dalam baiat Khalifah jang ada pada waktu itu. Sjarat-sjarat jang sepuluh dan formulir baiat terlampir sebagai lampiran I; b. Anak-anak orang Ahmadi jang belum ‘aqil baligh.
Syarat-syarat baiat masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah yang sepuluh dise-butkan dalam buku KOI, halaman 18-19. Syarat-syarat nomor 1 sampai ke-9 biasa-biasa saja. Syarat ke-10 adalah: “Dia akan mengikat janji persaudaraan dengan Hamba Allah ini (Masih Mau’ud a.s.) semata-mata karena mencari keridhaan Allah Ta’ala, yakni bahwa dia akan mentaati aku dalam segala hal ma’ruf yang aku anjurkan kepadanya, kemudian dia tidak akan berpaling dari padanya dan tidak pula akan memungkirinya sampai mati. Dan janji persaudaraan ini hendaklah demikian sempurnanya sehingga tidak ada pertalian-pertalian dunia yang dapat menyamainya, baik pertalian kekeluargaan ataupun perniagaan.”
Pasal VIII dari AD ini jelas menunjukkan bahwa JAI mengakui kebenaran segala dakwaan Mirza, taat kepadnya, dan siap mengikuti Khalifah-khalifahnya. Sebagaimana disebutkan terdahulu bahwa dakwaan pokok Mizra adalah statusnya sebagai nabi dan rasul Tuhan. Dalam syarat baiat ke-10 jelas pula bahwa JAI taat sepenuhnya sampai mati kepada apa saja yang dianjurkan oleh Mirza.
Kepercayaan JAI tentang kenabian Mirza juga mereka tegaskan dengan mengutip pernyataan Mirza dalam buku KOI hlm. 27 sebagai berikut. “Keadaan sebenarnya hanyalah ini : bila saya (Mirza-red) menyebutkan diri saya seorang Nabi, saya maksudkan hanya bahwa Allah SWT berbicara dengan saya, bahwa Dia sangat sering berkata-kata dengan saya dan Dia bercakap-cakap dengan saya dan menerima penganbdian saya dan mewahyukan kepada saya hal-hal ghaib, dan membukakan kepada saya rahasia-rahasia yang berhubungan dengan masa datang dan yang tidak Dia bukakan kepada seorang yang tidak Dia cintai dan dekat kepada-Nya. Sesungguhnya Dia mengangkat saya sebagai nabi dalam arti itu.”
Pengutipan pengakuan nabi oleh Mirza menunjukkan keyakinan JAI akan kenabiannya. Dalam buku KOI, hlm. 65, JAI mengemukakan ayat 6 dari surat as-Shaf yang artinya, “Dan ingatlah ketika Isa putra Maryam berkata : Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumnya yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (akan datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku yang namanya Ahmad.” JAI berkomentar, Dalam ayat ini nama Ahmad adalah diperuntukkan kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad karena beliau sama dengan Nabi Isa as. dalam sifat-sifatnya. Ini juga berarti pembenaran JAI akan kenabian Mirza.
Tentang keyakinan JAI akan kenabian Mirza lebih tegas dalam Penjelasan hlm. 1 yang mereka buat sebagai berikut. Ahmadiyah meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu Nabi dan Rasul adalah berdasar pengakuan bahwa beliau mendapat wahyu dan diangkat oleh Tuhan. Jadi bukan atas kemauan beliau sendiri. Tuhan mempunyai kekuasaan dan wewenang mengangkat siapa saja di antara hamba-hamba yang dipilih-Nya. Adapun dalam syahadat, JAI tidak perlu mengubah nama Muhammad karena Mirza Ghulam Ahmad mengaku bernama bernama Muhammad. Dalam buku karyanya yang berjudul Memperbaiki Suatu Kesalahan (Eik Ghalathi Ka Izalah) hlm. 5, Mirza berkata, “Dalam wahyu ini (Muhammad Rasulullah-Red) Allah swt. menyebutkan namaku “Muhammad” dan “Rasul.” Buku ini dicetak oleh JAI pada tahun 1993 menunjukkan bahwa mereka memeprcayai dan menyiarkannya menjadi pegangan bagi anggotanya.
JAI tidak hanya mengakui kenabian Mirza, tetapi lebih dari itu mereka mempercayai akan datangnya lagi nabi-nabi sampai akhir zaman. Dalam buku JAI, KOI, hlm 45, JAI mengemukakan surat 22 : 76 yang artinya, “Allah akan memilih rasul-rasul dari malaikat dan manusia.” JAI berkomentar, “Dalam ayat ini jelas sekali pemilihan rasul-rasul akan tetap berlaku karena perkataan memilih dengan shigha mudhari’ yang harus diartikan sedang atau akan memilih, bukan telah memilih.” “Mengartikan dengan telah atau sedang—menurut JAI-- adalah salah sekali.” Pada hlm. 46, JAI menegaskan, “Maka tidak ada alasan pemilihan tidak akan dilakukan lagi sesudah Nabi Muhammad saw.” Allah berfirman dalam surat al-Maidah : 4 yang artinya, “Hari ini Aku telah menyempurnakan atas kamu nikmat-Ku dan Aku ridhai Islam itu menjadi agamamu.” Ketika ada orang yang menjadikan ayat ini sebagai bagian dari dalil atas bahwa Nabi Muhammad itu Nabi terakhir, JAI membantahnya dalam buku yang sama pada hlm. 53 sebagai berikut. “Dengan ayat ini pihak yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad saw. Nabi yang terakhir mengatakan bahwa agama Islam sempurna dengan tidak perlu seorang nabi datang lagi. Kalimat “menyem-purnakan” tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak ada lagi Nabi sesudah Nabi Muhammad saw. Allah telah menganjurkan kepada Umat Islam supaya selalu minta kepadaNya agar nikmat-nikmat yang telah diberikan kepada umat-umat terdahulu diberikan pula kepada umat Islam.”
Adapun hadis riwayat Abu Dawud dan at-Tirmizi yang artinya, “Akan datang nanti dalam umatku 30 orang sangat pendusta, masing-masing mendakwakan dirinya menjadi Nabi sedangkan aku adalah penutup nabi-nabi, tidak ada nabi sesudahku,” JAI membuat penafsirannya sendiri. JAI membuat keterangan dalam buku KOI, hlm. 59, “Membataskan bahwa nanti akan muncul 30 orang pembohong Dajjal yang mendakwakan dirinya Nabi itu, sudah menunjukkan akan adanya Nabi yang benar. Kalau tiap-tiap Nabi yang mendakwakan dirinya dianggap pendusta, tentu Nabi saw. mengatakan tiap-tiap yang mendakwakan dirinya Nabi semuanya bohong.” Penafsiran ini jelas tidak mengikuti kaedah bahasa, tidak masuk akal, dan mengada-ngada. Di bagian akhir hadis itu sendiri sudah dijelaskan apa maksud tiga puluh nabi palsu. Di bagian akhir Nabi Muhammad sudah menegaskan bahwa ia penutup Nabi dan tidak ada Nabi sesudahnya. Menurut bahasa, dalam hadis ini sama sekali tidak terkandung makna bahwa yang akan datang itu 30 nabi palsu dan yang lainnya nabi yang benar. Justru, bahasa hadis ini menutup adanya lagi nabi yang benar sesudah Nabi Muhammad. Jika ada lagi yang mengaku nabi, itu adalah nabi palsu. Seandainya pun penafsiran JAI ini diikuti, JAI harus menunjukkan mana 30 nabi yang palsu itu dan apa tanda-tandanya. Jika JAI mengatakan bahwa nabi yang benar berdasarkan turunnya wahyu kepadanya, semua nabi palsu mengaku menerima wahyu dari Tuhan. Para sahabat, para ulama tafsir, para ulama hadis, dan para ulama mujtahid, semuanya tidak pernah membuat penafsiran seperti yang dibuat JAI. Di zaman Nabi saw., zaman sahabat, dan tabiin, setiap muncul orang yang mengaku nabi dihukum bunuh. Karena itu, para ulama di masa hidup Mirza sendiri sudah memnfatwakan kekafirannya dan para pengikutnya. Ini adalah pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sendiri antara lain dalam bukunya yang berjudul Mawahib ar-Rahman, hlm. 12 dan buku al-Istifta’, hlm. 53. Pakistan sebagai negeri tempat kelahirannya menetapkan Ahmadiyah sebagai non-Muslim. Kerajaan Arab Saudi melarang Ahmadiyah masuk mengerjakan haji karena me-mandangnya sebagai non-Muslim.
Dalam Penjelasan, hlm. 3, JAI mengatakan, “Adanya nabi sesudah Nabi Muhammad saw. tidak mengurangi kemuliaan serta keagungan beliau, bahkan meningkatkan martabat serta derajat beliau. Akan tetapi, nabi sesudah beliau saw. hanyalah nabi ummati (nabi ummat/pengikut) dan sekali-kali tidak membawa syariat…” Benarkan Mirza tidak membawa syariat. JAI sendiri memberikan penjelasan dalam Penjelasan, hlm. 7 dengan mengutip penjelasan ulama mereka sebagai berikut. “Mengenai mereka (yakni orang-orang Ahmadiyah) tidak mau mengadakan hubungan perkawinan dengan orang yang bukan Ahmadiyah dan tidak pula mau sembahyang di belakang orang yang bukan Ahmadiyah, maka yang demikian itu bukanlah satu hal yang patut disalahkan.Adakah Tuan sendiri bersedia kawin di lingkungan satu keluarga yang anggota-anggotanya menentang pendirian Tuan? Dan adakah Tuan sudi bersembahyang di belakang orang-orang yang menurut tingkah lakunya tidak layak jadi imam?”
Keterangan menunjukkan pengakuan JAI akan adanya syariat JAI yang berbeda dengan umat Islam. Dalam salatnya saja mereka tidak boleh sama dengan orang orang Islam. Menurut Islam, perempuan Ahlulkitab saja boleh dikawini oleh orang Islam. Berarti, orang Islam lebih kafir dari Ahlulkitab menurut JAI sehingga tidak boleh sama sekali kawin antara JAI dengan orang Islam. Dalam buku KOI, hlm. 19 JAI menerangkan bahwa “seorang yang masuk Jemaat Ahma-diyah wajib berjanji akan memberikan sumbangan untuk da’wah dan tabligh Islam sedikitnya seperenam belas (1/16 dan adakalanya sampai sepertiga (1/3) dari penghasilan atau gaji yang diperdapatnya dalam tiap-tiap bulan.”
Ketentuan tentang tidak bolehnya JAI kawin dengan non-Ahmadi, tidak bolehnya salat di belakang non-Ahmadi, dan wajibnya seorang Ahmadi menye-rahkan 1/16 sampai 1/3 dari penghasilan perbulan kepada JAI, tidakkah ini syariat yang tidak ditemukan dalam Islam.

C. Kesimpulan
Sebagaimana telah disebutkan di awal tulisan ini bahwa masalah akidah lebih menentukan seseorang itu Islam atau tidak, daripada hal-hal syariat. Sementara itu, JAI secara resmi tertulis mengakui kenabian Mirza. Bahkan, JAI mengimani akan munculnya nabi-nabi lain sesudah Mirza. Pengakuan akan kenabian Mirza dan keabsahan kedatangan nabi-nabi sesudah Mirza dengan segala pembelaan JAI akan keyakinannya ini telah jelas dalam kutipan-kutipan di atas. Ternyata, JAI juga mengakui akan adanya syariat yang berbeda dengan syariat Islam sehingga seorang Ahmadi tidak boleh kawin dengan non-Ahmadi, tidak boleh salat di belakang non-Ahmadi, dan adanya kewajiban yang tidak dikenal dalam syariat Islam. Perbedaan syariat antara satu agama dan lainnya tidak harus secara total. Perbedaan syariat Islam dengan syariat agama-agama sebelumnya tidak semuanya secara total. Karena itu, syariat haji, syariat kisas, syariat diat, dan syariat khitan ditemukan juga dalam syariat agama-agama samawi sebelum Islam. Demikian juga halnya dengan syariat Ahmadiyah. Tidak harus semuanya berbeda dengan syariat Islam. Namun, tampak jelas bahwa JAI mempunyai syariat yang tidak ditemukan dalam Islam. Berdasarkan AD JAI dan penjelasan serta buku-buku yang diterbitkannya, JAI jelas berbeda dengan Islam, baik dalam akidah maupun dalam syariat.
Kutipan-kutipan di atas menunjukkan paham, keyakinan, dan penafsiran JAI bertentangan dengan Islam. Mudah-mudahan, mereka menyadari kekeliruan me-reka sehingga dapat kembali kepada Islam yang benar. Inilah jalan terbaik dan yang paling selamat di dunia dan akhirat.

Medan, 12 Mei 2008

DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA

Tidak ada komentar: