Tampilkan postingan dengan label Wajib Baca. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wajib Baca. Tampilkan semua postingan

Senin, 01 September 2008

PUASA DALAM LINTASAN SEJARAH


Oleh : DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA

A. Literatur Sejarah Puasa
Literatur tentang hukum dan hikmah puasa banyak tersebar di mana-mana. Tetapi, literatur tentang sejarah puasa tidak banyak dan tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia. Sementara keberadaan puasa di kalangan bangsa-bangsa sebelum lahirnya Islam sudah masyhur dan disebutkan secara jelas dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 183 yang artinya, “Diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu.” Karena itu, sejarah puasa menarik untuk dibahas sebagai penjelasan kepada ayat ini. Bahkan, dalam sejarah Islam sendiri pelaksanaan puasa itu tidak selamanya sama. Seka-lipun intinya sama, yaitu menahan diri dari segala yang membatalkan puasa sepanjang hari, namun praktik-praktik yang mengitari inti puasa itu kadang-ka-dang berbeda.
Dalam kitab-kitab fikih, sejarah puasa tidak dijelaskan. Dalam tarikh tasyri`, sekelumit dari sejarahnya disebutkan bahwa puasa bulan Ramadan itu diwajibakan pada bulan Syakban tahun ke-2 Hijrah. Dalam kitab-kitab tafsir sejarah puasa terpaksa dijelaskan sebagai tafsir kepada ayat tersebut. Namun demikian, dari sejumlah kitab tafsir, maka Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha yang memberikan penjelasan yang agak panjang tentang puasa umat-umat terdahulu. Kemudian, menyusul Tafsir al-Mizan karya ulama Syiah Thabathabai. Namun, ketika berbicara tentang riwayat puasa Islam sebelum disyariatkannya puasa sebulan Ramadan, dengan mudah ia mengatakan bahwa riwayat-riwayat itu daif (lemah). Sebagai mufasir Syiah, ia menuduh riwayat itu berasal dari kaum Sunni. Penulis beruntung memiliki kitab Hikmah at-Tasyri` wa Falsafatuh karya Syekh Ali Ahmad al-Jurjawi. Ternyata, buku ini memberikan penjelasan yang agak panjang dan berisi informasi tambahan kepada informasi kitab-kitab lainnya. Karena itu, sumber tulisan ini pada dasarnya adalah Tafsir al-Manar, kitab Hikmah at-Tasyri` wa Falsafatuh, Tafsir al-Mizan, Alkitab(Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), dan Ensiklopedi Praktis Kerukunan Hidup Umat Beragama yang diedit oleh Pdt. P. Sipahutar, M.Th dan Drs. Arifinsyah, M. Ag.

B. Puasa Sebelum Islam
Ketika menafsirkan ayat tentang puasa umat-umat sebelum datangnya Islam, Rasyid Ridha menjelaskan bahwa puasa diwajibkan atas pengikut agama sebelum lahirnya Islam. Puasa menjadi salah satu rukun dari setiap agama karena puasa termasuk ibadah paling berat dan media yang paling baik untuk memperbaiki akhlak. Allah memberi tahu umat Islam bahwa puasa diwajibkan juga atas umat-umat sebelumnya untuk menunjukkan bahwa agama-agama itu satu asalnya dan tujuannya serta meneguhkan keadaan wajibnya, dan menyenangkan hati umat Islam menerima wajibnya. Sebab, suatu tugas yang memang sudah lazim berlaku sebelumnya lebih mudah diterima daripada tugas yang baru dan belum pernah diwajibkan sebelumnya.
Dalam menerangkan ayat ini, Muhammad Abduh menyatakan bahwa Allah tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang berpuasa sebe-lum Islam itu. Namun, sudah dimaklumi bahwa puasa telah dilakukan oleh selu-ruh penganut kepercayaan, termasuk penyembah berhala. Misalnya, puasa diketahui adanya di kalangan orang-orang Mesir kuno pada masa keberhalaan mereka. Dari sana, syariat puasa pindah kepada orang-orang Yunani. Mereka menjadikannya wajib terutama atas kaum perempuan. Demikian juga—tandas-nya--orang-orang Romawi mewajibkan puasa sampai sekarang. Hindu penyem-bah patung pun puasa sampai sekarang.
Al-Jurjawi mengutip keterangan DR. Ali Abd al-Wahid bahwa pengkajian tentang sejarah agama-agama menunjukkan bahwa puasa termasuk ibadah manusia yang paling tua dan paling banyak tersebar. Menurutnya, hampir tidak ada suatu agama yang dianut masyarakat yang terlepas dari kewajiban berpuasa.
Ada puasa yang dibangsakan kepada Nabi Dawud, yaitu puasa sehari berbuka sehari. Di kalangan Yahudi, puasa pada hari perdamaian atau Grafirat adalah wajib. Lamanya satu hari penuh. Orang yang melanggarnya dihukum bunuh. Hal ini dijelaskan dalam Perjanjian Lama pada kitab Imamat 16: 29, “Ini-lah yang menjadi ketetapan untuk selama-lamanya bagi kamu, yakni pada bulan yang ketujuh, pada tanggal sepuluh bulan itu kamu harus merendahkan diri dengan berpuasa dan janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan, baik orang Israel asli maupun orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu.” Tentang hukuman mati bagi orang yang tidak merendahkan diri dengan berpuasa dise-butkan pada kitab Imamat : 23 : 29, 30, “Karena setiap orang yang pada hari itu tidak merendahkan diri dengan berpuasa, haruslah dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya. Dan Setiap orang yang melakukan sesuatu pekerjaan pada hari itu, orang itu akan Kubinasakan dari tengah-tengah bangsanya.”
Dalam Perjanjian Baru, puasa dilakukan sesuai dengan kebutuhan yang biasanya dikaitkan dengan suatu keperluan, misalnya untuk persiapan menerima firman Tuhan,(Keluaran 34: 28; Daniel 9: 3), sebagai tanda penyesalan atau per-tobatan individual maupun kolektif (1 Raja-Raja 21 : 27), dan sebagai tanda kedukaan (1 Samuel 31 : 13).
Yesus berpuasa 40 hari 40 malam di padang gurun dan mengatakan bahwa jenis setan tertentu tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa. Hal ini tersebut dalam kitab Matius 4 : 1-2 dan 17 : 19-21, “Maka Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis. Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya laparlah Yesus.” “Kemudian murid-murid Yesus datang dan ketika mereka sendirian dengan Dia, bertanyalah mereka: Mengapa kami tidak dapat mengusir setan itu? Ia berkata kepada mereka: Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung itu : Pindahlah dari tempat ini ke sana,--maka gunung itu akan pindah dan takkan ada yang mustahil bagimu. Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa.”
Dalam Ensiklopedi Praktis Kerukunan Hidup Umat Beragama dijelaskan bahwa dalam tradisi Ketolik, pelakanaan puasa diadakan 40 hari sebelum Paskah tanpa menghitung hari-hari Minggu. Angka 40 mengingatkan akan 40 tahun bagi Israel menjelajah gurun sebelum masuk Tanah Suci ; 40 hari Musa berada di Gunung Sinai; dan terutama lamanya Yesus berpuasa selama 40 hari. Masa ini disebut Masa Prapaskah atau masa tobat dan persiapan diri untuk Hari Raya Paskah. Pada masa ini juga Gereja Katolik mengadakan Aksi Puasa Pemba-ngunan.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa Hindu juga mengenal puasa. Puasa secara lahirnya menghentikan kegiatan makan dan minum. Puasa secara rohani ialah mengendalikan segala hawa nafsu. Dalam praktik, ada juga penganut yang mengaku Hindu sekarang ini yang puasanya dengan meninggalkan makanan berat, seperti nasi dan roti, sementara makan permen dan kue-kue tidak dilarang.
Di kalangan Buddha puasa disebut Attangasila. Bagi umat Buddha yang melaksanakan Attangasila, ia menghindari hubungan kelamin, tidak makan sebe-lum jam 06.00 dan telah jam 12.00, dan mengendalikan nafsu-nafsu indera yang rendah. Attangasila ini dlakukan umat Buddha setiap bulan tanggal 1,8, 15, 23 berdasarkan penanggalan bulan.
Di kalangan orang Jawa, konon sejak lama ada juga puasa untuk tujuan tertentu, seperti mencari kekebalan dan ilmu gaib. Misalnya yang disebut dengan puasa mutih. Di langan perdukunan juga banyak jenis puasa.
Demikianlah keberadaan puasa dari masa ke masa di berbagai agama dan bangsa. Adapun bentuk dan cara pelaksanaan puasa tidak semua sama. Ada puasa dalam bentuk tidak makan, tidak minum, tidak melakukan hubungan kelamin, tidak bekerja, dan tidak berbicara. Ada yang bentunya dengan menahan diri dari salah satu atau sebagian saja dari semua yang disebutkan. Kata DR. Ali Abd al-Wahid, mungkin puasa dari bicara merupakan yang paling aneh dari bentuk-bentuk puasa yang pernah ada. Namun demikian, bentuk puasa dari bicara ini tersebar di banyak masyarakat primitif dan lainnya. Di masyarakat penduduk asli Australia, wajib atas perempuan yang suaminya meninggal puasa dari bicara dalam masa yang panjang yang kadang-kadang sampai satu tahun lamanya. Tampaknya, puasa semacam ini pernah diikuti di kalangan Yahudi sebelum datangnya Yesus. Hal ini dipahami dari perintah Allah kepada Siti Maryam dalam Alquran surat Maryam ayat 26 yang artinya, “Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah :Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.”

C. Puasa Islam dari Masa ke Masa
Sebagian ulama tafsir mengatakan bahwa puasa Ramadan telah diwajibkan atas Ahlulkitab. Belakngan, orang Yahudi dan Nasrani meninggalkannya. Seba-gian sejarawan mengatakan bahwa puasa Ramadan tersebar di sebagian kabilah Arab di masa Jahiliyah, khususnya kabilah Kuraisy. Hanya saja, riwayat-riwayat ini tidak memiliki dalil yang pasti. Bagaimanapun sekiranya puasa Ramadan pernah disyariatkan atas orang Yahudi dan Nasrani atau tersebar di kalangan Arab Jahiliyah, hal ini tidak mengurangi sedikit pun keabsahannya disyariatkan dalam Islam. Sebagai Agama yang berasal dari Tuhan yang sama, Islam banyak melan-jutkan syariat yang diajarkan Nabi Ibrahim, Musa, dan Isa. Sejumlah riwayat menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. berpuasa sebelum diwajibkannya puasa Ramadan. Namun, puasa Ramadan atas umat Islam mulai diwajibkan pada bulan Syakban tahun kedua sesudah hijrah Nabi saw. Dalil wajibnya puasa Rama-dan adalah Alquran surat al-Baqarah ayat 183-185 dan sejumlah hadis sahih riwayat al-Bukhari dan lainnya. Puasa pengganti dan puasa nazar juga termasuk puasa wajib. Selain itu ada sejumlah puasa sunnat, seperti puasa Senin dan Kamis, puasa enam hari pada bulan Syawal, puasa hari Arafah, dan puasa tiga hari pada pertengahan setiap bulan Qamariyah. Ada pula hari-hari yang puasa padanya haram, yaitu Hari Raya Fitrah, Hari Raya Adha (Haji) dan hari-hari tasyrik, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 dari bulan Zulhijah.
Puasa dalam Islam ialah menahan diri dari segala yang membatalkan dari waktu terbit fajar sampai terbenam matahari dengan berniat puasa pada setiap malamnya. Inilah yang pokok dari puasa. Adapun cara pelaksanaanya terdapat perbedaan dari satu tempat ke tempat yang lain dan dari masa ke masa yang lain. Misalnya di India, ada masyarakat yang ketika matahari terbenam, mereka pergi ke masjid dan berbuka bersama. Sebelum berbuka, mereka menyanyikan hikayat tentang anak kecil yang hendak puasa, tapi dicegah ibunya. Anak itu berpuasa juga, tapi sayangnya meninggal waktu Asar. Singkatnya, datanglah Malaikat Jibril menyeru anak itu bangun. Ternyata anak itu kembali hidup. Hikayat ini bertujuan menunjukkan betapa hebatnya kekuatan puasa itu, yang mati bisa hidup. Hikayat ini mereka nyanyikan sekitar setengah jam sebelum berbuka. Setelah salat Isya dan tarawih mereka membaca Alquran. Sampai sekarang, orang India selalu mengadakan buka dan makan bersama dengan mengundang sanak keluarga. Buka bersama ini dilakukan dari rumah ke rumah untuk mempererat silaturrahim.
Pada masa pemerintahan Fatimiyah di Kairo, sesuai dengan akidah Syiah Ismailiyah yang mereka anut, bulan Ramadan adalah bulan Imam (Khalifah). Seminggu sebelum Ramadan, para hakim Fatimiyah keluar dalam rombongan yang megah. Mereka keliling melihat-lihat persiapan masjid untuk memeriksa apa yang dibutuhkan masjid dalam memeriahkan penyambutan bulan Ramadan. Pada akhir bulan Syakban, rombongan resmi Khalifah keluar dengan wibawa yang besar di dalam jiwa rakyatnya. Sebab, menurut akidah Syiah Ismailiyah Fatimiyah tidak sah puasa kecuali apabila rakyat melihat Khalifah. Khalifah menziarahi kuburan leluhurnya. Rombongan kembali ke Istana dan sebagian tinggal di luar menunggu hidangan dan hadiah. Mereka terus bergembira sampai sahur. Hi-dangan ini berlanjut sampai akhir Ramadan.
Di Indonsia dahulu orang sangat membesarkan bulan Ramadan dan pelaksanan puasa. Begitu hebohnya masa menyongsong bulan Ramadan sehingga bulan Rajab disebut bulan serabi karena pada bulan ini banyak orang melaksanakan kenduri serabi. Bulan Syakban disebut bulan nasi karena padanya banyak orang melakukan kenduri nasi. Kegiatan ini setidak-tidaknya berlaku di kalangan Melayu pesisir. Tradisi ini berlangsung meriah sampai tahun 1960-an. Sekarang sudah hilang. Namun, tampaknya pemerintah Tanjungbalai Asahan berusaha menghidupkannya. Lebih kurang dalam tiga tahun belakangan, di Masjid Raya Tanjungbalai Asahan diadakan kenduri serabi dan kenduri nasi. Acara ini diseponsori Wakil Walikota, Drs. H. M. Thamrin Munthe, M.Hum. Dahulu, pada malam Ramadan di masjid dan musalla beberapa grup melaksanakan tadarus. Sekarang sudah jarang. Dahulu, sanak saudara dan tetangga saling mengirim pebuka, sekarang sudah jarang. Dahulu orang yang tidak berpuasa segan menunjukkan dirinya tidak puasa, tapi sekarang orang yang tidak berpuasa tanpa rasa malu makan dan merokok sesuka ha-tinya.
Sekarang, semarak kebiasaan ziarah kubur dua tiga hari sebelum masuk Ramadan. Imam salat tarawih dikontrak dari kalangan para hafiz. Sebelum salat tarawih diadakan ceramah singkat yang disebut kultum (kuliah tujuh menit) atau kulibas (kuliah lima belas mineit). Setelah witir, jarang yang tinggal di masjid untuk tadarus. Malam sepuluh terakhir juga sulit mencari orang yang melakukan iktikaf.

Rabu, 23 Juli 2008

SUDAH SAATNYA PARA ULAMA MENGHARAMKAN ROKOK

Oleh : DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA
Ketua Komisi Dikbud MUI SU

A. Bahaya Rokok
Para pakar dan lembaga kesehatan telah banyak menjelaskan bahaya merokok. Kematian adalah salah satu bahaya merokok. Stacey Kenfield dari Harvard School of Public Health di Bostom dan para koleganya menjelaskan dalam sebuah laporan yang diterbitkan oleh Journal of the American Medical Association bahwa temuan mereka menunjukkan bahwa 64 persen kematian pada perokok dan 28 persen kematian pada mantan perokok, ternyata disebabkan rokok. Menurut mereka juga, pada tahun 2000 terdapat lima juta kematian prematur yang dise-babkan rokok. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa pada tahun 2030, kematian yang disebabkan tembakau akan mencapai tiga juta jiwa per tahun di negara-negara industri dan tujuh juta jiwa di negara-negara berkembang.
Rokok menyebabkan kematian melalui berbagai perusakan bagian tubuh dan penyakit yang ditimbulkannya. Sebesar 87 persen kematian karena kanker paru-paru didapati pada para perokok. Para perokok memiliki resiko 70 persen lebih besar terjangkit penyakit yang berhubungan dengan jantung dan pembuluh da-rah.Wanita yang merokok 40 batang atau lebih setiap hari memiliki kemungkin-an 74 persen lebih besar meninggal karena kanker payudara. Selain itu, rokok juga dapat menyebabkan penyakit-penyakit lain seperti kanker usus, asma, leukemia, daebetes, depresi, kanker mulut, kanker pangkal tenggorokan, esofagus, pankreas, lambung, usus kecil, kandung kemih, ginjal, leher rahim, stroke, dan kemandulan.
Dinas Kesehatan Kota Medan pernah menjelaskan bahwa dari setiap batang rokok yang dinyalakan mengeluarkan lebih kurang 4000 bahan kimia beracun yang sangat berbahaya dan menyebabkan kematian. Kandungan asap rokok mengandung racun tar yang mengandung 43 bahan kimia yang menjadi penyebab utama kanker, nikotin dan karbon bioksida yang merupakan gas beracun yang biasanya dikeluarkan oleh kenalpot kenderaan. Asap rokok juga mengandung zat beracun, seperti acetone (bahan cat) ammonia (pencuci lantai), racun serangga, arsenic, dan gas beracun.
Asap rokok tidak hanya mematikan pengisapnya, tetapi juga membunuh orang di sekitarnya yang disebut perokok pasif. Bahkan, perokok pasif, yaitu orang yang tidak merokok, tetapi menghirup asap rokok orang di sebelahnya lebih berbahaya daripada perokok aktif. Sebab, perokok aktif mungkin sudah memiliki sedikit ke-kebalan karena terbiasa, sedang perokok pasif sama sekali tidak memiliki keke-balan.

B. Hiruk-Pikuk Larangan Merokok
Di mana-mana orang mulai sadar akan bahaya rokok. Karena itu, larangan merokok telah menggema di mana-mana. Larangan ini ada dalam bentuk langsung dan ada pula dalam bentuk tidak langsung. Sejak lama kita melihat di tempat-tempat tertentu, terutama di ruang ber-AC tertempel tanda larangan merokok. Dulu, dalam pesawat dilarang merokok kecuali di bagian belakang. Se-karang, semua penerbangan sudah bebas asap rokok. Badan Kesehatan Dunia (WHO) sudah menetapkan tanggal 31 Mei sebagai hari tanpa asap rokok. WHO juga membuat program “Kawasan Tanpa Rokok.” Program ini sudah dikuti oleh sejumlah negara, seperti India, Vietnam, Singapura, dan Malaysia. Larangan merokok di tempat-tempat umum dan tempat-tempat kerja di Inggeris diberlakukan sejak bulan Juli lalu, di Skotland diberlakukan sejak tahun 2006, sedang di Wales dan Irlandia Utara sejak tahun 2007. Bahkan, menurut British Broadcasting Corporation, larangan untuk memajang rokok di toko tanpaknya akan diberlakukan di Inggeris sesuai dengan rencana pemerintahnya untuk me-ngurangi orang perokok dan mencegah anak-anak merokok. Demikianlah hiruk-pikuknya larangan merokok bermunculan di negara-negara sekuler dan sebagian negara Islam. Pemerintah DKI Jakarta sendiri telah membuat Perda larangan merokok di tempat umum yang disahkan oleh DPRD-nya pada tanggal 4 Februari 2005. Pelanggar Perda ini akan mendapat sanksi kurungan enam bulan atau denda sebesar Rp 50.000.000,-
Larangan secara tidak langsung kita temukan misalnya pada setiap bungkus rokok, di luar negeri, di Timur Tengah, maupun di dalam negeri. Pada bungkus rokok di negara-negara Barat tertulis, “Smoking is dangerous for health.” Pada bungkus rokok di Timur Tengah tertulis, “at-Tadkhin yadhurrush shihhah” (Me-rokok membahayakan kesehatan). Di Indonesia kalimatnya lebih mengerikan lagi, “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, inpotensi, dan gangguan kehamilan dan janin.”
Adapun alasan merokok karena mencari pergaulan, cari inspirasi, ingin gagah, tampil machoistik, perkasa, atletis, dan disukai perempuan semuanya adalah mitos belaka. Berapa banyak orang tidak perokok, tetapi pergaulannya luas dan bisnisnya suskes. Berapa banyak orang jadi ilmuan dan pemikir, tetapi tidak me-rokok. Pada umumnya, perempuan tidak senang suaminya merokok, baik karena alasan ekonomi maupun kesehatan dan bau busuknya.

C. Saatnya Ulama Mengharamkan Rokok
Di zaman lampau, para ulama berbeda pendapat tentang hukum rokok. Menu-rut Komisi Tetap Penelitian Ilmiah dan Fatwa di Riadh, hukum merokok haram. Abd al-Aziz bin Abdullah bin Baz mengharamkan rokok dan mengharamkan memperjualbelikannya. Muhammad Nasir ad-Din dan Dr. Yusuf al-Qardhawi juga juga mengharamkan rokok.
Prof. Dr. Abd al-Halim Mahmud menfatwakan makruh merokok jika tidak merusak kesehatannya dan tidak mengurangi nafkah tanggungannya. Merokok menjadi haram jika merusak kesehatannya atau mengurangi nafkah tanggung-annya. Sementara Prof. Dr. Mahmud Syaltut tidak menetapkan hukum merokok secara langsung. Tetapi, ia menggantungkan hukumnya kepada pengaruhnya pada akidah, akal, harta atau harga diri. Menurutnya, keharaman dan kemakruhan se-suatu didasarkan kepada kepada kadar pengaruhnya pada bidang-bidang tersebut. Namun, hasil paparan Syaltut cenderung kepada haramnya merokok karena ia mengatakan bahwa memelihara kesehatan wajib. Dr. Ahmad Syarbashi tidak tegas menya-takan hukum rokok, bisa mubah, makruh, dan haram tergantung kepada mudrat dan tidak mudratnya rokok itu.
Perbedaan ini muncul terutama karena tidak ada nas yang jelas tentang hukum rokok itu, baik dalam Al-Quran maupun dalam Hadis. Demikian juga, tidak ada nas dari para ulama mujtahid karena tembakau baru dikenal di dunia Islam pada permulaan abad XI Hijriah. Kemudian, di zaman mereka bahaya rokok belum sejelas di zaman kita sekarang sehingga sebagian mereka ragu mengharamkannya.
Sekarang, bahaya merokok sudah sangat jelas dan tidak ada keraguan tentang mudrat yang ditimbulkannya, terutama terhadap keselamatan diri dan kesehatan sehingga larangan merokok telah diberlakukan di negara-negara sekuler. Sementara dalil-dalil ten-tang haramnya melakukan perbuatan yang membahayakan keselamatan diri dan kesehatan jelas dan cukup banyak dalam Al-Quran dan Hadis. Misalnya, firman Allah, Wa la tulqu bi aidikun ilat tahlukah (Jangan kamu biarkan diri kamu jatuh kepada kebinasaan); hadis La Dharara wa la dhirara (Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan diri orang lain.} Merokok adalah pemborosan. Allah berfirman, Wa la tubazzir tabziran (Jangan berlaku boros); Wa la tusrifu innahu la yuhibbul musrifin (Dan janganlah kamu memboros, sesung-guhnya Allah tidak suka kepada orang-orang pemboros.) Merokok adalah bau busuk dan jorok. Firman Allah, Wa yuharrimu `alaihimul khabaits (Dan Ia mengharamkan atas mereka hal-hal jorok)
Uraian di atas menunjukkan betapa para kaum sekuler dan negera-negara Barat sudah mengharamkan rokok karena kematian dan berbagai penyakit berba-haya yang ditimbulkannya. Sementara para ulama belum banyak yang berani mengharamkannya. Soal tidak adanya nas secara tekstual bukanlah halangan un-tuk mengharamkan sesuatu dalam ajaran Islam. Tuak, Narkoba, dan bermacam-macam hal yang haram dalam Islam tidak mempunyai dalil nas langsung dari Al-Quran dan Hadis, tetapi jelas haramnya berdasarkan metode penggalian hukum Islam. Dengan demikian, saat ini para ulama sudah waktunya mengharamkan ro-kok. Kalau tidak, para ulama akan kehilangan fungsinya sebagai penuntun umat.
Jika kaum sekuler melarang rokok di ruang ber-AC, pesawat, tempat umum, dan tempat kerja, maka para ulama hendaknya mulai pengharaman rokok di masjid, musalla, sekolah Islam, kantor-kantor MUI, Ormas Islam, forum dan seminar keagamaan, majelis taklim, dan majelis zikir. Sebelum itu, para ulama, para ustaz, para dai dan muballig, seharusnya lebih dahulu mengharamkan rokok pada diri mereka. Ulama sebagai panutan hendaknya tampil sebagai teladan yang baik. Sungguh janggal bila seorang alim dan ustaz tapi merokok di depan umat-nya.
Bagi orang yang terlanjur menjadi perokok, sebenarnya tidak payah untuk meninggalkannya. Yang terpenting adalah niat dan kemauan. Sungguh banyak bukti tentang perokok meninggalkan rokok hanya dengan modal niat dan kema-uan yang kuat. Bisa juga dengan cara bertahap menguranginya sedikit demi sedikit. Setelah berhenti merokok, mereka hanya mengantuk selama tiga minggu. Sesudah itu semuanya kembali normal seperti biasa.

Medan, 16 Juli 2008

DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA

Jumat, 18 Juli 2008

BENARKAH JEMAAH AHMADIYAH INDONESIA TIDAK MEMPERCAYAI MIRZA GHULAM AHMAD SEBAGAI NABI


Oleh : Dr. H. Ramli Abdul Wahid, MA
Ketua Komisi Dikbud MUI SU

A. Pengakuan Mirza Sebagai Nabi
Harian Waspada terbitan, Jumat, 25 April 2008 telah memuat tulisan berjudul, “Ajaran dan Klaim Pendiri Aliran Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad.” Mirza mempunyai banyak ajaran dan klaim yang bertentangan dengan ajaran pokok Agama Islam. Dalam tulisan tersebut dikemukakan tujuh belas ajaran dan klaim Mirza yang dikutip langsung dari Kitab Tazkirah Wahyun Muqaddasun (Wahyu Suci) sebagai himpunan wahyu yang diterimanya dari Tuhan. Sumber lain adalah buku-buku karangan langsung Mirza, yaitu al-Istifta’, Maktub Ahmad, Mawahib ar-Rahman, dan Eik Ghalathi Ka Izalah dalam bahasa Urdu yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul, Memperbaiki Suatu Kesalahan oleh H.S. Yahya Pontoh. Tujuh belas ajaran dan klaim Mirza tersebut sengaja dikemukakan secara leterlek tanpa komentar agar pembaca memahaminya secara mandiri, tanpa dicampuri analisis dari penulis.
Ajaran pokok Mirza adalah pengakuannya sebagai nabi dan rasul. Mirza lahir jauh sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw. Mirza lahir di Qadian, India pada tahun 1835 dan meninggal pada tahun 1908. Sementara Alquran dan Hadis menjelaskan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir, tidak ada lagi Nabi sesudahnya. Keyakinan tentang Nabi Muhammad sebagai Nabi penutup adalah ajaran prinsipil dalam Islam. Ini adalah masalah akidah. Akidah lebih penting daripada syariah. Orang yang akidahnya salah menjadi sesat dan bisa keluar dari Agama Islam. Ibadah, puasa, zakat, haji, dan segala ibadahnya tidak sah. Sebaliknya, orang yang tidak salat, tidak puasa, tidak berzakat karena malas, bukan karena meyakini bahwa ibadah-ibadah ini tidak wajib, ia masih tetap Muslim. Hanya saja, ia berdosa dan akan masuk neraka untuk menebus dosanya itu dan kemudian masuk sorga karena ia masih tetap Mukmin. Karena itu, pengakuan Mirza sebagai Nabi dengan segala perangkatnya, seperti turunnya wahyu, adanya mukjizat, dan kedatangan Jibril kepadanya menjadi dasar bagi para ulama di masanya dan sampai sekarang untuk mengkafirkannya. Demikian juga para pengikutnya.
Kepercayaan akan kenabian Mirza ini jugalah yang menjadi masalah pada Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Sekiranya Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) benar tidak mengakui Mirza sebagai nabi dengan segala perangkat kenabiannya, permasalahan Ahamdiyah sudah selesai. Karena itu, umat Islam perlu mengetahui apakah JAI mempercayai kenabian Mirza atau tidak.

B. Kenabian Mirza di Kalangan JAI
Untuk mengetahui apakah Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) meyakini kenabian Mirza atau tidak, penyelidikan harus dilakukan melalui sumber-sumber autentik, yaitu Anggaran Dasar(AD) JAI dan buku-buku serta pernyataan-pernya-taan yang dikeluarkan oleh JAI secara resmi. Sumber-sumber tulisan ini adalah Anggaran Dasar Jemaah Ahmadiyah Indonesia (AD JAI), buku Kami Orang Islam(KOI) Cet. V, Penerbit Jemaat Ahmadiyah Indonesia, tahun 1985; buku Tiga Masalah Penting(TMP) karya H. Mahmud Ahmad Cheema H.A., yang sudah cetak ulang lima belas kali dari tahun 1985 sampai 2004. Buku ini telah diperiksa oleh Dewan Naskah Jemaat Ahmadiyah Indonesia, SK Dewan Naskah NO. 011/26.09-95 dan diterbitkan oleh Hajaruddin S.Ag & MI (1995) Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Jl. Raya Parung Bogor No. 27, PO Box 33/Pru, Parung Bogor 16330; buku Memperbaiki Suatu Kesalahan (Eik Ghalathi Ka Izalah) karya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Alih bahasa : H.S. Yahya Pontoh, diterbitkan oleh Jelamaat Ahmadiyah Indonesia, 1993; dan Penjelasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia Terhadap Keberatan-keberatan dari Pihak Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) yang dikeluarkan oleh Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Jl. Raya Parung-Bogor No. 27, Bogor pada tanggal 27-09-94 ditujukan kepada Ketua Mahkamah Agung RI, Jl. Merdeka Utara, Jakarta Pusat dan untuk memudahkan, selanjutnya akan disebut Penjelasan.
Dalam AD Jemaat Ahmadiyah Indonesia (AD-JAI) dijelaskan sebagai berikut. I. Nama dan Waktu didirikan : Djemaat Ahmadiyah bagian Indonesia diberi nama Djemaat Ahmadiyah Indonesia dapat tempat kedudukan Djakarta dan didirikan pada tahun 1925. (M) untuk waktu yang tidak tertentu. II. Maksud : Maksud Djemaat ini ialah menjebarkan Agama Islam menurut peladjaran Hazrat Masih Mau’ud a.s. dan para Khalifahnja keseluruh Indonesia, dan membantu Djelamaat Ahmadiyah diluar Indonesia dalam hal itu. V. Terhadap Pemerintah: Djemaat Ahmadiyah Indonesia-berdasar atas peladjaran Ahmadiyah—tunduk pada Undang-undang Negara. VIII. Keahmadiyahan (Keanggautaan) : Djemaat Ahmadiyah Indonesia ini terdjadi dari orang-orang Ahmadi. Jang disebut Ahmadi ialah : a. Laki-laki atau perempuan jang telah beriman dan mengaku dengan hati dan iqrar dengan lisan atau tulisan (baiat) bahwa segala da’wa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. itu benar dan mengikuti kepada jang mendjadi Khalifah-khalifah, dan ia masuk dalam baiat Khalifah jang ada pada waktu itu. Sjarat-sjarat jang sepuluh dan formulir baiat terlampir sebagai lampiran I; b. Anak-anak orang Ahmadi jang belum ‘aqil baligh.
Syarat-syarat baiat masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah yang sepuluh dise-butkan dalam buku KOI, halaman 18-19. Syarat-syarat nomor 1 sampai ke-9 biasa-biasa saja. Syarat ke-10 adalah: “Dia akan mengikat janji persaudaraan dengan Hamba Allah ini (Masih Mau’ud a.s.) semata-mata karena mencari keridhaan Allah Ta’ala, yakni bahwa dia akan mentaati aku dalam segala hal ma’ruf yang aku anjurkan kepadanya, kemudian dia tidak akan berpaling dari padanya dan tidak pula akan memungkirinya sampai mati. Dan janji persaudaraan ini hendaklah demikian sempurnanya sehingga tidak ada pertalian-pertalian dunia yang dapat menyamainya, baik pertalian kekeluargaan ataupun perniagaan.”
Pasal VIII dari AD ini jelas menunjukkan bahwa JAI mengakui kebenaran segala dakwaan Mirza, taat kepadnya, dan siap mengikuti Khalifah-khalifahnya. Sebagaimana disebutkan terdahulu bahwa dakwaan pokok Mizra adalah statusnya sebagai nabi dan rasul Tuhan. Dalam syarat baiat ke-10 jelas pula bahwa JAI taat sepenuhnya sampai mati kepada apa saja yang dianjurkan oleh Mirza.
Kepercayaan JAI tentang kenabian Mirza juga mereka tegaskan dengan mengutip pernyataan Mirza dalam buku KOI hlm. 27 sebagai berikut. “Keadaan sebenarnya hanyalah ini : bila saya (Mirza-red) menyebutkan diri saya seorang Nabi, saya maksudkan hanya bahwa Allah SWT berbicara dengan saya, bahwa Dia sangat sering berkata-kata dengan saya dan Dia bercakap-cakap dengan saya dan menerima penganbdian saya dan mewahyukan kepada saya hal-hal ghaib, dan membukakan kepada saya rahasia-rahasia yang berhubungan dengan masa datang dan yang tidak Dia bukakan kepada seorang yang tidak Dia cintai dan dekat kepada-Nya. Sesungguhnya Dia mengangkat saya sebagai nabi dalam arti itu.”
Pengutipan pengakuan nabi oleh Mirza menunjukkan keyakinan JAI akan kenabiannya. Dalam buku KOI, hlm. 65, JAI mengemukakan ayat 6 dari surat as-Shaf yang artinya, “Dan ingatlah ketika Isa putra Maryam berkata : Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumnya yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (akan datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku yang namanya Ahmad.” JAI berkomentar, Dalam ayat ini nama Ahmad adalah diperuntukkan kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad karena beliau sama dengan Nabi Isa as. dalam sifat-sifatnya. Ini juga berarti pembenaran JAI akan kenabian Mirza.
Tentang keyakinan JAI akan kenabian Mirza lebih tegas dalam Penjelasan hlm. 1 yang mereka buat sebagai berikut. Ahmadiyah meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu Nabi dan Rasul adalah berdasar pengakuan bahwa beliau mendapat wahyu dan diangkat oleh Tuhan. Jadi bukan atas kemauan beliau sendiri. Tuhan mempunyai kekuasaan dan wewenang mengangkat siapa saja di antara hamba-hamba yang dipilih-Nya. Adapun dalam syahadat, JAI tidak perlu mengubah nama Muhammad karena Mirza Ghulam Ahmad mengaku bernama bernama Muhammad. Dalam buku karyanya yang berjudul Memperbaiki Suatu Kesalahan (Eik Ghalathi Ka Izalah) hlm. 5, Mirza berkata, “Dalam wahyu ini (Muhammad Rasulullah-Red) Allah swt. menyebutkan namaku “Muhammad” dan “Rasul.” Buku ini dicetak oleh JAI pada tahun 1993 menunjukkan bahwa mereka memeprcayai dan menyiarkannya menjadi pegangan bagi anggotanya.
JAI tidak hanya mengakui kenabian Mirza, tetapi lebih dari itu mereka mempercayai akan datangnya lagi nabi-nabi sampai akhir zaman. Dalam buku JAI, KOI, hlm 45, JAI mengemukakan surat 22 : 76 yang artinya, “Allah akan memilih rasul-rasul dari malaikat dan manusia.” JAI berkomentar, “Dalam ayat ini jelas sekali pemilihan rasul-rasul akan tetap berlaku karena perkataan memilih dengan shigha mudhari’ yang harus diartikan sedang atau akan memilih, bukan telah memilih.” “Mengartikan dengan telah atau sedang—menurut JAI-- adalah salah sekali.” Pada hlm. 46, JAI menegaskan, “Maka tidak ada alasan pemilihan tidak akan dilakukan lagi sesudah Nabi Muhammad saw.” Allah berfirman dalam surat al-Maidah : 4 yang artinya, “Hari ini Aku telah menyempurnakan atas kamu nikmat-Ku dan Aku ridhai Islam itu menjadi agamamu.” Ketika ada orang yang menjadikan ayat ini sebagai bagian dari dalil atas bahwa Nabi Muhammad itu Nabi terakhir, JAI membantahnya dalam buku yang sama pada hlm. 53 sebagai berikut. “Dengan ayat ini pihak yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad saw. Nabi yang terakhir mengatakan bahwa agama Islam sempurna dengan tidak perlu seorang nabi datang lagi. Kalimat “menyem-purnakan” tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak ada lagi Nabi sesudah Nabi Muhammad saw. Allah telah menganjurkan kepada Umat Islam supaya selalu minta kepadaNya agar nikmat-nikmat yang telah diberikan kepada umat-umat terdahulu diberikan pula kepada umat Islam.”
Adapun hadis riwayat Abu Dawud dan at-Tirmizi yang artinya, “Akan datang nanti dalam umatku 30 orang sangat pendusta, masing-masing mendakwakan dirinya menjadi Nabi sedangkan aku adalah penutup nabi-nabi, tidak ada nabi sesudahku,” JAI membuat penafsirannya sendiri. JAI membuat keterangan dalam buku KOI, hlm. 59, “Membataskan bahwa nanti akan muncul 30 orang pembohong Dajjal yang mendakwakan dirinya Nabi itu, sudah menunjukkan akan adanya Nabi yang benar. Kalau tiap-tiap Nabi yang mendakwakan dirinya dianggap pendusta, tentu Nabi saw. mengatakan tiap-tiap yang mendakwakan dirinya Nabi semuanya bohong.” Penafsiran ini jelas tidak mengikuti kaedah bahasa, tidak masuk akal, dan mengada-ngada. Di bagian akhir hadis itu sendiri sudah dijelaskan apa maksud tiga puluh nabi palsu. Di bagian akhir Nabi Muhammad sudah menegaskan bahwa ia penutup Nabi dan tidak ada Nabi sesudahnya. Menurut bahasa, dalam hadis ini sama sekali tidak terkandung makna bahwa yang akan datang itu 30 nabi palsu dan yang lainnya nabi yang benar. Justru, bahasa hadis ini menutup adanya lagi nabi yang benar sesudah Nabi Muhammad. Jika ada lagi yang mengaku nabi, itu adalah nabi palsu. Seandainya pun penafsiran JAI ini diikuti, JAI harus menunjukkan mana 30 nabi yang palsu itu dan apa tanda-tandanya. Jika JAI mengatakan bahwa nabi yang benar berdasarkan turunnya wahyu kepadanya, semua nabi palsu mengaku menerima wahyu dari Tuhan. Para sahabat, para ulama tafsir, para ulama hadis, dan para ulama mujtahid, semuanya tidak pernah membuat penafsiran seperti yang dibuat JAI. Di zaman Nabi saw., zaman sahabat, dan tabiin, setiap muncul orang yang mengaku nabi dihukum bunuh. Karena itu, para ulama di masa hidup Mirza sendiri sudah memnfatwakan kekafirannya dan para pengikutnya. Ini adalah pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sendiri antara lain dalam bukunya yang berjudul Mawahib ar-Rahman, hlm. 12 dan buku al-Istifta’, hlm. 53. Pakistan sebagai negeri tempat kelahirannya menetapkan Ahmadiyah sebagai non-Muslim. Kerajaan Arab Saudi melarang Ahmadiyah masuk mengerjakan haji karena me-mandangnya sebagai non-Muslim.
Dalam Penjelasan, hlm. 3, JAI mengatakan, “Adanya nabi sesudah Nabi Muhammad saw. tidak mengurangi kemuliaan serta keagungan beliau, bahkan meningkatkan martabat serta derajat beliau. Akan tetapi, nabi sesudah beliau saw. hanyalah nabi ummati (nabi ummat/pengikut) dan sekali-kali tidak membawa syariat…” Benarkan Mirza tidak membawa syariat. JAI sendiri memberikan penjelasan dalam Penjelasan, hlm. 7 dengan mengutip penjelasan ulama mereka sebagai berikut. “Mengenai mereka (yakni orang-orang Ahmadiyah) tidak mau mengadakan hubungan perkawinan dengan orang yang bukan Ahmadiyah dan tidak pula mau sembahyang di belakang orang yang bukan Ahmadiyah, maka yang demikian itu bukanlah satu hal yang patut disalahkan.Adakah Tuan sendiri bersedia kawin di lingkungan satu keluarga yang anggota-anggotanya menentang pendirian Tuan? Dan adakah Tuan sudi bersembahyang di belakang orang-orang yang menurut tingkah lakunya tidak layak jadi imam?”
Keterangan menunjukkan pengakuan JAI akan adanya syariat JAI yang berbeda dengan umat Islam. Dalam salatnya saja mereka tidak boleh sama dengan orang orang Islam. Menurut Islam, perempuan Ahlulkitab saja boleh dikawini oleh orang Islam. Berarti, orang Islam lebih kafir dari Ahlulkitab menurut JAI sehingga tidak boleh sama sekali kawin antara JAI dengan orang Islam. Dalam buku KOI, hlm. 19 JAI menerangkan bahwa “seorang yang masuk Jemaat Ahma-diyah wajib berjanji akan memberikan sumbangan untuk da’wah dan tabligh Islam sedikitnya seperenam belas (1/16 dan adakalanya sampai sepertiga (1/3) dari penghasilan atau gaji yang diperdapatnya dalam tiap-tiap bulan.”
Ketentuan tentang tidak bolehnya JAI kawin dengan non-Ahmadi, tidak bolehnya salat di belakang non-Ahmadi, dan wajibnya seorang Ahmadi menye-rahkan 1/16 sampai 1/3 dari penghasilan perbulan kepada JAI, tidakkah ini syariat yang tidak ditemukan dalam Islam.

C. Kesimpulan
Sebagaimana telah disebutkan di awal tulisan ini bahwa masalah akidah lebih menentukan seseorang itu Islam atau tidak, daripada hal-hal syariat. Sementara itu, JAI secara resmi tertulis mengakui kenabian Mirza. Bahkan, JAI mengimani akan munculnya nabi-nabi lain sesudah Mirza. Pengakuan akan kenabian Mirza dan keabsahan kedatangan nabi-nabi sesudah Mirza dengan segala pembelaan JAI akan keyakinannya ini telah jelas dalam kutipan-kutipan di atas. Ternyata, JAI juga mengakui akan adanya syariat yang berbeda dengan syariat Islam sehingga seorang Ahmadi tidak boleh kawin dengan non-Ahmadi, tidak boleh salat di belakang non-Ahmadi, dan adanya kewajiban yang tidak dikenal dalam syariat Islam. Perbedaan syariat antara satu agama dan lainnya tidak harus secara total. Perbedaan syariat Islam dengan syariat agama-agama sebelumnya tidak semuanya secara total. Karena itu, syariat haji, syariat kisas, syariat diat, dan syariat khitan ditemukan juga dalam syariat agama-agama samawi sebelum Islam. Demikian juga halnya dengan syariat Ahmadiyah. Tidak harus semuanya berbeda dengan syariat Islam. Namun, tampak jelas bahwa JAI mempunyai syariat yang tidak ditemukan dalam Islam. Berdasarkan AD JAI dan penjelasan serta buku-buku yang diterbitkannya, JAI jelas berbeda dengan Islam, baik dalam akidah maupun dalam syariat.
Kutipan-kutipan di atas menunjukkan paham, keyakinan, dan penafsiran JAI bertentangan dengan Islam. Mudah-mudahan, mereka menyadari kekeliruan me-reka sehingga dapat kembali kepada Islam yang benar. Inilah jalan terbaik dan yang paling selamat di dunia dan akhirat.

Medan, 12 Mei 2008

DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA

Selasa, 15 April 2008

TELAAH TERHADAP PAHAM DAN ARGUMEN

Oleh : DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA
ABSTRAKSI
Inkar Sunnah merupakan suatu paham menolak Hadis Nabi saw. yang lahir sejak masa awal Islam, terutama di zaman Imam asy-Syufii dan mengalir timbul tenggelam dalam sejarah sampai masa sekarang. Paham ini bertentangan dengan perintah Alquran untuk mengikuti dan menaula-dani Nabi dalam melaksanakan ajaran Alquran. Karena menolak Sunnah, sedang keterangan Al-quran bersifat umum dan tidak terperinci, maka penganut Inkar Sunnah menafsirkan Alquran se-kehendak hatinya, baik dalam menguatkan pahamnya maupun dalam pelaksanaan ibadah dan a-mal Islam. Sebagian mereka salat dua tiga kali sehari semalam dan sebagian yang lain lima kali. Rakaatnya pun masing-masing dua rakaat. Salat bentuk lain pun boleh juga. Argumen mereka ti-dak benar dan berdasarkan nas-nas Alquran dan Hadis, paham Inkar Sunnah adalah sesat dan ke-luar dari Islam.


A. Sejarah
Ingkar Sunnah berarti penolakan terhadap Hadis Nabi saw., baik secara keseluruhan maupun sebagian. Kajian tentang Ingkar Sunnah secara historis selalu merujuk kitab al-Umm karya Imam Syafii (w. 150 H). Di zaman modern, terkenal tokoh Inkar Sunnah di berbagai daerah, seperti Taufiq Shidqi di Mesir, Garrah Ali dan Gulam Ahmad Parwez di India-Pakistan, Kassim Ahmad di Malaysia, Rasyad Khalifah di Amerika, Haji Abdurrahman, Ustaz H. Sanwani, dan Ir. Irham Sutarto di Jakarta, Dailami Lubis di Sumatera Barat, dan untuk Medan juga sudah ada, baik yang terus terang menolaknya maupun yang menolaknya secara ilmiah.
Inkar Sunnah ada dua macam, yaitu pengingkar Sunnah secara keseluruhan dan pengingkar sebagian saja. Pengingkar hadis yang mutawatir hukumnya kafir, sedang pengingkar hadis yang sahih ahad fasik. Pengingkar seluruh Hadis berarti kafir karena termasuk di dalamnya hadis mutawatir. Bahasan dalam makalah ini adalah tentang pengingkar seluruh Hadis.

B. Ajaran Pokok Ingkar Sunnah
1. Dasar ajaran Islam hanyalah Alquran karena Alquran sudah lengkap dan sempurna
2. Tidak percaya dan menolak seluruh Hadis Nabi saw.
3. Nabi Muhammad tidak berhak untuk memberikan penjelasan apa pun tentang Alquran
4. Syahadat mereka adalah Isyhadu bi annana muslimun (saksikan kamulah bahwa kami orang-orang Islam)
5. Rakaat dan cara salat terserah kepada masing-masing, boleh dua rakaat dan boleh dengan eling (ingat) saja
6. Puasa wajib bagi yang melihat bulan saja, tidak wajib bagi orang yang tidak melihatnya dengan alasan ayat faman syahida minkumusy syahra falyashumhu (Barang siapa yang melihat bulan di antara kamu maka hendaklah ia puasa)
7. Haji boleh dilakukan selama bulan-bulan haram, yaitu Muharram, Rajab, Sya`ban, dan Zulhijjah
8. Pakaian ihram boleh dengan celana, baju, jas, dan dasi.
9. Orang yang meninggal tidak disalatkan karena tidak ada perintah dalam Alquran.
10. Pengajian-pengajian Inkar Sunnah di Jakarta membuat semua salat dua-dua rakaat tanpa azan dan iqamah.

11. Dalil-dalil Ingkar Sunnah
Dalil-dalil atau alasan-alasan Ingkar Sunnah dapat dibagi kepada dua macam, yaitu dalil Alquran dan alasan akal. Dalil Alquran antara lain adalah :
1. Alquran surat an-Nahl ayat 89 :
“Kami turunkan kepadamu Alquran untuk menjelaskan segala sesuatu”
2. Alquran surat al-An`am ayat 38 :
“Tidak Kami alpakan sesuatu pun di dalam Alquran”
3. Alquran surat al-Maidah ayat 3 :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kamu agamamua dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridai Islam itu sebagai agamamu”
Ketiga ayat ini dan ayat-ayat yang senada menunjukkan bahwa Alquran telah menjelaskan segala sesuatu. Alquran tidak membutuhkan keterangan tambahan lagi karena penjelasannya tentang Islam sebagai agama sudah sempurna.
4. Alquran surat an-Najm ayat 3-4:
“Dan ia (Muhammad) tidak bertutur menurut hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain wahyu
yang diwahyukan kepadanya.”
Yang diwahyukan itu sudah termaktub dalam Alquran
5. Alquran surat al-Haqqah ayat 44-46:
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas nama Kami
niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian Kami akan potong urat tali
jantungnya.”
6. Alquran surat surat Ali Imran ayat 20; al-Maidah ayat 92, 99; ar-Ra`d ayat 40; an-Nahl
ayat 35, 82; an-Nur ayat 45; al-`Ankabut ayat 18; asy-Syura ayat 48.
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa tugas Nabi Muhammad hanyalah menyampaikan pesan
Allah dan tidak berhak memberikan penjelasan apa pun.
7. Alquran surat Fathir ayat 31 “
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yakni Alquran itulah yang benar (haqq).”
8. Alquran surat Yunus ayat 36 :
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran.”

Jadi, Hadis itu hanyalah persangkaan yang tidak layak dijadikan hujah.

Adapun dalil akal adalah sebagai berikut :
1. Alquran dalam bahasa Arab yang jelas. Orang yang paham bahasa Arab paham Alquran.
2. Perpecahan umat Islam karena berpegang pada hadis-hadis yang berbeda-beda
3. Hadis hanyalah dongeng karena baru muncul di zaman tabiin dan tabittabiin
4. Tidak satu hadis pun dicatat di zaman Nabi. Dalam periode sebelum pencatatan Hadis, manusia berpeluang berbohong
5. Kritik sanad baru muncul setelah satu setengah abad Nabi wafat
6. Konsep tentang seluruh sahabat adil muncul pada akhir abad ketiga Hijrah

12. Analisis terhadap Argumen Ingkar Sunnah
Dalil-dalil nakli dan argumen akli Ingkar Sunnah itu seluruhnya lemah. Seorang tokoh Inkar Sunnah dari Amerika, Rashad Khalifa menulis sebuah buku berjudul, The Computer Speaks : God’s Message to the World yang terbit pada tahun 1981. Tokoh Inkar Sunnah dari Malaysia, Kassim Ahmad mengatakan bahwa buku ini secara saintifik membuktikan ketulenan Alquran sebagai perutusan Tuhan kepada manusia yang sepenuhnya terpelihara, dan menarik perhatian pembaca kepada kesempurnaannya, lengkapnya dan keterperinciannya, menyebabkan manusia tidak memerlukan buku-buku lain sebagai sumber bimbingan. Ini--katanya--bermakna Hadis sekaligus tertolak sebagai sumber teologi dan perundangan. Lebih dari ini, Kassim Ahmad dengan yakin membuat kesimpulan tentang penolakan Rashad Kahlifa terhadap Sunnah.Katanya, bahwa dalam masa lebih kurang tiga bulan dia telah berpuas hati mengenai tesis pokok Rashad Khalifa bahwa Hadis merupakan suatu penyelewengan dari ajaran Nabi Muhammad dan tidak boleh diterima sebagai sumber perundangan adalah benar.
Ayat-ayat yang dikemukaan Ingkar Sunnah bersifat umum dan global, perlu peneje-lasan(bayan). Nabi berfungsi menjelaskannya. Penjelasan(bayan) itu berbentuk pernyataan, perbuatan, dan pengakuan pembawa Alquran itu. Karena itu, disebutkan dalam Alquran surat az-Zukhruf ayat 63:
“Sesungguhnya aku (Nabi) telah datang membawa hikmah dan untuk kujelaskan kepada kamu sebagian yang kamu berselisih paham tentangnya.” Surat an-Nahl ayat 44:
“Dan Kami telah menurunkan kepadamu zikr(Alquran) agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.”
Demikian juga dalam surat yang sama ayat 64.
Dalam surat al-Maidah ayat 15:
“Sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami menjelaskan kepada kamu banyak
mengenai hal yang kamu berselisih paham tentangnya.”
Keterangan yang sama juga disebutkan dalam surat yang sama ayat 19.
Surat Ibrahim ayat 4 :
“Dan tidak Kami mengutus Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya agar ia menjelaskan kepada mereka.”
Surat Ibrahim ayat 1 :
“Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya engkau keluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya yang terang.”
Surat ath-Thalaq ayat 65 :
(Dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepada kamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bernacam-macam hukum) supaya dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya.”
Surat Ali Imran ayat 3 :
“Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan al-Hikmah.”
Ayat-ayat ini dan banyak lagi seumpamanya menjelaskan bahwa tugas Rasul bukan hanya menyampaikan pesan, tetapi juga menjelaskan (memberi bayan) terhadap pesan itu, mengajarkan Alquran dan hikmah, mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya, dan membersihkan jiwa mereka. Jadi, maksud Alquran menjelaskan segala sesuatu adalah bersifat umum. Secara umum Alquran menjelaskan segalanya. Keterangan Nabi menjelaskan secara rinci dan operasional. Sebagai perbandingan adalah UUD bagi negara sifatnya lengkap tapi umum. Peraturan dibuat sebagai petunjuk operasional. Hadis pun berfungsi seperti peraturan. Sejalan dengan itu, Allah memerintahkan agar umat Islam mengambil apa yang dibawa Rasul. Yang dibawa Rasul itu ada dua, Alquran dan Sunnah Rasul.
Alquran surat al-Hasyar ayat 7:
“Apa yang diberikan Rasul maka ambillah dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah.”
Alquran surat an-Nisa’ ayat 59 :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul.”
Ketika Rasul hidup, maka orang Islam langsung mengikuti perintahnya. Sesudah wafatnya, tentunya mengikuti apa yang ditinggalkannya, yaitu Alquran dan Sunnah. Kalau sesudah wafat-nya tidak patuh lagi kepadanya, maka tinggalkanlah kedua Alquran dan Sunnahnya. Jangan tinggalkan satu pakai yang satu lagi. Jika keduanya ditinggalkan maka jadilah kafir.
Dalam surat an-Nisa’ ayat 65 Allah swt. mencap orang belum beriman selama ia belum bersedia menjadikan Nabi Muhammad menjadi hakim dalam urusannya. Agar penjelasan Nabi Mu-hammad tidak menyimpang dari tujuan Allah dalam Alquran, Allah senantiasa memeliharanya dari kekeliruan dalam penyampaian penjelasannya. Surat al-Maidah ayat 67 :
“Dan Allah memeliharamu dari gangguan manusia.”
Sebagai pemberi penjelasan, Nabi Muhammad ma`shum (terpelihara dalam menyampaikan risalah) Karena itu, Nabi saw. adalah teladan yang baik bagi orang Mukmin. Hal ini dijelaskan dalam surat al-Ahzab ayat 21:
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yangb baik.”
Diri Rasul saw. berarti sesuatu yang di luar Alquran, tetapi praktik dari ajaran Alquran. Salatnya, puasanya, hajinya, dan segala tindakannya harus ditiru. Karena teladan yang harus dicontoh, maka penjelasannya dan kelakuannya tidak boleh ditolak. Surat an-Nisa’ ayat 115 :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya.”

Surat an-Najm adalah dalil bahwa apa saja yang lahir dari Nabi Muhammad adalah wahyu Allah. Alquran disebut wahyu matlu, yang dibacakan Jibril kepada Nabi, sedang Sunnah wahyu gairu matlu, yaitu wahyu yang tidak dibacakan oleh Malaikat Jibril, tetapi langsung diilhamkan Allah ke hati Nabi. Alquran lafaz dan maknanya dari Allah, tanpa intervensi Jibril dan Nabi Muhammad saw., sedang Sunnah maknanya dari Allah, lafaznya dari Nabi sendiri.
Allah mengecam jika Nabi menga-adakan sebagian perkataan atas nama Allah adalah jaminan Allah bahwa Nabi itu jujur, tidak dusta sebagaimana yang dituduhkan orang kafir kepadanya. Ini tidak bertentangan dengan fungsi Nabi sebagai pemberi penjelasan terhadap ayat-ayat Alquran yang bersifat umum itu.
Alquran tidak diragukan sebagai kebenaran (al-Haqq). Tetapi Alquran itu sendiri sampai kepada manusia melalui Nabi saw. Kepercayaan terhadap Alquran sebagai kebenaran tergantung kepada kepercayaan terhadap Nabi saw. Ketidakpercayaan kepada Nabi saw. berakibat tidak percaya kepada Alquran.
Jika kepercayaan Pengikut Sunnah kepada Sunnah Nabi saw. hanyalah persangkaan maka penafsiran Pengingkar Sunnah terhadap ayat-ayat Alquran juga persangkaan yang lebih lemah. Sebab, Pengingkar Sunnah menafsirkan ayat semata-mata berdasarkan pikirannya sendiri-sendiri dan masing-masing. Sedang Penganut Sunnah menafsirkan Alquran berdasarkan keterangan penerima Alquran itu sendiri, yaitu Nabi saw. Nabi saw. lah orang yang paling berkompeten menjelaskan Alquran karena dialah orang pertama menerimanya dan memang ditugaskan menjelaskannya. Kalau ada muballig Alquran selain dia, itu hanyalah penyambung apa yang sudah dikerjakan Nabi saw. Muballig pertama adalah Nabi saw. Model muballig yang benar adalah model Nabi saw. Jika ada muballig yang lain dari model Nabi saw. berarti muballig yang menyimpang. Setiap penjelas terhadap Alquran harus mengikuti penjelasan penjelas pertama, yaitu Nabi saw.

Alasan akal yang dikemukakan Ingkar Sunnah juga tidak kuat.
1. Pendapat Inkar Sunnah tentang Alquran sudah jelas dan tidak memerlukan penjelasan lain tidak bisa dipahami, baik secara nakli maupun akli. Sebagai dikemukakan sebelumnya banyak sekali ayat Alquran yang menjelaskan bahwa Nabi saw. bertrugas memberi penjelasan (bayan) kepada Alquran. Secara akli juga argumen mereka membingungkan. Kenyataan menunjukkan bahwa penjelasan yang agak detail dalam Alquran sangat sedikit. Mengenai perempuan-perempuan yang haram dinikahi, pembagian harta warisan, dan pencatatan hutang mengutang diterangkan dalam Alquran agak detail. Itu pun tidak lengkap. Hal-hal lain tidak demikian. Mengenai pelaksanaan salat, puasa, zakat, haji, nikah, penyelenggaraan jenazah, dan muamalah disebutkan dalam Alquran sangat umum. Dari perintah-perintah Alquran dapat dipahami bahwa salat, puasa, zakat, dan haji adalah wajib atas setiap Muslim. Akan tetapi, berapa kali salat sehari semalam, berapa rakaat masing-masing waktu, bagaimana cara melaksanakannya, apa yang mesti dilakukan dalam salat dan apa yang tidak boleh dilakukan tidak dijelaskan secara terpe-rinci dalam Alquran. Karena itu perlu penjelasan tentang operasionalnya. Orang yang paling berkompeten menjelaskannya sebelum siapa pun, termasuk ulama adalah orang yang langsung menerima perintah-perintah tersebut, yaitu Nabi saw. Tanpa petunjuk operasional dari Nabio saw., maka cara pelaksanaan salat maka kemungkinan cara pelaksanannya ada dua kemungkinan, yaitu berdasarkan hasil musyawarah atau berdasarkan ijtihad masing-masing.
Kelompok Inkar Sunnah Jakarta mendasarkan pelaksaan salat mereka kepada hasil musyawarah, yaitu lima kali sehari semalam dengan ketentuan masing-masing dua rakaat tanpa azan dan iqamah. Tetapi di antara mereka juga ada yang menetapkannya tiga kali saja sehari semalam. Menurut kelompok ini, salat lima kali itu buatan manusia. Mereka ini mendasarkan pendapatnya kepada surat al-Isra’ ayat 78 : “Dirikanlah salat dari sesudah tergelincir matahari sampai gelap malam dan fajar. Sesungguhnya salat fajar itu disaksikan .“ Menurut yang mereka pahami dari ayat ini, salat itu tiga kali sehari semalam, yaitu sesudah matahari tergelincir, ketika malam sudah gelap, dan waktu fajar. Bagi kelompok ini, tidak ada salat lain dalam Islam. Salat menurut Alquran hanya tiga waktu dan tiga macam ini saja. Perintah Alquran untuk salat pada hari Jumat tidak lain daripada salat sesudah tergelincir matahari.
Penafsiran ini sangat lemah. Perintah untuk salat hari Jumat itu istimewa. Perintah itu disertai perintah segera dan meninggalkan perniagaan. Sesudah melaksanakannya dianjurkan keluar dari salat dan kembali melakukan kegiatan mencari karunia Allah. Ini menunjukkan bahwa salat Jumat itu dikerjakan dalam suatu iven tertentu, lain dari pelaksanaan salat regular. Dalam surat al-Isra’ ayat 79 ada lagi perintah salat tahajjud. Seharusnya, Inkar Sunnah juga mewajibkan salat tahajjud. Sebab, ayat ini persis jatuh sesudah perintah salat yang tiga kali versi mereka. Lebih mengikat mereka lagi paham mereka yang tidak membedakan antara status wajib dan sunnat. Dalam surat al-Muzzammil ayat 2-4 ada lagi perintah lain : “Bangunlah (untuk salat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya). Seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. Atau lebihkan dari seperdua itu. Dan bacalah Alquran itu dengan perlahan-lahan.” Dalam surat Hud ayat 114, “Dan dirikanlah salat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan dari malam.” Dalam surat al-Baqarah ayat 238, “Pelihara kamulah segala salat dan salat wustha (pertengahan).” Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa masih ada macam salat yang lain dari tiga macam yang mereka sebutkan. Tidak mudah untuk mengkompromikan berbagai sebutan salat yang berbeda-beda itu. Ada sebutan salat tahajjud, salat lail, salat Jumat, salat dua tepi malam, salat wustha. Namun, mereka hanya mengambil satu ayat dan menelantarkan ayat-ayat lain. Ini adalah akibat mereka tidak mengakui penjelasan Nabi saw. Mereka terpaksa membuat penafsiran sendiri. Jika mereka mengumpulkan ayat-ayat tentang salat, mereka akan bingung sendiri. Karena memaksakan penafsiran sendiri, maka mereka terpaksa mengabaikan sebagian ayat Alquran. Akhirnya mereka bukan hanya Inkar Sunnah, tetapi juga “inkar sebagian Alquran.”
Dalam membela paham Inkar Sunnah ini, Kassim Ahmad membuat keterangan yang lebih mengacaukan lagi. Menurut dia, ibadah-ibadah agama, salat, puasa, zakat, haji telah diajarkan Tuhan kepada Nabi Ibrahim dan pengikut-pengikutnya dan diturunkan dari mereka kepada generasi demi generasi sampai kepada Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya. Menurutnya, orang Arab juga telah melakukan salat sebelum Muhammad. Hal ini didasarkannya kepada ayat Alquran, “Salat mereka di rumah suci tidak lain daripada penipuan dan kesesatan.” Keterangan Kassim Ahmad ini berarti bahwa salat yang diwajibkan kepada kaum Muslim sama persis dengan salat yang diwajibkan kepada Nabi Ibrahim dan juga orang Arab sebelum kebangkitan Nabi Muhammad saw. Sementara Kristen Ortodok Siria sendiri menklaim salatnya tujuh kali sehari semalam. Mereka juga ada rukuk dan sujudnya walaupun bentuknya sedikit berbeda dengan yang diwariskan Nabi saw. Misalnya, ketika rukuk, mereka meletakkan telapak tangannya di kening. Sekiranya Kassim Ahmad benar dalam klaimnya bahwa salat sudah ada sebelum Islam, cara yang mana yang benar. Setidaknya sekarang sudah ada tiga cara salat. Salat versi Nabi, versi Inkar Sunnah, dan versi Kristen Ortodok Siria. Di kalangan Inkar Sunnah juga ada versi lima kali dan ada versi tiga kali saja. Bahkan, salat versi Kassim Ahmad bebas. Untuk memilih satu atau yang lain dari versi-versi yang berbeda ini apa landasannya. Keterangan Alquran sifatnya umum, tidak mendetail. Bagi kaum Muslim landasannya jelas keterangan Ha-dis Nabi saw. Bagi Inkar Sunnah tentunya pikiran dan hasil musyawarah sebagaimana yang dilakukan kelompok Inkar Sunnah di Jakarta. Ketentuan salat seperti ini adalah filsafat, bukan agama. Yang dinamakan ibadah itu adalah perbuatan yang ditentukan Allah.
Untuk merespon hal ini Kassim Ahmad membuat keterangan tambahan. Setelah menerangkan dengan yakin bahwa salat itu berpunca dari amalan Nabi Ibrahim yang diwariskan kepada generasi-genarasi sesudahnya, Kassim Ahmad mengatakan bahwa namun demikian Alquran juga menyatakan beberapa perincian kaedah salat. Umpamanya, semuanya lima waktu (11: 114, 17: 78, 24: 58, 2: 238, 30: 17-18 dan 20 130); perbuatan rukuk dan sujud (22:77); meringkasakan sembahyang dalam perjalanan (4: 101); bentuk yang boleh disesuaikan dalam keadaan perang dan keadaan luar biasa (4: 103; berpakaian elok (7: 31); cara bacaan yang sederhana (17: 110); jangan menyerukan selain Allah dalam sembahyang (72: 18) dan cara-cara wuduk (5: 6) dan 4: 43). Jadi--katanya—walaupun perincian gerak-gerik tidak diberikan dalam Alquran, banyak perincian kaedah ada diberikan.
Penjelasan ini masih sangat umum. Keterangan ini belum dapat menjawab pertanyaan cara yang mana yang benar dari berbagai versi salat tersebut di atas.Karena itu, Kassim Ahmad harus memutar logika lagi pada penjelasannya selanjutnya. Keterannya berikut ini merupakan ketarangan puncak dan final tentang cara salat di kalangan Inkar Sunnah. Bahkan, dapat dikatakan bahwa inilah kesimpulan dari seluruh pemahaman ibadah dan agama menurut Inkar Sunnah. Karena itu, analisis terhadap masalah salat versi Inkar Sunnah ini dikemukakan agak panjang agar dapat dijadikan tolok ukur kerangka berpikir Inkar Sunnah secara keseluruhan.
Menurut Kassim Ahmad, Alquran mengajarkan agar jangan mempertikaikan bentuk dan kaedah salat. Bentuk dan kaedah salat tidak begitu penting jika dibandingka tujuan. Apa yang penting ialah kebaikan dan kejujuran dalam melakukan kebaikan. Pendapatnya ini didasarkannya kepada surat al-Baqarah ayat 177, “Kebaikan bukanlah berpaling ke timur atau ke barat. Kebaikan ialah beriman kepada Tuhan, hari kiamat, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi,dan mendermakan uang yang kita sayangi kepada kaum keluarga, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang asing, pengemis-pengemis, dan membebaskan hama-abdi, dan melaksanakan salat dan zakat, dan menunaikan janji-janji yang dibuat, dan tetap teguh menghadapi bencana, kesusahan dan peperangan. Inilah mereka yang benar, inilah mereka yang baik.” Kemudian ia juga mengemukakan surat al-Ma`un.
Ayat-ayat yang dikemukakan ini sangat umum. Ayat-ayat ini sama sekali tidak menje-laskan bahwa cara dan bentuk salat tidak perlu. Memang kelompok Inkar Sunnah selalu berpegang kepada ayat-ayat yang bersifat umum dan mengeksploitasi maknanya kepada hal-hal yang bersifat detail. Dalam surat al-Baqarah yang dikemukakannya sendiri disebutkan bahwa melaksanakan salat dan zakat. Jika dihubungkan dengan pangkal ayat, maka salat tidak perlu menghadap Kiblat. Padahal, dalam surat al-Baqarah ayat 144 ditegaskan agar dalam salat menghadap Kiblat, “Maka palingkanlah wajahmu kea rah Masjidilharam.” Apakah menghadap Kiblat bukan salah satu kaedah salat. Kalau itu tidak penting berarti ayat ini tidak penting.
Menurut Kassim Ahmad, ada hikmahnya yang besar mengapa Tuhan tidak memperincikan bentuk dan kaedah salat dalam Alquran. Pertama karena bentuk dan kaedahnya sudah diajarkan kepada Nabi Ibrahim. Kedua, karena bentuk dan kaedah tidak begitu penting dan Tuhan ingin memberikan kelonggaran kepada umat Muhammad supaya mereka boleh melakukan salat dalam keadaan apa pun. Satu peringatan yangv amat baik kepada umat Islam supaya kembali dan berpegang kepada Alquran dan jangan mempertikai bentuk dan kaedah. Sebenarnya, sunnah Nabi ialah Alquran. Beliu berpegang teguh kepada Alquran dan mengikuti perintah-perintah Tuhan. Ini sejalan dengan dua artikel seorang tokoh Inkar Sunnah dari Mesir, Taufik Sidqi yang berjudul, al-Islam huwa al-Qur’an wahdah (Islam adalah Alquran saja) dan dibuat dalam majalah al-Manar, nomor terbitan ke-7 dan ke-12 di Mesir. Dalam kedua tulisan ini, Taufik Sidqi menjelaskan bahwa Alquran saja yang menjadi sumber ajaran Islam, tidak masuk Hadis.
Uraian di atas menunjukkan bahwa bentuk dan cara salat menurut Inkar Sunnah tidak penting dan tidak ada. Karena itu, di kalangan Inkar Sunnah sendiri tidak ada kesepakatan ten-tang cara salat. Tidak ada bacan tertentu dalam salat. Salat boleh dengan bahasa Indonesia. Sebagian mereka mengakhiri salat dengan hamdalah, bukan salam. Karena tidak cara tertentu, maka cara salat Kristen Ortodok Siria yang tujuh kali sehari semalam dengan meletakkan telapak tangan ke dahi ketika rukuk tentunya sah-sah saja dilakukan kelompok Inkar Sunnah. Apalagi, secara historis Agama Kristen lebih dahulu lahir daripada Islam. Jangan-jangan, cara salat Kristen ini lebih orisinal dari cara salat kelompok Inkar Sunnah. Sebab, dengan pendekatan sejarah, semakin dekat kepada sumber asal yang dalam hal ini sumber salat pertama Nabi Ibrahim adalah semakin besar kemungkinan autentisitasnya. Logika ini berlaku untuk cara zakat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lainnya. Artinya tidak ada ketentuan khusus tentang pelaksanaannya menurut kelompok Inkar Sunnah.
Adapun menurut pandangan pengikut Sunnah Nabi saw., memang sebagian syariat yang dibawa Nabi Muhammad saw. sebagiannya berasal dari nabi-nabi sebelumnya, terutama Nabi Ibrahim, termasuk haji dan khitan. Akan tetapi, pelakasanaanya tidak semuanya sama. Misalnya, sepanjang informasi yang ada, Nabi Ibrahim berkhitan ketika umur delapan puluh tahun. Dalam Islam tidak demikian. Nabi Ibrahim menyembelih putranya. Kebetulan saja Allah menggantinya dengan seekor kibas. Dalam Islam tidak demikian. Kemudian, kalau Nabi umat Islam itu Muhammad saw., tetapi umatnya tidak boleh mengikuti keterangan dan amalnya, melainkan harus Alquran saja. Mengapa kita mengikuti sunnah Nabi Ibrahim, tidak Kitab Suci yang diturunkan kepadanya, yaitu Shuhuf. Logika Inkar Sunnah tidak adil. Seharusnya yang diikuti adalah Shuhuf Ibrahim, bukan perbuatan Ibrahim. Jika kelompok Inkar Sunnah ingin mengikuti Shuhuf Ibrahim as., mereka harus mencarinya dan mencari yang aslinya. Sekarang, Nabi kita adalah Muhammad saw. Amal dan penjelasannya termuat dalam kitab-kitab Hadis. Seleksi terhadap yang sahih dan yang daif secara ilmiah telah dilakukan para ulama yang berkompeten. Siapa saja boleh melakukan penelitian terhadap hadis yang sahih. Hadis sahih dapat diamalkan dan hadis yang lemah tidak boleh diamalkan. Mengapa kelompok Inkar Sunnah tidak berpikir ilmiah. Justru percaya kepada sunnah Ibrahim yang sama sekali tidak jelas sumbernya.

1. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua orang Arab bisa memahami Alquran dengan baik. Setiap ilmu mempunyai terminologi sendiri. Untuk memahami Alquran juga membutuhkan kompetensi khusus. Setiap ilmu mempunyai terminology tersendiri. Bukan setiap ahli bahasa Arab yang bukan ahli filsafat mampu memahami filsafat yang ditulis dalam bahasa Arab. Begitulah ilmu-ilmu itu seterusnya. Seorang ahli akan memahami ilmu yang dibidanginya. Demikian juga ahli tafsir. Seorang mufasir harus menguasai bahasa Arab, menguasai nahu, saraf, dan balaghah, menguasai hadis-hadis dan ilmu hadis yang berkaitan dengan ayat yang ditafsirkan, mengetahui sebab turun ayat, mengetahui konteksnya dengan ayat sebelum dan sesudahnya, mengetahui usul fikih dan kaedah-kaedah umum agama.Tanpa pengetahuan yang memadai tentang ilmu-ilmu tersebut ini, seseorang akan menafsirkan Alquran dengan kacau, seperti orang yang berlayar tanpa arah. Dirinya akan sesat dan orang yang ikut dalam perahunya ikut sesat bersamanya. Demikian juga halnya dengan orang yang berusaha memahami Hadis Nabi saw. tanpa penguasaan ilmu-ilmu tersebut akan memahamkannya sesuka hatinya. Karena Pengingkar Sunnah memahamankan Alquran tanpa Hadis dan tanpa alat-alat yang dibutuhkan, maka timbullah kekacauan. Cara salat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lainnya diserahkan kepada masing-masing. Bagaimana bisa melaksanakan salat berjemaah kalau caranya dan bahasanya menurut masing-masing. Padahal, Alquran sendiri memerintahkan agar salat berjamaah. Warka`u ma`ar raki`in (Rukuklah kamu bersama orang-orang yang rukuk).
1. Jika Sunnah yang menjelaskan ayat-ayat yang umum dikatakan penyebab perpecahan, maka tafsir tanpa Sunnah tentunya lebih membuat kekacauan. Selagi ada Sunnah masih juga muncul beberapa mazhab di kalangan umat Islam sekalipun perbedaannya tidak dalam hal yang prinsipil. Tanpa Sunnah tentunya setiap orang memiliki mazhab sendiri. Sekian juta umat Islam maka cara salat, puasa, dan hajinya akan menjadi sekian juta pula. Apakah ini bukan kekacauan?
2. Pengkaji Hadis mengetahui bahwa para sahabat belajar Hadis dari Nabi dan meriwayatkannya kepada generasi sesudah mereka. Para sahabat pun mencatat Hadis untuk hafalan mereka. Catatan mereka disebut shahifah. Ada yang berisi seribu hadis. Shahifah-shahifah itu berjumlah empat puluh buah. Mereka mengahafal dan begitulah dari generasi ke generasi. Apa yang dikatakan orientalis bahwa Hadis muncul pada pertengahan abad kedua Hijrah tidak benar. Sebab, objek penelitian mereka tidak metodologis. Mereka mengambil sampel dari kitab-kitab yang bukan sumber asli Hadis. J. Schacht misalnya sengaja mengambil sampel kitab Muwaththa’ Malik agar ia menemukan banyak sanad yang tidak lengkap. Atas dasar sampel yang salah itu ia menggeneralisir bahwa semua Hadis tidak benar datang dari Nabi karena tidak lengkap sanadnya. Seharusnya ia mengambil kitab hadis yang asli, seperti Musnad Ahmad dan Shahih al-Bukhari yang tentunya ia akan mendapatkan sanad-sanad yang lengkap dan bersambung.
3. Tuduhan sahabat dan tabiin berbohong sangat naïf. Keadilan sahabat dan para periwayat hadis yang makbul itu dibuktikan dalam berbagai kitab biografi periwayat Hadis. Sahabat itu jumlahnya banyak. Menurut Abu Zur`ah, jumlah sahabat ketika Nabi wafat 114.000 orang. Namun, sahabat yang terlibat dalam periwayatan Hadis yang sampai kepada kita dan perlu dibahas sepanjang kajian sanad sangat sedikit dibandingkan jumlah itu. Berdasarkan keterangan Muhammad `Ajjaj al-Khathib, sahabat yang meriwayatkan seribu hadis ke atas hanya tujuh orang, yang meriwayatkan dua ratus hadis ke atas sebelas orang, yang meriwayatkan seratus hadis ke atas dua puluh satu orang, yang meriwayatkan puluhan hadis kurang dari dari seratus orang, yang meriwayatkan sepuluh hadis ke bawah seratusan orang , yang meriwayatkan satu hadis saja lebih kurang tiga ratus orang. Jumlah seluruhnya 539 orang sahabat. Diasumsikan saja lebih daripada itu. Misalnya tujuh ratus orang. Apakah tidak logis bila jumlah yang demikian dari total 114.000 orang sebagai sahabat yang saleh dan terpercaya dalam meriwayatkan Hadis. Sekiranya kaedah yang berbunyi, “Sahabat seluruhnya adil” diberlakukan kepada mereka ini, tentunya sangat logis. Seleksi terhadap Hadis juga terus dilakukan, baik melalui sanad maupun melalui matan. Makanya ada hadis yang mutawatir , sahih , hasan , dha`If , bathil , dan maudhu` . Sebagai ilmu yang berdiri sendiri tentang kritik sanad dan kritik matan, memang berkembang secara bertahap. Halnya sama dengan ilmu yang lain. Tetapi, kinerja seleksi Hadis sudah dilakukan sejak zaman sahabat. Karena itu, dalam sejarah, mereka mempertanyakan sanad hadis yang dikemukakan kepada mereka, mereka menerima hadis tertentu dan menolak hadis yang lain. Ini berarti, mereka memiliki ilmu tentang kriteria hadis yang dapat dijadikan hujah.
5. Sehubungan dengan itu, pada tanggal 27 Juni 1994, MUI Pusat telah memfatwakan bahwa aliran yang tidak mempercayai Sunnah adalah sesat dan berada di luar Agama Islam serta meminta kepada pemerintah agar mengambil langkah tegas melarangnya. Pada tahun 2006 di Kecamatan Lubuk Pakam, Deli Serdang telah muncul suatu kelompok yang menamakan dirinya sebagai Soul Training dan menklaim telah melakukan penelitian yang hasilnya menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad saw. tidak pernah mewariskan apa pun pada umatnya kecuali hanya Kitab Suci yang Agung Al-Quran al-Karim dan bahwa sesungguhynya salat tarawih/salat qiyam Ramadan benar-benar bukan salah satu tuntunan Islam. Kelompok ini juga berpendapat bahwa umat Islam telah ditipu, disesatkan, dan dipecah-belah oleh Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii, dan Imam Hambali. Penjelasan lebih detail dapat dibaca pada laporan mereka yang dikeluarkan di Pagar Mer-bau, 6 Juni 2006. Paham ini berarti penolakan terhadap Hadis Nabi saw. Mengenai paham ini, Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Deli Serdang telah mengeluarkan fatwa pada tanggal 24 Juni 2006. Isinya adalah bahwa Soul Training, aliran sesat dan menyesatkan. Aliran Soul Training tidak dibenarkan untuk dikembangkan sebab meresahkan dan merusak akidah Islam. Mengakui, mengikuti dan mengembangkan aliran Soul Training hukumnya haram.

Medan, 17 Juli 2007
DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA

Sabtu, 22 Maret 2008

AKIDAH AHLUSSUNNAH WALJAMAAH

DR. H. RAMLI ABDUL WAHID, MA

  1. Pendahuluan

Ungkapan Ahlussunnah waljamaah terdiri dari tiga kata bahasa Arab, yaitu ahl, sunnah, dan al-jama`ah. Ahl berarti keluarga, kelompok, dan golongan. Sunnah berarti Sunnah atau Hadis Nabi saw. Al-Jama`ah berarti ramai, banyak, mayoritas. Ahlussunnah waljamaah maksudnya golongan yang tatap berpegang pada Sunnah Nabi saw. yang dianut oleh mayoritas umat Islam. Istilah ini berhubungan dengan hadis yang artinya, “Umatku akan terpecah kepada 73 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu Ahlussunnah waljamaah.” Secara tekstual, hadis ini dipahami oleh golongan Ahlussunnah waljamaah bahwa pahamnya sajalah yang benar dan penganutnya akan masuk sorga. Dari pemahaman inilah turun istilah di Indonesia, ASWAJA yang mak-sudnya Ahlussunnah waljamaah saja.

Ahlussunnah waljamah berlangsung dari awal Islam. Karena itu, tersebutlah al-Hasan al-Basri dan Ahmad bin Hanbal sebagai tokoh-tokoh Ahlussunnah wal-jamaah. Akan tetapi, dalam perkembangannya kemudian terdapat dua tokoh yang mengembangkan dan memberikan rumusan-rumusan secara jelas sehingga menjadi nyata berbeda dari paham aliran lain, yaitu Abu al-Hasan al-Asya`ri dan Abu Mansur al-Maturidi sehingga mereka disebut sebagai pendiri Ahlussunnah Waljamaah.

Secara umum, ada dua hal yang membedakan Ahlussunnah dari aliran lain-nya. Pertama, Ahlussunnah meyakini bahwa penilaian baik dan buruk didasar-kan kepada syariat. Kedua, paham Ahlussunnah dianut mayoritas umat Islam. Dengan dasar pemikiran bahwa wewenang menilai baik (tahsin) dan menilai buruk (taqbih) diserahkan kepada syariat (wahyu), maka Ahlussunnah terbeda dari Muktazilah yang meyakini bahwa wewenang menilai baik (tahsin) dan menilai buruk (taqbih) diserahkan kepada akal (rasio). Keadaan menjadi paham yang dianut mayoritas umat, Ahlussunnah terbeda dari Syiah yang memiliki sejumlah ajaran yang tidak diterima oleh mayoritas umat, seperti keyakinan akan adanya wasiat Nabi saw. kepada Ali bin Abi Talib sebagai penggantinya (washi), hak prerogatif ahl al-bait (keluarga Nabi saw.), keterpeliharaan (`ishmah) imam-imam yang dua belas, paham kembalinya imam yang tersem-bunyi (raj`ah), dan sahnya nikah mut`ah. Mayoritas umat sejak dari zaman Khalifah Abu Bakar sampai sekarang tidak mempercayai adanya wasiat khusus untuk Ali sehingga mereka menganggap sahnya kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Usman. Mayoritas umat menerima hadis-hadis yang diriwayatkan para saha-bat sekalipun mereka bukan dari ahl al-bait sebagaimana termuat dalam Shahih al-Bukahri, Shahih Muslim, dan kitab-kitab hadis lainnya. Mayoritas juga meyakini bahwa `ishmah itu hanya ada pada para nabi dan rasul, tidak pada orang selain mereka. Mayoritas umat juga tidak menerima sahnya nikah mut`ah.

Dalam perkembangan sejarah, paham Muktazilah menghilang kecuali tinggal dalam bentuk paham sementara individual. Demikian juga paham Khawarij menghilang, kecuali dalam kelompok kecil dan tidak berpengaruh. Paham Syiah Itsna `Asyariyah (Imam Dua Belas) berkuasa di Iran dan sejumlah pengikutnya terdapat di Bahrain, Irak, dan Pakistan. Belakangan Syiah mendapat angin segar di Indonesia.

Di bidang fikih, Syiah mempunyai beberapa mazhab, seperti Mazhab Ja`fa-riah, Hadawiyah, dan Zaidiyah. Ahlussunnah juga mempunyai sejumlah mazhab fikih, yaitu Mazhab Hanafi dengan pendirinya an-Nu`man bin Basyir Abu Hanifah (w. 150 H), Maliki dengan pendirinya Malik bin Anas (w. 179 H), Syafii dengan pendirinya Muhammad bin Idris (w. 204 H), Hambali dengan pendirinya Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Auza`i dengan pendirinya Abdurrahman al-Auza`i (w. 157 H), Tsauri dengan pendirinya Sufyan ats-Tsauri (w. 161 H), Laitsi dengan pendirinya al-Laits bin Sa`d (w. 175 H), Tabari dengan pendirinya Abu Ja`far Mu-hammad bin Jarir at-Tabari (w.310 H), Zahiri dengan pendirinya Dawud az-Za-hiri (w. 270 H), dan mazhab Nakha`i.

  1. Paham Ahlussunnah

Salah satu kitab penting Ahlussunnah waljamaah adalah kitab al-Farq bain al-Firaq karya `Abd al-Qahir bin Tahir bin Muhammad al-Bagdadi (w. 429 H) yang terkenal dengan al-Bagdadi. Al-Bagdadi menjelaskan dalam buku ini 15 ajaran pokok (ushul) Ahlussunnah sebagai berikut.

    1. Mengakui hakikat dan ilmu. Mereka sepakat atas menetapkan ilmu-ilmu sebagai pengertian-pengertian yang dimiliki pada para ulama. Mereka menilai sesat orang-orang yang menolak keberadaan ilmu. Mereka me-nilai sesat kaum sofistik yang menafikan ilmu dan menafikan hakikat segala sesuatu. Demikian juga kaum sofistik yang memeragukan wujud hakikat dan yang mengatakan bahwa hakikat segala sesuatu mengikuti iktikad sehingga mereka memebanarkan semua iktikad serta keadaannya yang berbertentangan dan bertolak belakang. Ahlussunnah berpendapat bahwa khabar mutawatir sebagai jalan mendapatkan ilmu yang bersifat pasti tentang yang diberitakannya, seperti ilmu kita tentang wujudnya pa-ra nabi dan para raja terdahulu berdasarkan khabar mutawatir. Ahlussun-nah sepakat bahwa Allah memberati hamba-Nya untuk mengenal-Nya, mengenal para rasul-Nya, kitab-Nya, dan mengamalkan apa yang ditun-jukkan oleh Alquran dan Sunnah Nabi saw.
    2. Mereka sepakat bahwa alam adalah setiap suatu selain Allah. Mereka se-pakat bahwa setiap suatu selain Allah dan lain dari sifat-sifat-Nya adalah makhluk diciptakan dan bahwa penciptanya tidak makluk diciptakan. Mereka sepakat bahwa bagian-bagian alam dua macam,yaitu jawahir (benda-benda terkecil) dan a`radh (sifat-sifat mendatang dan hilang). Mereka sepakat bahwa bumi berakhir ujung-ujungnya dari semua arah. Mereka sepakat atas binasa alam dan kekalnya sorga dan neraka.
    3. Mereka meyakini atas adanya pencipta alam dan sifat-sifatnya. Segala baharu (yang ada baru kemudian dari tidak ada) pasti ada yang menjadi-kannya. Mereka juga berpendapat bahwa tidak ada sesuatu sebelum ter-ciptanya segala baharu. Pencipta alam qadim (tidak berpermulaan), tetap wujud dan tidak berakhir. Mereka sepakat atas mustahilnya pencipta ber-bentuk dan memiliki anggota tubuh. Pencipta tidak diliputi tempat dan zaman tidak berlaku padanya. Mereka sepakat menafikan dari pencipta alam kerusakan, penderitaan, kelezatan, gerak dan diam. Allah tidak ber-hajat kepada makhluk. Allah esa.
    4. Mereka meyakini bahwa Allah mempunyai sifat-sifat yang berdiri pada zat-Nya. Ilmu, qudrah, hayat, iradah, sama`, basher, dan kalam-Nya adalah sifat-sifat-Nya yang azali (tidak berawal) dan abadi (tidak ber-akhir). Mereka sepakat bahwa qudrah Allah terhadap segala objeknya adalah satu saja. Ilmu Allah terhadap segala objek ilmu adalah satu. Sama` dan bashar-Nya meliputi segala yang bangsa didengar dan bangsa dilihat. Mukmin akan melihat Allah di akhirat.
    5. Mereka berpendapat bahwa Allah memiliki nama-nama dan nama Allah tawqifi (tidak diketahui kecuali melalui wahyu). Mereka berkata bahwa nama-nama Allah itu tiga macam, yaitu nama yang menunjukkan zat-Nya, nama yang menunjukkan sifat-Nya yang berdiri pada Zat-Nya, dan nama yang diambil dari perbuatan-perbuatan-Nya.
    6. Mereka berkeyakinan bahwa Allah menciptakan semua jism (tubuh) dan `ardh (sifat yang datang dan pergi), baik dan buruk, usaha hamba, dan tidak ada yang mencipta selain Allah. Menurut mereka, seorang hamba berusaha untuk amalnya dan Allah menciptaka usahanya. Hidayah Allah ada dua macam. Pertama, dari sudut menerangkan yang hak, menyeru kepadanya, dan menegakkan dalil atas kebenarannya. Dari aspek ini, boleh menyandarkan hidayah kepada para rasul dan setiap dai yang mengajak kepada Agama Allah. Kedua, dari sudut penciptaan maka Allah yang menciptakan hidayah di dalam hati manusia. Allah juga yang menyesatkan dalam arti bahwa Allahh menciptakan sesat di dalam hati manusia. Allah menyesatkan sesorang atas dasar keadilan-Nya dan Allah memberi hidayah atas dasar kemurahan-Nya. Orang yang mati sendiri atau dibunuh, ia mati karena ajalnya yang ditetapkan Allah. Tetapi, Allah berkuasa untuk mengekalkannya atau menambah umurnya.
    7. Mereka mengakui penetapan para rasul dari Allah kepada makhluk-Nya. Mereka mengatakan bahwa jumlah nabi banyak dan 313 dari mereka adalah berstatus rasul. Nabi pertama Adam dan nabi terakhir Muhammad saw. Mereka mengkafirkan setiap orang yang mengklaim nabi (mutanabbi), baik sebelum Islam seperti Zardasyt, Yurasif, Mani, Dishan, Marqiun, dan Mazdak maupun sesudah Islam, seperti Musailamah, Sajah, al-Aswad bin Yazid al-`Ansi, dan seluruh pengaku nabi sesudah mereka. Mereka mengatakan `ishmahnya (keterpeliharaan) para nabi dari dosa.
    8. Mereka mengatakan kemestian nabi memiliki mukjizat yang menun-jukkan atas kebenaran kenabiannya dan ia diperintahkan menantang orang agar membuat tandingan mukjizat yang dibawanya. Jika muncul pada seorang nabi mukjizat atas kebenarannya dan orang tidak mampu menentangnya dengan membuat keanehan yang sebanding dengannya, maka wajiblah membenarkan kenabiannya dan taat kepadanya. Mereka juga mempercayai kemungkinan terjadinya karamat pada wali-wali Allah untuk menunjukkan kewalian mereka. Perbedaan karamat dengan muk-jizat adalah bahwa karamat tidak disertai tantangan kepada orang untuk membuat tandingannya. Mereka juga mempercayai Alquran sebagai mukjizat dan adanya mukjizat terpecahnya bulan, mata air dari celah-celah jari Nabi, dan kenyangnya banyak orang dengan makanan yang sedikit.
    9. Mereka meyakini rukun Islam lima dan siapa saja yang menggugurkan salah satu darinya menjadi kafir. Mereka juga mengatakan adanya syarat sah bagi salat, wajib jihad, haramnya riba, haramnya hubungan kelamin kecuali dengan nikah yang benar, wajibnya menegakkan hukuman zina, mencuri, minum khamar, dan menuduh zina tanpa saksi yang cukup. Mereka juga mengatakan Alquran, Sunnah, dan ijmak salaf sebagai dasar-dasar hukum syariat.
    10. Mereka mengatakan bahwa perbuatan mukallaf terbagi kepada lima macam, yaitu wajib, terlarang (haram), sunnat, makruh, dan mubah (boleh). Mereka mengatakan bahwa sesuatu yang wajib atas mukallaf berupa ilmu, perkataan, dan perbuatan hanyalah wajib karena perintah Allah dan setiap yang haram atas mukallaf adalah karena larangan Allah. Tanpa perintah dan larangan Allah niscaya tidak ada yang wajib dan tidak ada yang haram.
    11. Mereka mengatakan bahwa Allah kuasa untuk membinasakan seluruh alam sekaligus atau membinasakan sebagian saja dan membiarkan lain-nya. Allah akan mengembalikan manusia dan hewan di akhirat nanti se-sudah mati mereka di dunia. Mereka an azab neraka. Mereka mengatakan adanya soal dan azab kubur. Mermengatakan bahwa sorga dan neraka diciptakan serta kekalnya nikmat sorga deka mempercayai adanya telaga (haudh) shirath, dan mizan. Demikian juga mereka mempercayai adanya syafaat Nabi saw.
    12. Mereka mengatakan bahwa imamah fardu yang wajib atas umat untuk mengangkat imam (khalifah). Cara menetapkan keimaman kepada imam (khalifah) adalah melalui pemilihan dengan cara ijtihad. Mereka menga-takan bahwa tidak ada nas dari Nabi untuk keimaman kepada orang seca-ra khusus. Mereka mengatakan kebangsaan Kuraisy, ilmu, adil, dan kemampuan berpolitik sebagai syarat imam. Mereka menerima kekhali-fahan Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali.
    13. Mereka mengatakan bahwa asal iman adalah ma`rifah dan pembenaran dengan hati. Mereka berbeda pendapat tentang penamaan pengakuan dan ketaatan anggota luar sebagai iman, sedang meraka sepakat atas wajib-nya seluruh ketaatan yang wajib dan atas sunnatnya pekerjaan-pekerjaan yang disyariatkan. Menurut mereka, nama iman tidak hilang dengan sebab berbuat dosa yang tidak sampai kepada kekufuran. Orang berbuat dosa seperti ini disebut fasik.
    14. Mereka mengatakan bahwa malaikat terpelihara dari dosa. Menurut mereka, sahabat yang sepuluh masuk sorga. Mereka itu adalah Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Talhah, Zubair, Sa`d bin Abiu Waqqash, Sa`id bin Zaid bin `Amr bin Naufal, `Abd ar-Rahman bin `Auf, dan Abu `Ubaidah bin al-Jarrah.
    15. Mereka mengatakan bahwa lawan Islam dua macam. Pertama, golongan sebelum lahir negara Islam. Kedua, golongan yang muncul di nagera Islam dan berpura-pura Islam. Golongan pertama adalah penyembah berhala, penyembah matahari, bulan dan bintang, penyembah malaikat, penyembah setan, Majusi, dan sofistik yang mengingkari hakikat. Tidak halal sembelihan mereka dan tidak boleh mengawini perempuan mereka. Adapun golongan orang-orang kafir yang muncul di negara Islam dan mereka berpura-pura Islam serta membunuh kaum Muslim dengan sembunyi-sembunyi antara lain adalah sekte Rafidah Sabaiyah, paham hulul, penganut reinkarnasi ruh, Yazidiyah dari golongan Khawarij yang meyakini dinasakhnya syariat Islam dengan syariat nabi dari orang `ajam (selain Arab), dan orang yang sependapat dengan sekte al-Kamiliyah yang mengkafirkan sahabat yang tidak membaiat Ali dan mengkafirkan Ali karena tidak memerangi musuh. Hukum tentang mereka ini adalah hukum murtad, tidak halal sembelihan mereka, dan tidak halal menikahi perempuan mereka.

  1. Penutup

Ahlussunnah merupakan aliran atau paham mayoritas umat Islam sedunia. Ahlussunnah mendasarkan hampir seluruh ajarannya kepada Alquran dan Sun-nah secara langsung dan lebih tekstual. Ajarannya mudah dipahami dan terbuka. Di kalangan Ahlussunnah juga terdapat sedikit perbedaan. Tetapi perbedaan itu tidak signifikan.

Medan, 21 Maret 2008

Jumat, 22 Februari 2008

INGKAR SUNNAH

TELAAH TERHADAP PAHAM DAN ARGUMEN
INGKAR SUNNAH
Oleh : DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA

ABSTRAKSI
Inkar Sunnah merupakan suatu paham menolak Hadis Nabi saw. yang lahir sejak masa awal Islam, terutama di zaman Imam asy-Syufii dan mengalir timbul tenggelam dalam sejarah sampai masa sekarang. Paham ini bertentangan dengan perintah Alquran untuk mengikuti dan menaula-dani Nabi dalam melaksanakan ajaran Alquran. Karena menolak Sunnah, sedang keterangan Al-quran bersifat umum dan tidak terperinci, maka penganut Inkar Sunnah menafsirkan Alquran se-kehendak hatinya, baik dalam menguatkan pahamnya maupun dalam pelaksanaan ibadah dan a-mal Islam. Sebagian mereka salat dua tiga kali sehari semalam dan sebagian yang lain lima kali. Rakaatnya pun masing-masing dua rakaat. Salat bentuk lain pun boleh juga. Argumen mereka ti-dak benar dan berdasarkan nas-nas Alquran dan Hadis, paham Inkar Sunnah adalah sesat dan ke-luar dari Islam.

A. Sejarah
Ingkar Sunnah berarti penolakan terhadap Hadis Nabi saw., baik secara keseluruhan maupun sebagian. Kajian tentang Ingkar Sunnah secara historis selalu merujuk kitab al-Umm karya Imam Syafii (w. 150 H). Di zaman modern, terkenal tokoh Inkar Sunnah di berbagai daerah, seperti Taufiq Shidqi di Mesir, Garrah Ali dan Gulam Ahmad Parwez di India-Pakistan, Kassim Ahmad di Malaysia, Rasyad Khalifah di Amerika, Haji Abdurrahman, Ustaz H. Sanwani, dan Ir. Irham Sutarto di Jakarta, Dailami Lubis di Sumatera Barat, dan untuk Medan juga sudah ada, baik yang terus terang menolaknya maupun yang menolaknya secara ilmiah.
Inkar Sunnah ada dua macam, yaitu pengingkar Sunnah secara keseluruhan dan pengingkar sebagian saja. Pengingkar hadis yang mutawatir hukumnya kafir, sedang pengingkar hadis yang sahih ahad fasik. Pengingkar seluruh Hadis berarti kafir karena termasuk di dalamnya hadis mutawatir. Bahasan dalam makalah ini adalah tentang pengingkar seluruh Hadis.

B. Ajaran Pokok Ingkar Sunnah
1. Dasar ajaran Islam hanyalah Alquran karena Alquran sudah lengkap dan sempurna.
2. Tidak percaya dan menolak seluruh Hadis Nabi saw.
3. Nabi Muhammad tidak berhak untuk memberikan penjelasan apa pun tentang Alquran
4. Syahadat mereka adalah Isyhadu bi annana muslimun (saksikan kamulah bahwa kami orang-orang Islam)
5. Rakaat dan cara salat terserah kepada masing-masing, boleh dua rakaat dan boleh dengan eling (ingat) saja
6. Puasa wajib bagi yang melihat bulan saja, tidak wajib bagi orang yang tidak melihatnya dengan alasan ayat faman syahida minkumusy syahra falyashumhu (Barang siapa yang melihat bulan di antara kamu maka hendaklah ia puasa)
7. Haji boleh dilakukan selama bulan-bulan haram, yaitu Muharram, Rajab, Sya`ban, dan Zulhijjah
8. Pakaian ihram boleh dengan celana, baju, jas, dan dasi.
9. Orang yang meninggal tidak disalatkan karena tidak ada perintah dalam Alquran.
10. Pengajian-pengajian Inkar Sunnah di Jakarta membuat semua salat dua-dua rakaat tanpa azan dan iqamah.
11. Dalil-dalil Ingkar Sunnah
Dalil-dalil atau alasan-alasan Ingkar Sunnah dapat dibagi kepada dua macam, yaitu dalil Alquran dan alasan akal. Dalil Alquran antara lain adalah :
1. Alquran surat an-Nahl ayat 89 :
“Kami turunkan kepadamu Alquran untuk menjelaskan segala sesuatu”
2. Alquran surat al-An`am ayat 38 :
“Tidak Kami alpakan sesuatu pun di dalam Alquran”
3. Alquran surat al-Maidah ayat 3 :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kamu agamamua dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridai Islam itu sebagai agamamu”
Ketiga ayat ini dan ayat-ayat yang senada menunjukkan bahwa Alquran telah menjelaskan segala sesuatu. Alquran tidak membutuhkan keterangan tambahan lagi karena penjelasannya tentang Islam sebagai agama sudah sempurna.
4. Alquran surat an-Najm ayat 3-4:
“Dan ia (Muhammad) tidak bertutur menurut hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain wahyu
yang diwahyukan kepadanya.”
Yang diwahyukan itu sudah termaktub dalam Alquran
5. Alquran surat al-Haqqah ayat 44-46:
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas nama Kami
niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian Kami akan potong urat tali
jantungnya.”
Alquran surat surat Ali Imran ayat 20; al-Maidah ayat 92, 99; ar-Ra`d ayat 40; an-Nahl
ayat 35, 82; an-Nur ayat 45; al-`Ankabut ayat 18; asy-Syura ayat 48.
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa tugas Nabi Muhammad hanyalah menyampaikan pesan
Allah dan tidak berhak memberikan penjelasan apa pun.
Alquran surat Fathir ayat 31 “
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yakni Alquran itulah yang benar (haqq).”
8. Alquran surat Yunus ayat 36 :
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran.”

Jadi, Hadis itu hanyalah persangkaan yang tidak layak dijadikan hujah.

Adapun dalil akal adalah sebagai berikut :
1. Alquran dalam bahasa Arab yang jelas. Orang yang paham bahasa Arab paham Alquran.
2. Perpecahan umat Islam karena berpegang pada hadis-hadis yang berbeda-beda
3. Hadis hanyalah dongeng karena baru muncul di zaman tabiin dan tabittabiin
4. Tidak satu hadis pun dicatat di zaman Nabi. Dalam periode sebelum pencatatan Hadis, manusia berpeluang berbohong
5. Kritik sanad baru muncul setelah satu setengah abad Nabi wafat
6. Konsep tentang seluruh sahabat adil muncul pada akhir abad ketiga Hijrah

12. Analisis terhadap Argumen Ingkar Sunnah
Dalil-dalil nakli dan argumen akli Ingkar Sunnah itu seluruhnya lemah. Seorang tokoh Inkar Sunnah dari Amerika, Rashad Khalifa menulis sebuah buku berjudul, The Computer Speaks : God’s Message to the World yang terbit pada tahun 1981. Tokoh Inkar Sunnah dari Malaysia, Kassim Ahmad mengatakan bahwa buku ini secara saintifik membuktikan ketulenan Alquran sebagai perutusan Tuhan kepada manusia yang sepenuhnya terpelihara, dan menarik perhatian pembaca kepada kesempurnaannya, lengkapnya dan keterperinciannya, menyebabkan manusia tidak memerlukan buku-buku lain sebagai sumber bimbingan. Ini--katanya--bermakna Hadis sekaligus tertolak sebagai sumber teologi dan perundangan.[1] Lebih dari ini, Kassim Ahmad dengan yakin membuat kesimpulan tentang penolakan Rashad Kahlifa terhadap Sunnah.Katanya, bahwa dalam masa lebih kurang tiga bulan dia telah berpuas hati mengenai tesis pokok Rashad Khalifa bahwa Hadis merupakan suatu penyelewengan dari ajaran Nabi Muhammad dan tidak boleh diterima sebagai sumber perundangan adalah benar.[2]
Ayat-ayat yang dikemukaan Ingkar Sunnah bersifat umum dan global, perlu peneje-lasan(bayan). Nabi berfungsi menjelaskannya. Penjelasan(bayan) itu berbentuk pernyataan, perbuatan, dan pengakuan pembawa Alquran itu. Karena itu, disebutkan dalam Alquran surat az-Zukhruf ayat 63:
“Sesungguhnya aku (Nabi) telah datang membawa hikmah dan untuk kujelaskan kepada kamu sebagian yang kamu berselisih paham tentangnya.” Surat an-Nahl ayat 44:
“Dan Kami telah menurunkan kepadamu zikr(Alquran) agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.”
Demikian juga dalam surat yang sama ayat 64.
Dalam surat al-Maidah ayat 15:
“Sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami menjelaskan kepada kamu banyak
mengenai hal yang kamu berselisih paham tentangnya.”
Keterangan yang sama juga disebutkan dalam surat yang sama ayat 19.
Surat Ibrahim ayat 4 :
“Dan tidak Kami mengutus Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya agar ia menjelaskan kepada mereka.”
Surat Ibrahim ayat 1 :
“Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya engkau keluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya yang terang.”
Surat ath-Thalaq ayat 65 :
(Dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepada kamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bernacam-macam hukum) supaya dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya.”
Surat Ali Imran ayat 3 :
“Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan al-Hikmah.”
Ayat-ayat ini dan banyak lagi seumpamanya menjelaskan bahwa tugas Rasul bukan hanya menyampaikan pesan, tetapi juga menjelaskan (memberi bayan) terhadap pesan itu, mengajarkan Alquran dan hikmah, mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya, dan membersihkan jiwa mereka. Jadi, maksud Alquran menjelaskan segala sesuatu adalah bersifat umum. Secara umum Alquran menjelaskan segalanya. Keterangan Nabi menjelaskan secara rinci dan operasional. Sebagai perbandingan adalah UUD bagi negara sifatnya lengkap tapi umum. Peraturan dibuat sebagai petunjuk operasional. Hadis pun berfungsi seperti peraturan. Sejalan dengan itu, Allah memerintahkan agar umat Islam mengambil apa yang dibawa Rasul. Yang dibawa Rasul itu ada dua, Alquran dan Sunnah Rasul.
Alquran surat al-Hasyar ayat 7:
“Apa yang diberikan Rasul maka ambillah dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah.”
Alquran surat an-Nisa’ ayat 59 :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul.”
Ketika Rasul hidup, maka orang Islam langsung mengikuti perintahnya. Sesudah wafatnya, tentunya mengikuti apa yang ditinggalkannya, yaitu Alquran dan Sunnah. Kalau sesudah wafat-nya tidak patuh lagi kepadanya, maka tinggalkanlah kedua Alquran dan Sunnahnya. Jangan tinggalkan satu pakai yang satu lagi. Jika keduanya ditinggalkan maka jadilah kafir.
Dalam surat an-Nisa’ ayat 65 Allah swt. mencap orang belum beriman selama ia belum bersedia menjadikan Nabi Muhammad menjadi hakim dalam urusannya. Agar penjelasan Nabi Mu-hammad tidak menyimpang dari tujuan Allah dalam Alquran, Allah senantiasa memeliharanya dari kekeliruan dalam penyampaian penjelasannya. Surat al-Maidah ayat 67 :
“Dan Allah memeliharamu dari gangguan manusia.”
Sebagai pemberi penjelasan, Nabi Muhammad ma`shum (terpelihara dalam menyampaikan risalah) Karena itu, Nabi saw. adalah teladan yang baik bagi orang Mukmin. Hal ini dijelaskan dalam surat al-Ahzab ayat 21:
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yangb baik.”
Diri Rasul saw. berarti sesuatu yang di luar Alquran, tetapi praktik dari ajaran Alquran. Salatnya, puasanya, hajinya, dan segala tindakannya harus ditiru. Karena teladan yang harus dicontoh, maka penjelasannya dan kelakuannya tidak boleh ditolak. Surat an-Nisa’ ayat 115 :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya.”

Surat an-Najm adalah dalil bahwa apa saja yang lahir dari Nabi Muhammad adalah wahyu Allah. Alquran disebut wahyu matlu, yang dibacakan Jibril kepada Nabi, sedang Sunnah wahyu gairu matlu, yaitu wahyu yang tidak dibacakan oleh Malaikat Jibril, tetapi langsung diilhamkan Allah ke hati Nabi. Alquran lafaz dan maknanya dari Allah, tanpa intervensi Jibril dan Nabi Muhammad saw., sedang Sunnah maknanya dari Allah, lafaznya dari Nabi sendiri.
Allah mengecam jika Nabi menga-adakan sebagian perkataan atas nama Allah adalah jaminan Allah bahwa Nabi itu jujur, tidak dusta sebagaimana yang dituduhkan orang kafir kepadanya. Ini tidak bertentangan dengan fungsi Nabi sebagai pemberi penjelasan terhadap ayat-ayat Alquran yang bersifat umum itu.
Alquran tidak diragukan sebagai kebenaran (al-Haqq). Tetapi Alquran itu sendiri sampai kepada manusia melalui Nabi saw. Kepercayaan terhadap Alquran sebagai kebenaran tergantung kepada kepercayaan terhadap Nabi saw. Ketidakpercayaan kepada Nabi saw. berakibat tidak percaya kepada Alquran.
Jika kepercayaan Pengikut Sunnah kepada Sunnah Nabi saw. hanyalah persangkaan maka penafsiran Pengingkar Sunnah terhadap ayat-ayat Alquran juga persangkaan yang lebih lemah. Sebab, Pengingkar Sunnah menafsirkan ayat semata-mata berdasarkan pikirannya sendiri-sendiri dan masing-masing. Sedang Penganut Sunnah menafsirkan Alquran berdasarkan keterangan penerima Alquran itu sendiri, yaitu Nabi saw. Nabi saw. lah orang yang paling berkompeten menjelaskan Alquran karena dialah orang pertama menerimanya dan memang ditugaskan menjelaskannya. Kalau ada muballig Alquran selain dia, itu hanyalah penyambung apa yang sudah dikerjakan Nabi saw. Muballig pertama adalah Nabi saw. Model muballig yang benar adalah model Nabi saw. Jika ada muballig yang lain dari model Nabi saw. berarti muballig yang menyimpang. Setiap penjelas terhadap Alquran harus mengikuti penjelasan penjelas pertama, yaitu Nabi saw.

Alasan akal yang dikemukakan Ingkar Sunnah juga tidak kuat.
1. Pendapat Inkar Sunnah tentang Alquran sudah jelas dan tidak memerlukan penjelasan lain tidak bisa dipahami, baik secara nakli maupun akli. Sebagai dikemukakan sebelumnya banyak sekali ayat Alquran yang menjelaskan bahwa Nabi saw. bertrugas memberi penjelasan (bayan) kepada Alquran. Secara akli juga argumen mereka membingungkan. Kenyataan menunjukkan bahwa penjelasan yang agak detail dalam Alquran sangat sedikit. Mengenai perempuan-perempuan yang haram dinikahi, pembagian harta warisan, dan pencatatan hutang mengutang diterangkan dalam Alquran agak detail. Itu pun tidak lengkap. Hal-hal lain tidak demikian. Mengenai pelaksanaan salat, puasa, zakat, haji, nikah, penyelenggaraan jenazah, dan muamalah disebutkan dalam Alquran sangat umum. Dari perintah-perintah Alquran dapat dipahami bahwa salat, puasa, zakat, dan haji adalah wajib atas setiap Muslim. Akan tetapi, berapa kali salat sehari semalam, berapa rakaat masing-masing waktu, bagaimana cara melaksanakannya, apa yang mesti dilakukan dalam salat dan apa yang tidak boleh dilakukan tidak dijelaskan secara terpe-rinci dalam Alquran. Karena itu perlu penjelasan tentang operasionalnya. Orang yang paling berkompeten menjelaskannya sebelum siapa pun, termasuk ulama adalah orang yang langsung menerima perintah-perintah tersebut, yaitu Nabi saw. Tanpa petunjuk operasional dari Nabio saw., maka cara pelaksanaan salat maka kemungkinan cara pelaksanannya ada dua kemungkinan, yaitu berdasarkan hasil musyawarah atau berdasarkan ijtihad masing-masing.
Kelompok Inkar Sunnah Jakarta mendasarkan pelaksaan salat mereka kepada hasil musyawarah, yaitu lima kali sehari semalam dengan ketentuan masing-masing dua rakaat tanpa azan dan iqamah. Tetapi di antara mereka juga ada yang menetapkannya tiga kali saja sehari semalam. Menurut kelompok ini, salat lima kali itu buatan manusia. Mereka ini mendasarkan pendapatnya kepada surat al-Isra’ ayat 78 : “Dirikanlah salat dari sesudah tergelincir matahari sampai gelap malam dan fajar. Sesungguhnya salat fajar itu disaksikan .“ Menurut yang mereka pahami dari ayat ini, salat itu tiga kali sehari semalam, yaitu sesudah matahari tergelincir, ketika malam sudah gelap, dan waktu fajar.[3] Bagi kelompok ini, tidak ada salat lain dalam Islam. Salat menurut Alquran hanya tiga waktu dan tiga macam ini saja. Perintah Alquran untuk salat pada hari Jumat tidak lain daripada salat sesudah tergelincir matahari.
Penafsiran ini sangat lemah. Perintah untuk salat hari Jumat itu istimewa. Perintah itu disertai perintah segera dan meninggalkan perniagaan. Sesudah melaksanakannya dianjurkan keluar dari salat dan kembali melakukan kegiatan mencari karunia Allah. Ini menunjukkan bahwa salat Jumat itu dikerjakan dalam suatu iven tertentu, lain dari pelaksanaan salat regular. Dalam surat al-Isra’ ayat 79 ada lagi perintah salat tahajjud. Seharusnya, Inkar Sunnah juga mewajibkan salat tahajjud. Sebab, ayat ini persis jatuh sesudah perintah salat yang tiga kali versi mereka. Lebih mengikat mereka lagi paham mereka yang tidak membedakan antara status wajib dan sunnat. Dalam surat al-Muzzammil ayat 2-4 ada lagi perintah lain : “Bangunlah (untuk salat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya). Seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. Atau lebihkan dari seperdua itu. Dan bacalah Alquran itu dengan perlahan-lahan.” Dalam surat Hud ayat 114, “Dan dirikanlah salat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan dari malam.” Dalam surat al-Baqarah ayat 238, “Pelihara kamulah segala salat dan salat wustha (pertengahan).” Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa masih ada macam salat yang lain dari tiga macam yang mereka sebutkan. Tidak mudah untuk mengkompromikan berbagai sebutan salat yang berbeda-beda itu. Ada sebutan salat tahajjud, salat lail, salat Jumat, salat dua tepi malam, salat wustha. Namun, mereka hanya mengambil satu ayat dan menelantarkan ayat-ayat lain. Ini adalah akibat mereka tidak mengakui penjelasan Nabi saw. Mereka terpaksa membuat penafsiran sendiri. Jika mereka mengumpulkan ayat-ayat tentang salat, mereka akan bingung sendiri. Karena memaksakan penafsiran sendiri, maka mereka terpaksa mengabaikan sebagian ayat Alquran. Akhirnya mereka bukan hanya Inkar Sunnah, tetapi juga “inkar sebagian Alquran.”
Dalam membela paham Inkar Sunnah ini, Kassim Ahmad membuat keterangan yang lebih mengacaukan lagi. Menurut dia, ibadah-ibadah agama, salat, puasa, zakat, haji telah diajarkan Tuhan kepada Nabi Ibrahim dan pengikut-pengikutnya dan diturunkan dari mereka kepada generasi demi generasi sampai kepada Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya. Menurutnya, orang Arab juga telah melakukan salat sebelum Muhammad. Hal ini didasarkannya kepada ayat Alquran, “Salat mereka di rumah suci tidak lain daripada penipuan dan kesesatan.”[4] Keterangan Kassim Ahmad ini berarti bahwa salat yang diwajibkan kepada kaum Muslim sama persis dengan salat yang diwajibkan kepada Nabi Ibrahim dan juga orang Arab sebelum kebangkitan Nabi Muhammad saw. Sementara Kristen Ortodok Siria sendiri menklaim salatnya tujuh kali sehari semalam. Mereka juga ada rukuk dan sujudnya walaupun bentuknya sedikit berbeda dengan yang diwariskan Nabi saw. Misalnya, ketika rukuk, mereka meletakkan telapak tangannya di kening. Sekiranya Kassim Ahmad benar dalam klaimnya bahwa salat sudah ada sebelum Islam, cara yang mana yang benar. Setidaknya sekarang sudah ada tiga cara salat. Salat versi Nabi, versi Inkar Sunnah, dan versi Kristen Ortodok Siria. Di kalangan Inkar Sunnah juga ada versi lima kali dan ada versi tiga kali saja. Bahkan, salat versi Kassim Ahmad bebas. Untuk memilih satu atau yang lain dari versi-versi yang berbeda ini apa landasannya. Keterangan Alquran sifatnya umum, tidak mendetail. Bagi kaum Muslim landasannya jelas keterangan Ha-dis Nabi saw. Bagi Inkar Sunnah tentunya pikiran dan hasil musyawarah sebagaimana yang dilakukan kelompok Inkar Sunnah di Jakarta. Ketentuan salat seperti ini adalah filsafat, bukan agama. Yang dinamakan ibadah itu adalah perbuatan yang ditentukan Allah.
Untuk merespon hal ini Kassim Ahmad membuat keterangan tambahan. Setelah menerangkan dengan yakin bahwa salat itu berpunca dari amalan Nabi Ibrahim yang diwariskan kepada generasi-genarasi sesudahnya, Kassim Ahmad mengatakan bahwa namun demikian Alquran juga menyatakan beberapa perincian kaedah salat. Umpamanya, semuanya lima waktu (11: 114, 17: 78, 24: 58, 2: 238, 30: 17-18 dan 20 130); perbuatan rukuk dan sujud (22:77); meringkasakan sembahyang dalam perjalanan (4: 101); bentuk yang boleh disesuaikan dalam keadaan perang dan keadaan luar biasa (4: 103; berpakaian elok (7: 31); cara bacaan yang sederhana (17: 110); jangan menyerukan selain Allah dalam sembahyang (72: 18) dan cara-cara wuduk (5: 6) dan 4: 43). Jadi--katanya—walaupun perincian gerak-gerik tidak diberikan dalam Alquran, banyak perincian kaedah ada diberikan.[5]
Penjelasan ini masih sangat umum. Keterangan ini belum dapat menjawab pertanyaan cara yang mana yang benar dari berbagai versi salat tersebut di atas.Karena itu, Kassim Ahmad harus memutar logika lagi pada penjelasannya selanjutnya. Keterannya berikut ini merupakan ketarangan puncak dan final tentang cara salat di kalangan Inkar Sunnah. Bahkan, dapat dikatakan bahwa inilah kesimpulan dari seluruh pemahaman ibadah dan agama menurut Inkar Sunnah. Karena itu, analisis terhadap masalah salat versi Inkar Sunnah ini dikemukakan agak panjang agar dapat dijadikan tolok ukur kerangka berpikir Inkar Sunnah secara keseluruhan.
Menurut Kassim Ahmad, Alquran mengajarkan agar jangan mempertikaikan bentuk dan kaedah salat. Bentuk dan kaedah salat tidak begitu penting jika dibandingka tujuan. Apa yang penting ialah kebaikan dan kejujuran dalam melakukan kebaikan. Pendapatnya ini didasarkannya kepada surat al-Baqarah ayat 177, “Kebaikan bukanlah berpaling ke timur atau ke barat. Kebaikan ialah beriman kepada Tuhan, hari kiamat, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi,dan mendermakan uang yang kita sayangi kepada kaum keluarga, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang asing, pengemis-pengemis, dan membebaskan hama-abdi, dan melaksanakan salat dan zakat, dan menunaikan janji-janji yang dibuat, dan tetap teguh menghadapi bencana, kesusahan dan peperangan. Inilah mereka yang benar, inilah mereka yang baik.” Kemudian ia juga mengemukakan surat al-Ma`un.[6]
Ayat-ayat yang dikemukakan ini sangat umum. Ayat-ayat ini sama sekali tidak menje-laskan bahwa cara dan bentuk salat tidak perlu. Memang kelompok Inkar Sunnah selalu berpegang kepada ayat-ayat yang bersifat umum dan mengeksploitasi maknanya kepada hal-hal yang bersifat detail. Dalam surat al-Baqarah yang dikemukakannya sendiri disebutkan bahwa melaksanakan salat dan zakat. Jika dihubungkan dengan pangkal ayat, maka salat tidak perlu menghadap Kiblat. Padahal, dalam surat al-Baqarah ayat 144 ditegaskan agar dalam salat menghadap Kiblat, “Maka palingkanlah wajahmu kea rah Masjidilharam.” Apakah menghadap Kiblat bukan salah satu kaedah salat. Kalau itu tidak penting berarti ayat ini tidak penting.
Menurut Kassim Ahmad, ada hikmahnya yang besar mengapa Tuhan tidak memperincikan bentuk dan kaedah salat dalam Alquran. Pertama karena bentuk dan kaedahnya sudah diajarkan kepada Nabi Ibrahim. Kedua, karena bentuk dan kaedah tidak begitu penting dan Tuhan ingin memberikan kelonggaran kepada umat Muhammad supaya mereka boleh melakukan salat dalam keadaan apa pun. Satu peringatan yangv amat baik kepada umat Islam supaya kembali dan berpegang kepada Alquran dan jangan mempertikai bentuk dan kaedah.[7] Sebenarnya, sunnah Nabi ialah Alquran. Beliu berpegang teguh kepada Alquran dan mengikuti perintah-perintah Tuhan.[8] Ini sejalan dengan dua artikel seorang tokoh Inkar Sunnah dari Mesir, Taufik Sidqi yang berjudul, al-Islam huwa al-Qur’an wahdah (Islam adalah Alquran saja) dan dibuat dalam majalah al-Manar, nomor terbitan ke-7 dan ke-12 di Mesir. Dalam kedua tulisan ini, Taufik Sidqi menjelaskan bahwa Alquran saja yang menjadi sumber ajaran Islam, tidak masuk Hadis.[9]
Uraian di atas menunjukkan bahwa bentuk dan cara salat menurut Inkar Sunnah tidak penting dan tidak ada. Karena itu, di kalangan Inkar Sunnah sendiri tidak ada kesepakatan ten-tang cara salat. Tidak ada bacan tertentu dalam salat. Salat boleh dengan bahasa Indonesia. Sebagian mereka mengakhiri salat dengan hamdalah, bukan salam.[10] Karena tidak cara tertentu, maka cara salat Kristen Ortodok Siria yang tujuh kali sehari semalam dengan meletakkan telapak tangan ke dahi ketika rukuk tentunya sah-sah saja dilakukan kelompok Inkar Sunnah. Apalagi, secara historis Agama Kristen lebih dahulu lahir daripada Islam. Jangan-jangan, cara salat Kristen ini lebih orisinal dari cara salat kelompok Inkar Sunnah. Sebab, dengan pendekatan sejarah, semakin dekat kepada sumber asal yang dalam hal ini sumber salat pertama Nabi Ibrahim adalah semakin besar kemungkinan autentisitasnya. Logika ini berlaku untuk cara zakat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lainnya. Artinya tidak ada ketentuan khusus tentang pelaksanaannya menurut kelompok Inkar Sunnah.
Adapun menurut pandangan pengikut Sunnah Nabi saw., memang sebagian syariat yang dibawa Nabi Muhammad saw. sebagiannya berasal dari nabi-nabi sebelumnya, terutama Nabi Ibrahim, termasuk haji dan khitan. Akan tetapi, pelakasanaanya tidak semuanya sama. Misalnya, sepanjang informasi yang ada, Nabi Ibrahim berkhitan ketika umur delapan puluh tahun. Dalam Islam tidak demikian. Nabi Ibrahim menyembelih putranya. Kebetulan saja Allah menggantinya dengan seekor kibas. Dalam Islam tidak demikian. Kemudian, kalau Nabi umat Islam itu Muhammad saw., tetapi umatnya tidak boleh mengikuti keterangan dan amalnya, melainkan harus Alquran saja. Mengapa kita mengikuti sunnah Nabi Ibrahim, tidak Kitab Suci yang diturunkan kepadanya, yaitu Shuhuf. Logika Inkar Sunnah tidak adil. Seharusnya yang diikuti adalah Shuhuf Ibrahim, bukan perbuatan Ibrahim. Jika kelompok Inkar Sunnah ingin mengikuti Shuhuf Ibrahim as., mereka harus mencarinya dan mencari yang aslinya. Sekarang, Nabi kita adalah Muhammad saw. Amal dan penjelasannya termuat dalam kitab-kitab Hadis. Seleksi terhadap yang sahih dan yang daif secara ilmiah telah dilakukan para ulama yang berkompeten. Siapa saja boleh melakukan penelitian terhadap hadis yang sahih. Hadis sahih dapat diamalkan dan hadis yang lemah tidak boleh diamalkan. Mengapa kelompok Inkar Sunnah tidak berpikir ilmiah. Justru percaya kepada sunnah Ibrahim yang sama sekali tidak jelas sumbernya.

1. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua orang Arab bisa memahami Alquran dengan baik. Setiap ilmu mempunyai terminologi sendiri. Untuk memahami Alquran juga membutuhkan kompetensi khusus. Setiap ilmu mempunyai terminology tersendiri. Bukan setiap ahli bahasa Arab yang bukan ahli filsafat mampu memahami filsafat yang ditulis dalam bahasa Arab. Begitulah ilmu-ilmu itu seterusnya. Seorang ahli akan memahami ilmu yang dibidanginya. Demikian juga ahli tafsir. Seorang mufasir harus menguasai bahasa Arab, menguasai nahu, saraf, dan balaghah, menguasai hadis-hadis dan ilmu hadis yang berkaitan dengan ayat yang ditafsirkan, mengetahui sebab turun ayat, mengetahui konteksnya dengan ayat sebelum dan sesudahnya, mengetahui usul fikih dan kaedah-kaedah umum agama.Tanpa pengetahuan yang memadai tentang ilmu-ilmu tersebut ini, seseorang akan menafsirkan Alquran dengan kacau, seperti orang yang berlayar tanpa arah. Dirinya akan sesat dan orang yang ikut dalam perahunya ikut sesat bersamanya. Demikian juga halnya dengan orang yang berusaha memahami Hadis Nabi saw. tanpa penguasaan ilmu-ilmu tersebut akan memahamkannya sesuka hatinya. Karena Pengingkar Sunnah memahamankan Alquran tanpa Hadis dan tanpa alat-alat yang dibutuhkan, maka timbullah kekacauan. Cara salat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lainnya diserahkan kepada masing-masing. Bagaimana bisa melaksanakan salat berjemaah kalau caranya dan bahasanya menurut masing-masing. Padahal, Alquran sendiri memerintahkan agar salat berjamaah. Warka`u ma`ar raki`in (Rukuklah kamu bersama orang-orang yang rukuk).
1. Jika Sunnah yang menjelaskan ayat-ayat yang umum dikatakan penyebab perpecahan, maka tafsir tanpa Sunnah tentunya lebih membuat kekacauan. Selagi ada Sunnah masih juga muncul beberapa mazhab di kalangan umat Islam sekalipun perbedaannya tidak dalam hal yang prinsipil. Tanpa Sunnah tentunya setiap orang memiliki mazhab sendiri. Sekian juta umat Islam maka cara salat, puasa, dan hajinya akan menjadi sekian juta pula. Apakah ini bukan kekacauan?
2. Pengkaji Hadis mengetahui bahwa para sahabat belajar Hadis dari Nabi dan meriwayatkannya kepada generasi sesudah mereka. Para sahabat pun mencatat Hadis untuk hafalan mereka. Catatan mereka disebut shahifah. Ada yang berisi seribu hadis. Shahifah-shahifah itu berjumlah empat puluh buah. Mereka mengahafal dan begitulah dari generasi ke generasi. Apa yang dikatakan orientalis bahwa Hadis muncul pada pertengahan abad kedua Hijrah tidak benar. Sebab, objek penelitian mereka tidak metodologis. Mereka mengambil sampel dari kitab-kitab yang bukan sumber asli Hadis. J. Schacht misalnya sengaja mengambil sampel kitab Muwaththa’ Malik agar ia menemukan banyak sanad yang tidak lengkap. Atas dasar sampel yang salah itu ia menggeneralisir bahwa semua Hadis tidak benar datang dari Nabi karena tidak lengkap sanadnya. Seharusnya ia mengambil kitab hadis yang asli, seperti Musnad Ahmad dan Shahih al-Bukhari yang tentunya ia akan mendapatkan sanad-sanad yang lengkap dan bersambung.
3. Tuduhan sahabat dan tabiin berbohong sangat naïf. Keadilan sahabat dan para periwayat hadis yang makbul itu dibuktikan dalam berbagai kitab biografi periwayat Hadis. Sahabat itu jumlahnya banyak. Menurut Abu Zur`ah, jumlah sahabat ketika Nabi wafat 114.000 orang. Namun, sahabat yang terlibat dalam periwayatan Hadis yang sampai kepada kita dan perlu dibahas sepanjang kajian sanad sangat sedikit dibandingkan jumlah itu. Berdasarkan keterangan Muhammad `Ajjaj al-Khathib, sahabat yang meriwayatkan seribu hadis ke atas hanya tujuh orang, yang meriwayatkan dua ratus hadis ke atas sebelas orang, yang meriwayatkan seratus hadis ke atas dua puluh satu orang, yang meriwayatkan puluhan hadis kurang dari dari seratus orang, yang meriwayatkan sepuluh hadis ke bawah seratusan orang , yang meriwayatkan satu hadis saja lebih kurang tiga ratus orang. Jumlah seluruhnya 539 orang sahabat.[11] Diasumsikan saja lebih daripada itu. Misalnya tujuh ratus orang. Apakah tidak logis bila jumlah yang demikian dari total 114.000 orang sebagai sahabat yang saleh dan terpercaya dalam meriwayatkan Hadis. Sekiranya kaedah yang berbunyi, “Sahabat seluruhnya adil” diberlakukan kepada mereka ini, tentunya sangat logis. Seleksi terhadap Hadis juga terus dilakukan, baik melalui sanad maupun melalui matan. Makanya ada hadis yang mutawatir[12], sahih[13] , hasan[14] , dha`If[15] , bathil[16] , dan maudhu`[17]. Sebagai ilmu yang berdiri sendiri tentang kritik sanad dan kritik matan, memang berkembang secara bertahap. Halnya sama dengan ilmu yang lain. Tetapi, kinerja seleksi Hadis sudah dilakukan sejak zaman sahabat. Karena itu, dalam sejarah, mereka mempertanyakan sanad hadis yang dikemukakan kepada mereka, mereka menerima hadis tertentu dan menolak hadis yang lain. Ini berarti, mereka memiliki ilmu tentang kriteria hadis yang dapat dijadikan hujah.
5. Sehubungan dengan itu, pada tanggal 27 Juni 1994, MUI Pusat telah memfatwakan bahwa aliran yang tidak mempercayai Sunnah adalah sesat dan berada di luar Agama Islam serta meminta kepada pemerintah agar mengambil langkah tegas melarangnya.[18] Pada tahun 2006 di Kecamatan Lubuk Pakam, Deli Serdang telah muncul suatu kelompok yang menamakan dirinya sebagai Soul Training dan menklaim telah melakukan penelitian yang hasilnya menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad saw. tidak pernah mewariskan apa pun pada umatnya kecuali hanya Kitab Suci yang Agung Al-Quran al-Karim dan bahwa sesungguhynya salat tarawih/salat qiyam Ramadan benar-benar bukan salah satu tuntunan Islam. Kelompok ini juga berpendapat bahwa umat Islam telah ditipu, disesatkan, dan dipecah-belah oleh Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii, dan Imam Hambali. Penjelasan lebih detail dapat dibaca pada laporan mereka yang dikeluarkan di Pagar Mer-bau, 6 Juni 2006. Paham ini berarti penolakan terhadap Hadis Nabi saw. Mengenai paham ini, Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Deli Serdang telah mengeluarkan fatwa pada tanggal 24 Juni 2006. Isinya adalah bahwa Soul Training, aliran sesat dan menyesatkan. Aliran Soul Training tidak dibenarkan untuk dikembangkan sebab meresahkan dan merusak akidah Islam. Mengakui, mengikuti dan mengembangkan aliran Soul Training hukumnya haram.

Medan, 17 Juli 2007
DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA
[1]Kassim Ahmad, Hadis Satu Penilaian Semula, Media Intelek SDN BHD, Petaling Jaya, Malaysia, 1986, hlm. 12.
[2]Ibid., hlm. 13.
[3]Abduh Zulfidar Akaha, Debat Terbuka Ahlu Sunnah versus Inkar Sunnah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2006, hlm. 58.
[4]Kassim Ahmad, op. cit., hlm. 44.
[5]Ibid., hlm. 46.
[6]Ibid.
[7]Ibid., hlm. 47.
[8]Ibid., hlm. 50.
[9] Muhammad Thahir Hakim, As-Sunnah fi Muwajahah al-Abathil, al-Amanah al-`Ammah li Rabithah al-`Alam al-Islami, Makkah, 1402 H, hlm. 45.
[10]Abduh Zulfidar Akaha, op. cit., hlm. 58-59.
[11]Muhammad `Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, Dar al-Fikr, Beirut, 1409 H/1989 M, hlm. 401-404
[12]Mutawatir berarti periwayatan hadis oleh sejumlah orang dari sejumlah orang sampai kepada generasi sahabat yang jumlah masing-masing generasi periwayat banyak asehingga tidak mungkin mereka sepakat berdusta untuk menciptakan hadis itu dan membangsakannya kepada Rasul saw. Periwayatan seperti ini menghasilkan keyakinan atas riwayat itu.
[13]Sahih berarti periwayatan yang memenuhi syarat-syarat sahih, yaitu rangkaian periwayat dari satu periwayat kepada periwayat di atasnya bersambung, tidak terputus, periwayat adil, dhabith, tidak terdapat padanya keganjilan dan cacat tersembunyi. Periwayatan seperti ini menghasilkan kepercayaan bahwa hadis itu benar berasal dari Nabi saw. Hadis sahih memiliki kekuatan hujah.
[14]Hasan berarti periwayatan yang memenuhi syarat-syarat sahih, kecuali dhbithnya kurang sempurna. Periwayatan seperti ini juga memiliki kekuatan hujah di bawah kehujahan sahih.
[15]Dha`if berarti periwayatan yang tidak memenuhi syarat-syarat hasan. Karena itu, periwayatn seperti ini tidak dapat dijadikan hujah dan tidak boleh meriwayatkannya tanpa menerangkan statusnya.
[16]Bathil berarti pembangsaan sebuah pernyataan kepada Nabi saw. secara tidak sengaja. Periwayatan seperti ini hakikatnya sama dengan hadis palsu, tidak boleh dijadikan hujah. Bedanya, periwayat tidak sengaja menciptakan dan membangsakannya kepada Nabi saw.
[17]Maudhu` berarti periwayatan hadis secara palsu, yaitu penciptaan suatu pernyataan dan pembangsaannya kepada Nabi saw. sengaja bohong. Hadis palsu tidak boleh dijadikan hujah dan periwayatannya haram kecuali untuk pemeberitahuan kepada pembaca atau pendengarnya.
[18]Depag RI, Himpunan Fatwa Majelis Uama Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 105-109.