Hukum mengangkat kepada negara adalah wajib berdasarkan Alquran, Hadis, ijmak ulama, dan akal. Alquran surat an-Nisa’ : 59 artinya, Orang-orang Mukmin diperintahkan untuk patuh kepada Allah, Rasul, dan penguasa. Dalam surat al-Hadid : 25 dijelaskan bahwa di antara tugas Rasul dan para pengikut yang datang sesudahnya adalah menegakkan keadilan di tengah-tengah manusia dan membantu Agama Allah. Tentunya, tanpa adanya kepala negara, tuntutan kedua ayat ini tidak dapat terlaksana. Untuk memenuhi tuntutan ayat-ayat ini, umat wajib mengangkat kepala negara. Dalam riwayat Abu Dawud, Nabi saw. bersabda :
“Jika ada tiga orang dalam perjanan, hendaklah mereka mengang-kat (pemimpin) salah seorang mereka.”
Kepada orang yang melakukan perjalanan dalam jumlah tiga orang saja Nabi saw. memeintahkan agar mengangkat satu orang dari mereka menjadi pemimpin mereka. Di samping itu, para sahabat dan tabiin telah ijmak atas wajibnya mengangkat imam atau kepala negera. Kenyataan sosial juga menunjukkan bahwa sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup harmonis tanpa adanya pemerintahan yang sah mengatur pergaulan mereka.
Tentang wajibnya mengangkat kepala negara, para ulama telah memberikan penjelasan. Al-Bagdadi (w. 429 H), Innal imamah fardhun wajibun `alal ummah liajli iqamatil imam (Sesungguhnya, keimaman adalah fardu yang wajib atas umat untuk mendirikan imam (kepala negara). Al-Mawardi (w. 450 H) berkata : Al-Imamah maudhu`atun likhilafatin Nubuwwah fi hirasatid Din wa siyasatid dunya wa `aqduha liman yaqumu biha fil ummah wajibun bil ijma` wa insyazza `anhum al-Asham. (Keimaman dibuat untuk menggan-tikan kenabian dalam menjaga Agama dan mengatur urusan dunia dan mengaqadkannya bagi orang yang melaksanakannya di tengah umat adalah wajib secara ijmak, sekalipun ganjil sendiri pendapat al-Asham.”)
Ibn Hazm (W. 456 h) berkata : Ittafaqa jami`u Ahlis Sunnah wa jami`ul Murji’ah wa jami`usy Syi`ah wa jami`ul Khawarij `ala wujubil imamah, hasyan Najdat minal khawarij. (Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji’ah, seluruh Syiah, dan seluruh Khawarij atas wajibnya keimaman, kecuali (sekte Najdat dari Khawarij.)
Ibn Khaldun (w. 708 H) berkata : Inna nashibal imam wajibun qad `urifa wujubuhu fisy-syar`I bi ijma`ish shahabah wat tabi`in. (Sesungguhnya menetapkan kepala negara wajib dan telah diktahui wajibnya dalam syariat dengan ijmak sahabat dan tabiin.”)
Keterangan para ulama ini menunjukkan bahwa hukum me-negakkan kepala negera adalah wajib. Konsekwensinya, menggu-nakan hak pilih untuk menegakkan kepala negara juga wajib.
Kewajiban menggunakan hak suara di atas menyangkut pemilihan kepala negara. Adapun penggunaan suara untuk pemilihan suara untuk tingkat daerah juga sama. Apalagi dalam konteks otonomi daerah yang sedang dikembangkan di Indonesia. Kebijakan daerah itu sangat besar dan menentukan. Dalam pandangan Islam, pengurusan agama merupakan bagian dari kewajiban kepala negera. Demikian juga jajaran kepemimpinan sesuai dengan jenjang masing-masing, wajib mengurusi Agama. Karena itu, memperjuangkan pemimpin yang diharapkan mampu dan berkemauan mengurusi Agama ada-lah kewajiban umat. Pemimpin yang tidak beragama atau tidak menghayati agama, tidak mungkin diharapkan akan mengurusi Agama. Umat Islam berkewajiban memper-juangkan pemimpinnya sesuai dengan bidang dan wewenang masing-masing, mulai dari menggunakan hak suaranya.
Khusus dalam kondisi persaingan ketat antara perjuangan meme-nangkan pemimpin yang peduli Agama dan perjuangan me-menangkan pemimpin yang tidak peduli Agama, kewajiban untuk memperjuangkan kepemimpinan yang hak menjadi lebih tinggi. Orang Islam yang tidak menggunakan suaranya pasti merugikan perjuangan untuk kepe-mimpinan umat. Jika gara-gara seorang atau beberapa orang Islam tidak menggunakan hak suaranya sehingga menyebabkan kekalahan calon pemimpinnya, maka jelas dia atau mereka akan menanggung dosanya dan semuanya akan menerima musibahnya.
Medan, 8 Desember 2007
DR.H. Ramli Abdul Wahid, MA
Ketua Komisi Dikbud dan Anggota
Komisi Fatwa MUI Tk. I SU
“Jika ada tiga orang dalam perjanan, hendaklah mereka mengang-kat (pemimpin) salah seorang mereka.”
Kepada orang yang melakukan perjalanan dalam jumlah tiga orang saja Nabi saw. memeintahkan agar mengangkat satu orang dari mereka menjadi pemimpin mereka. Di samping itu, para sahabat dan tabiin telah ijmak atas wajibnya mengangkat imam atau kepala negera. Kenyataan sosial juga menunjukkan bahwa sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup harmonis tanpa adanya pemerintahan yang sah mengatur pergaulan mereka.
Tentang wajibnya mengangkat kepala negara, para ulama telah memberikan penjelasan. Al-Bagdadi (w. 429 H), Innal imamah fardhun wajibun `alal ummah liajli iqamatil imam (Sesungguhnya, keimaman adalah fardu yang wajib atas umat untuk mendirikan imam (kepala negara). Al-Mawardi (w. 450 H) berkata : Al-Imamah maudhu`atun likhilafatin Nubuwwah fi hirasatid Din wa siyasatid dunya wa `aqduha liman yaqumu biha fil ummah wajibun bil ijma` wa insyazza `anhum al-Asham. (Keimaman dibuat untuk menggan-tikan kenabian dalam menjaga Agama dan mengatur urusan dunia dan mengaqadkannya bagi orang yang melaksanakannya di tengah umat adalah wajib secara ijmak, sekalipun ganjil sendiri pendapat al-Asham.”)
Ibn Hazm (W. 456 h) berkata : Ittafaqa jami`u Ahlis Sunnah wa jami`ul Murji’ah wa jami`usy Syi`ah wa jami`ul Khawarij `ala wujubil imamah, hasyan Najdat minal khawarij. (Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji’ah, seluruh Syiah, dan seluruh Khawarij atas wajibnya keimaman, kecuali (sekte Najdat dari Khawarij.)
Ibn Khaldun (w. 708 H) berkata : Inna nashibal imam wajibun qad `urifa wujubuhu fisy-syar`I bi ijma`ish shahabah wat tabi`in. (Sesungguhnya menetapkan kepala negara wajib dan telah diktahui wajibnya dalam syariat dengan ijmak sahabat dan tabiin.”)
Keterangan para ulama ini menunjukkan bahwa hukum me-negakkan kepala negera adalah wajib. Konsekwensinya, menggu-nakan hak pilih untuk menegakkan kepala negara juga wajib.
Kewajiban menggunakan hak suara di atas menyangkut pemilihan kepala negara. Adapun penggunaan suara untuk pemilihan suara untuk tingkat daerah juga sama. Apalagi dalam konteks otonomi daerah yang sedang dikembangkan di Indonesia. Kebijakan daerah itu sangat besar dan menentukan. Dalam pandangan Islam, pengurusan agama merupakan bagian dari kewajiban kepala negera. Demikian juga jajaran kepemimpinan sesuai dengan jenjang masing-masing, wajib mengurusi Agama. Karena itu, memperjuangkan pemimpin yang diharapkan mampu dan berkemauan mengurusi Agama ada-lah kewajiban umat. Pemimpin yang tidak beragama atau tidak menghayati agama, tidak mungkin diharapkan akan mengurusi Agama. Umat Islam berkewajiban memper-juangkan pemimpinnya sesuai dengan bidang dan wewenang masing-masing, mulai dari menggunakan hak suaranya.
Khusus dalam kondisi persaingan ketat antara perjuangan meme-nangkan pemimpin yang peduli Agama dan perjuangan me-menangkan pemimpin yang tidak peduli Agama, kewajiban untuk memperjuangkan kepemimpinan yang hak menjadi lebih tinggi. Orang Islam yang tidak menggunakan suaranya pasti merugikan perjuangan untuk kepe-mimpinan umat. Jika gara-gara seorang atau beberapa orang Islam tidak menggunakan hak suaranya sehingga menyebabkan kekalahan calon pemimpinnya, maka jelas dia atau mereka akan menanggung dosanya dan semuanya akan menerima musibahnya.
Medan, 8 Desember 2007
DR.H. Ramli Abdul Wahid, MA
Ketua Komisi Dikbud dan Anggota
Komisi Fatwa MUI Tk. I SU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar