Dr. H. Ramli Abdul Wahid, MA
Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Tk. I MUI-SU
A. Riba Haram
Dalam kamus al-Mu`jam al-Wasith, jilid I karya Dr. Ibrahim Anis dkk. dijelaskan bahwa riba secara etimologis berarti kelebihan dan tambahan (al-fadhl wa az-ziyadah), sedang menurut syarak adalah kelebihan (tambahan) tanpa imbalan yang disyaratkan kepada salah satu dari dua orang yang melakukan akad. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam jilid V, karya Drs. H. A. Hafizh Dasuki, MA, dkk dijelaskan bahwa para ulama fikih mendefinisikan riba sebagai “Kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan/gantinya.” Maksudnya, tambahan terhadap modal uang yang timbul sebagai akibat suatu transaksi utang piutang yang harus diberikan terutama kepada pemilik uang pada saat utang jatuh tempo.
Memang dalam berbagai kitab fikih ditemukan definisi tentang riba yang sedikit banyaknya berbeda antara satu dengan lainnya oleh para ulama. Namun, setelah mengemukakan beberapa definisi tersebut, Muhammad Baiba dalam kitabnya, al-Adillah al-Wafiyah fi Idhah al-Mu`amalat ar-Ribawiyah, halaman 21 menyimpulkan bahwa pada hakikatnya pengertian riba di kalangan ulama dari berbagai mazhab sama. Mereka berbeda pada redaksi saja. Muhammad Baiba menjelaskan pula bahwa umat telah ijmak (sepakat) atas haramnya riba. Tidak ada yang berpendapatr lain tentang hukum riba. Imam an-Nawawi juga dalam kitabnya, Syarh al-Muhazzab, jilid IX halaman 391 menjelaskan ijmak kaum Muslim tentang haramnya riba. Muhammad Baiba juga menegaskan bahwa banyak sekali ulama yang menerangkan tentang ijmak atas haramnya riba. Dari ulama kontemporer, Dr. Yusuf al-Qardhawi dalam kitabnya, Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram, halaman 14 menegaskan bahwa Islam sangat mengharamkan riba melalui nash-nash yang jelas dengan kandungan makna yang pasti (qath`i).
Adapun dalil haramnya riba dari Alquran antara lain adalah surat al-Baqarah ayat 275, “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”; surat Ali Imran ayat 130, “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” Dalam surat al-Baqarah ayat 278 ditegaskan agar meninggalkan sisa riba, “ Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak menunaikannya (perintah tinggalkan ini) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.”
Sementara itu, Nabi saw. dengan berbagai ungkapan banyak sekali mengeluarkan larangan praktik riba. Antara lain adalah hadis riwayat Muslim, Abdullah berkata : Rasul saw. melaknat orang yang memakan riba dan yang memberikan riba.” Dalam riwayat Muslim juga diterangkan oleh Jabir bin Abdullah ra. : Rasul saw, melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberinya, orang yang menulisnya, dan dua orang yang menjadi saksinya.” Dengan ungkapan lain al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasul saw. bersabda : “Hindari kamulah tujuh hal yang membinasakan. Mereka (para sahabat) bertanya, “ Apa itu ya Rasul? Rasul saw, menerangkan: Syirik kepada Allah, sihir, membunuh orang yang diharamkan Allah tanpa hak, dan memakan riba. Demikianlah seterusnya banyak sekali hadis tentang larangan melakukan riba dan haramnya hasil riba.
B. Bunga Bank Sama Dengan Riba
Selanjutnya timbul pertanyaan, apakah bunga bank sebagaimana yang dipahami secara konvensional dewasa ini sama dengan riba. Sistem bank konvensional tidak ada di masa Rasul, bahkan tidak ditemukan di zaman klasik dan pertengahan, Menurut sementara informasi, bank konvensional pertama sekali didirikan pada tahun 1157 M di Itali. Kemudian, sistem ini berkembang pada seperempat terakhir dari abad XVI dan mulai masuk ke negeri-negeri Islam pada akhir abad XIX. Oleh karena tidak tidak ditemukan di zaman Rasul, maka tidak ditemukan pula nash yang jelas tentang hukum bunga bank konvensional. Bahkan, dalam literatur klasik dan zaman pertengahan pun tidak ditemukan.
Sebagai pedoman hidup sepanjang zaman, Islam harus mempunyai sikap terhadap bunga bank. Suatu hal perlu diingat, bahwa dalil hukum dalam Islam itu tidak hanya Alquran dan Hadis. Selain itu ada ijmak, qiyas (analogi), mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, uruf, syar`u man qablana, dan pendapat sahabat Nabi, Lebih daripada itu, dalam menetapkan hukum, Islam memiliki sejumlah kaedah yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang timbul dalam masya-rakat. Dalam menerapkan dalil dan kaedah ini para ulama menggunakan ijtihad mereka yang kadang-kadang berakhir dengan perebedaan pendapat. Karena itu, mengenai hukum bunga bank juga terjadi perbedaan pendapat. Meskipun sejak lama sudah banyak ulama yang meng-haramkannya, namun masih ada yang memandangnya tidak sama dengan riba. Misalnya, Muhammad Baiba, Yusuf al-Qardhawi, Abu al-A`la al-Maududi, H.Nukman Sulaiman, H. Hamdan Abbas, dan sejumlah ulama telah lama memandang bung bank sama dengan riba. Akan tetapi, Rasyid Rida, A. Hassan, dan M. Qjuraish Shihab memandang keduanya berbeda sehingga hukumnya pun berbeda. Bahkan, di MUI Tk.I SU sendiri masalah hukum bunga bank dibicarakan pada tahun 1985 dan 2003 dan hasilnya masih tidak sepakat atas keharamannya. Akan tetapi, dengan keluarnya fatwa MUI Pusat tentang keharaman bunga bank tahun 2003, maka seluruh MUI tingkat daerah tunduk kepada fatwa MUI Pusat tersebut, termasuk MUI Tk.I SU.
C. Fatwa dan Konsensus Tentang Bunga Bank
Selain dari pendapat-pendapat para ulama secara pribadi mengenai haramnya bunga bank, telah terbentuk beberapa fatwa dan konsensus tentang haramnya bunga bank, baik dalam negeri maupun di luar negeri. Misalnya, Lembaga Pengkajian Islam Al-Azhar (Majma` al-Buhuts al-Islamiyah Al-Azhar) Mesir sejak lama telah mencapai konsensus tentang haramnya bunga bank. Pada tahun 1965 lebih dari 350 ulama dan pakar hukum Islam dari seluruh dunia melakukan pengkajian di Universitas al-Azhar. Ternyata mereka juga sampai kepada kesimpulan bahwa bunga bank termasuk riba yang diharamkan dalam Islam. Pada tahun 1985, Fiqh Academy negara-negara OKI juga menyim-pulkan keharaman bunga bank. Pada tahun 1979 Dar al-Ifta Arab Saudi; pada tahun 1986 Fiqh Academy Muslim World; dan pada tahun 1999 Mahkamah Syari`ah Pakistan semuanya berkesimpulan tentang haramnya bunga bank. Delapan belas fatwa dari keputusan-keputusan para mufti Mesir sejak tahun 1907 sampai 2002 hampir seluruhynya mengharamkan bunga bank.
Secara organisasi, pada tahun 1991 Persis telah menetapkan bahwa bunga bank adalah haram. Pada Muktamar di Bandar Lampung tahun 1992, Nahdhatul Ulama meminta PB NU untuk mengupayakan memiliki bank yang tidak mengandung unsur yang haram. Pada tahun 1998, Muhammadiyah telah menetapkan bahwa hukum bunga bank syubhat yang harus dihindari. Pada tahun 2001, Al-Washliyah menetapkan bunga bank termasuk riba dan hukumnya haram.Terakhir, pada tahun 2003 secara nasional MUI Pusat mengeluarkan fatwa tentang keharaman bunga bank.
D. Keabsahan Fatwa MUI Pusat
Badan yang membidangi hukum dalam MUI adalah Komisi Fatwa. Komisi Fatwa ini terdiri dari para ulama dan pakar hukum Islam. Fatwa MUI tentang haramnya bunga bank disepakati oleh ketua-ketua atau yang mewakili ketua komisi fatwa dari seluruh wilayah dan wakil-wakil dari ormas-ormas Islam, seperti NU, Muhammadiyah, dan Al-Washliyah. Oleh karena itu, para peserta ijtima` yang memutuskan fatwa tersebut adalah orang-orang yang berkompeten dari sudut akademis dan memiliki kewenangan legal di bidangnya secara organisatoris maka ijtihad mereka dalam bentuk fatwa hukum adalah sah. Bahkan, sebelum fatwa dalam skala nasional ini keluar, fatwa dalam sekala internasional pun sudah berulang kali dikeluarkan dalam berbagai kesempatan sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Karena itu, keberatan dari sementara orang tentang fatwa ini tidak perlu menimbulkan keraguan. Apalagi, keberatan itu memang munculnya dari orang-orang yang cara berpikirnya dikenal sekuler, tentunya tidak perlu dipertimbangkan.
Kemudian, dalam kenyataan pun telah jelas bagaimana rapuhnya sistem bunga. Perjalanan perbankan konvensional di Indonesia cukup melelahkan. Kita tidak tahu sampai kapan program penyehatan perbankan yang menerapkan sistem bunga berlangsung. Meskipun telah banyak yang dilikuidasi, namun yang masih hidup terus menjadi beban nasional. Sebaliknya, bank-bank syariah sejauh ini belum ada yang memberati negara dan cenderung berkembang.
Secara historis, sistem bagi hasil berawal di Pakistan dan Malaysia pada tahun 1940-an dalam hal pengelolaan haji. Dalam bentuk embrio perbankan syariah mulai di Mesir pada dekade 1960-an yang berbentuk semacam lembaga keuangan unit desa. Pada tahun 1975 berdirilah Islamic Development Bank (IDB) yang sekarang banyak membantu lembaga-lembaga Islam di dunia, termasuk bidang pendidikan dan pertanian. Lembaga perbankan syariah terus berkembang sehingga pada akhir 1999 tercatat 200 buah di seluruh dunia, termasuk di Eropa, Amerika, dan Australia. Pada tahun 1992, sistem perbankan syariah mulai diterapkan di Indonesia berdasarkan UU No. 7 tahun 1992. Sekarang, bank-bank konvensional sendiri sudah banyak membuka divisi syariah di mana-mana. Ini merupakan bagian dari bukti kemaslahatan yang terkandung dalam sistem perbankan syariah.
Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Tk. I MUI-SU
A. Riba Haram
Dalam kamus al-Mu`jam al-Wasith, jilid I karya Dr. Ibrahim Anis dkk. dijelaskan bahwa riba secara etimologis berarti kelebihan dan tambahan (al-fadhl wa az-ziyadah), sedang menurut syarak adalah kelebihan (tambahan) tanpa imbalan yang disyaratkan kepada salah satu dari dua orang yang melakukan akad. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam jilid V, karya Drs. H. A. Hafizh Dasuki, MA, dkk dijelaskan bahwa para ulama fikih mendefinisikan riba sebagai “Kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan/gantinya.” Maksudnya, tambahan terhadap modal uang yang timbul sebagai akibat suatu transaksi utang piutang yang harus diberikan terutama kepada pemilik uang pada saat utang jatuh tempo.
Memang dalam berbagai kitab fikih ditemukan definisi tentang riba yang sedikit banyaknya berbeda antara satu dengan lainnya oleh para ulama. Namun, setelah mengemukakan beberapa definisi tersebut, Muhammad Baiba dalam kitabnya, al-Adillah al-Wafiyah fi Idhah al-Mu`amalat ar-Ribawiyah, halaman 21 menyimpulkan bahwa pada hakikatnya pengertian riba di kalangan ulama dari berbagai mazhab sama. Mereka berbeda pada redaksi saja. Muhammad Baiba menjelaskan pula bahwa umat telah ijmak (sepakat) atas haramnya riba. Tidak ada yang berpendapatr lain tentang hukum riba. Imam an-Nawawi juga dalam kitabnya, Syarh al-Muhazzab, jilid IX halaman 391 menjelaskan ijmak kaum Muslim tentang haramnya riba. Muhammad Baiba juga menegaskan bahwa banyak sekali ulama yang menerangkan tentang ijmak atas haramnya riba. Dari ulama kontemporer, Dr. Yusuf al-Qardhawi dalam kitabnya, Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram, halaman 14 menegaskan bahwa Islam sangat mengharamkan riba melalui nash-nash yang jelas dengan kandungan makna yang pasti (qath`i).
Adapun dalil haramnya riba dari Alquran antara lain adalah surat al-Baqarah ayat 275, “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”; surat Ali Imran ayat 130, “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” Dalam surat al-Baqarah ayat 278 ditegaskan agar meninggalkan sisa riba, “ Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak menunaikannya (perintah tinggalkan ini) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.”
Sementara itu, Nabi saw. dengan berbagai ungkapan banyak sekali mengeluarkan larangan praktik riba. Antara lain adalah hadis riwayat Muslim, Abdullah berkata : Rasul saw. melaknat orang yang memakan riba dan yang memberikan riba.” Dalam riwayat Muslim juga diterangkan oleh Jabir bin Abdullah ra. : Rasul saw, melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberinya, orang yang menulisnya, dan dua orang yang menjadi saksinya.” Dengan ungkapan lain al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasul saw. bersabda : “Hindari kamulah tujuh hal yang membinasakan. Mereka (para sahabat) bertanya, “ Apa itu ya Rasul? Rasul saw, menerangkan: Syirik kepada Allah, sihir, membunuh orang yang diharamkan Allah tanpa hak, dan memakan riba. Demikianlah seterusnya banyak sekali hadis tentang larangan melakukan riba dan haramnya hasil riba.
B. Bunga Bank Sama Dengan Riba
Selanjutnya timbul pertanyaan, apakah bunga bank sebagaimana yang dipahami secara konvensional dewasa ini sama dengan riba. Sistem bank konvensional tidak ada di masa Rasul, bahkan tidak ditemukan di zaman klasik dan pertengahan, Menurut sementara informasi, bank konvensional pertama sekali didirikan pada tahun 1157 M di Itali. Kemudian, sistem ini berkembang pada seperempat terakhir dari abad XVI dan mulai masuk ke negeri-negeri Islam pada akhir abad XIX. Oleh karena tidak tidak ditemukan di zaman Rasul, maka tidak ditemukan pula nash yang jelas tentang hukum bunga bank konvensional. Bahkan, dalam literatur klasik dan zaman pertengahan pun tidak ditemukan.
Sebagai pedoman hidup sepanjang zaman, Islam harus mempunyai sikap terhadap bunga bank. Suatu hal perlu diingat, bahwa dalil hukum dalam Islam itu tidak hanya Alquran dan Hadis. Selain itu ada ijmak, qiyas (analogi), mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, uruf, syar`u man qablana, dan pendapat sahabat Nabi, Lebih daripada itu, dalam menetapkan hukum, Islam memiliki sejumlah kaedah yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang timbul dalam masya-rakat. Dalam menerapkan dalil dan kaedah ini para ulama menggunakan ijtihad mereka yang kadang-kadang berakhir dengan perebedaan pendapat. Karena itu, mengenai hukum bunga bank juga terjadi perbedaan pendapat. Meskipun sejak lama sudah banyak ulama yang meng-haramkannya, namun masih ada yang memandangnya tidak sama dengan riba. Misalnya, Muhammad Baiba, Yusuf al-Qardhawi, Abu al-A`la al-Maududi, H.Nukman Sulaiman, H. Hamdan Abbas, dan sejumlah ulama telah lama memandang bung bank sama dengan riba. Akan tetapi, Rasyid Rida, A. Hassan, dan M. Qjuraish Shihab memandang keduanya berbeda sehingga hukumnya pun berbeda. Bahkan, di MUI Tk.I SU sendiri masalah hukum bunga bank dibicarakan pada tahun 1985 dan 2003 dan hasilnya masih tidak sepakat atas keharamannya. Akan tetapi, dengan keluarnya fatwa MUI Pusat tentang keharaman bunga bank tahun 2003, maka seluruh MUI tingkat daerah tunduk kepada fatwa MUI Pusat tersebut, termasuk MUI Tk.I SU.
C. Fatwa dan Konsensus Tentang Bunga Bank
Selain dari pendapat-pendapat para ulama secara pribadi mengenai haramnya bunga bank, telah terbentuk beberapa fatwa dan konsensus tentang haramnya bunga bank, baik dalam negeri maupun di luar negeri. Misalnya, Lembaga Pengkajian Islam Al-Azhar (Majma` al-Buhuts al-Islamiyah Al-Azhar) Mesir sejak lama telah mencapai konsensus tentang haramnya bunga bank. Pada tahun 1965 lebih dari 350 ulama dan pakar hukum Islam dari seluruh dunia melakukan pengkajian di Universitas al-Azhar. Ternyata mereka juga sampai kepada kesimpulan bahwa bunga bank termasuk riba yang diharamkan dalam Islam. Pada tahun 1985, Fiqh Academy negara-negara OKI juga menyim-pulkan keharaman bunga bank. Pada tahun 1979 Dar al-Ifta Arab Saudi; pada tahun 1986 Fiqh Academy Muslim World; dan pada tahun 1999 Mahkamah Syari`ah Pakistan semuanya berkesimpulan tentang haramnya bunga bank. Delapan belas fatwa dari keputusan-keputusan para mufti Mesir sejak tahun 1907 sampai 2002 hampir seluruhynya mengharamkan bunga bank.
Secara organisasi, pada tahun 1991 Persis telah menetapkan bahwa bunga bank adalah haram. Pada Muktamar di Bandar Lampung tahun 1992, Nahdhatul Ulama meminta PB NU untuk mengupayakan memiliki bank yang tidak mengandung unsur yang haram. Pada tahun 1998, Muhammadiyah telah menetapkan bahwa hukum bunga bank syubhat yang harus dihindari. Pada tahun 2001, Al-Washliyah menetapkan bunga bank termasuk riba dan hukumnya haram.Terakhir, pada tahun 2003 secara nasional MUI Pusat mengeluarkan fatwa tentang keharaman bunga bank.
D. Keabsahan Fatwa MUI Pusat
Badan yang membidangi hukum dalam MUI adalah Komisi Fatwa. Komisi Fatwa ini terdiri dari para ulama dan pakar hukum Islam. Fatwa MUI tentang haramnya bunga bank disepakati oleh ketua-ketua atau yang mewakili ketua komisi fatwa dari seluruh wilayah dan wakil-wakil dari ormas-ormas Islam, seperti NU, Muhammadiyah, dan Al-Washliyah. Oleh karena itu, para peserta ijtima` yang memutuskan fatwa tersebut adalah orang-orang yang berkompeten dari sudut akademis dan memiliki kewenangan legal di bidangnya secara organisatoris maka ijtihad mereka dalam bentuk fatwa hukum adalah sah. Bahkan, sebelum fatwa dalam skala nasional ini keluar, fatwa dalam sekala internasional pun sudah berulang kali dikeluarkan dalam berbagai kesempatan sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Karena itu, keberatan dari sementara orang tentang fatwa ini tidak perlu menimbulkan keraguan. Apalagi, keberatan itu memang munculnya dari orang-orang yang cara berpikirnya dikenal sekuler, tentunya tidak perlu dipertimbangkan.
Kemudian, dalam kenyataan pun telah jelas bagaimana rapuhnya sistem bunga. Perjalanan perbankan konvensional di Indonesia cukup melelahkan. Kita tidak tahu sampai kapan program penyehatan perbankan yang menerapkan sistem bunga berlangsung. Meskipun telah banyak yang dilikuidasi, namun yang masih hidup terus menjadi beban nasional. Sebaliknya, bank-bank syariah sejauh ini belum ada yang memberati negara dan cenderung berkembang.
Secara historis, sistem bagi hasil berawal di Pakistan dan Malaysia pada tahun 1940-an dalam hal pengelolaan haji. Dalam bentuk embrio perbankan syariah mulai di Mesir pada dekade 1960-an yang berbentuk semacam lembaga keuangan unit desa. Pada tahun 1975 berdirilah Islamic Development Bank (IDB) yang sekarang banyak membantu lembaga-lembaga Islam di dunia, termasuk bidang pendidikan dan pertanian. Lembaga perbankan syariah terus berkembang sehingga pada akhir 1999 tercatat 200 buah di seluruh dunia, termasuk di Eropa, Amerika, dan Australia. Pada tahun 1992, sistem perbankan syariah mulai diterapkan di Indonesia berdasarkan UU No. 7 tahun 1992. Sekarang, bank-bank konvensional sendiri sudah banyak membuka divisi syariah di mana-mana. Ini merupakan bagian dari bukti kemaslahatan yang terkandung dalam sistem perbankan syariah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar