Kamis, 01 Januari 2009

HUKUM SALAT JAMAK DAN QASAR

(SEBELUM BERANGKAT, SELAMA MUSAFIR, DAN SETELAH KEMBALI)
Oleh : PROF. Dr. H. Ramli Abdul Wahid, MA

A. Kemudahan dalam Islam
Islam adalah Agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Sebagai manusia, Muslim tidak selamanya berada di tempat tinggalnya. Ka-dang-kadang ia sedang menempuh perjalanan jarak jauh. Perjalanan jarak jauh atau musafir sedikit banyaknya akan menghadapi kesu-litan. Di antaranya kesulitan mencari air, kesulitan mencari tempat salat, dan kesulitan menjaga kebersihan pakaian dan sebagainya. Is-lam memperhatikan keadaan manusia. Karena itu, dalam Islam ada yang disebut hukum `azimah (dasar) dan ada yang disebut rukhshah (kemudahan). Dalam keadaan normal, berlaku hukum `azimah dan dalam keadaan tidak normal selalu berlalu hukum rukhshah.
Salat yang lima kali adalah fardu atas setiap Muslim. Demikian tingginya kewajiban melaksanakan salat fardu sehingga orang yang malas menger-jakannya berdosa besar dan dihukum bunuh. Orang yang mengingkari wajibnya salat menjadi keluar dari Islam. Namun, bagi orang yang sedang musafir, pelaksanaan salat fardu diberi keringanan. Orang yang mu-safir boleh memendekkan salat yang bangsa empat rakaat menjadi dua rakaat dan menggabung antara salat Zuhur dan Asar dan salat Magrib dan Isya. Memendekkan salat yang empat rakaat menjadi dua disebut qasar dan menggabung antara Zuhur dan Asar serta antara Magrib dan Isya disebut jamak.
Pelaksanaan salat jamak dan qasar mempunyai ketentuan yang berbeda dari ketentuan salat yang biasa. Dalam makalah ini, sebagai ketentuan ber-kaitan dengan jamak dan qashar itu akan dikemukakan.
B. Jarak Perjalanan Boleh Qasar
Para ulama telah berbeda pendapat dalam menentukan jarak musafir yang membolehkan qashar salat. Mazhab Hanafi menentukan jaraknya minimal perjalanan tiga hari tiga malam dan tidak mesti perjalanan itu dari pagi sampai sore, tetapi memadalah perjalanan dari pagi sampai tergelincir matahari. Perhitungan satu hari adalah perjalanan sedang dengan istirahat yang biasa. Sementara jumhur ulama menentukan jarak perjalanan yang membolehkan qashar itu perjalanan selama dua hari atau dua marhalah dengan perjalanan berbeban. Menurut DR. Wahbah az-Zuhaili, jarak perjalanan tersebut ditaksir empat barid atau 16 farsakh atau 48 mil. Satu mil sama dengan 3500 hasta. Ini ditaksir 89 km atau tepatnya 88,704 km. Dengan perjalanan jarak yang demikian seseorang boleh mengqasar salatnya sekalipun perjalanan itu sekarang ini bisa ditempuhnya da-lam satu jam, seperti naik pesawat. Sebab, ia tetap masuk ke dalam kategori orang yang menempuh perjalanan empat barid.
Ketika menjelaskan perjalanan dua hari ini, H.M. Arsyad Thalib Lubis mengutip perhitungan Sayid Ahmad Bek Al-Husaini bahwa jaraknya 89040 meter. Sementara H. Sulaiman Rasjid menjelaskan jarak perjalanan dua hari ini 80,640 km. Sejauh ini terlihat perbedaan perhitungan jarak perjalanan boleh qashar itu antara DR. Wahbah az-Zuhaili, H.M. Arsyad Thalib Lubis, dan H. Sulaiman Rasjid. Perbedaan ini timbul ketika mengalihkan perhitungan dari bilangan yang sangat relatif, yaitu hitungan perjalanan perhari kepada hasta kepada bilangan yang konkrit, yaitu km. Karena masalahnya relatif maka pengamalannya pun tidak harus kaku. Hitungan yang mana saja pun boleh diamalkan. Inilah syarat minimal jarak perjalanan yang membolehkan qashar, yakni memen-dekkan salat Zuhur, Asar, dan Isya yang masing-masing empat rakaat menjadi dua rakaat. Ini juga menjadi syarat bagi salat jamak, yakni menggabungkan antara salat Zuhur dengan Asar dan antara Magrib dengan Isya, baik dikerjakan pada waktu salat yang pertama (jamak taqdim) maupun pada waktu salat yang kedua (jamak ta’khir).
C. Jamak/Qasar Sebelum Musafir
Menurut DR. Wahbah az-Zuhaili, para ulama telah sepakat bahwa permulaan perjalanan yang boleh padanya qashar salat dan seumpamanya adalah keluarnya orang yang musafir dari rumah-rumah negerinya (kota-nya) dan negeri (kota) itu menjadi di belakangnya atau telah melewati bangunan arah tempat ia keluar. Sebab, mukim tergantung pada mema-sukinya maka musafir pun pada keadaan keluar darinya. Firman Allah, “Wa iza dharabtum fi al-ardh falaisa `alaikum an taqshuru min ash-shalah” (Jika kamu melakukan musafir di muka bumi maka tidak ada dosa atas kamu untuk mengqashar salat) Wahbah berkomentar, “Tidaklah seseorang itu musafir sebelum keluar.”
Imam an-Nawawi memberikan penjelasan detail tentang kapan seorang yang berniat musafir dibolehkan memulai qashar sebagai berikut. Tidak boleh melakukan qashar kecuali meninggalkan tempat tinggal (iqamah). Dalam ayat, Allah menggantungkan qashar pada musafir. Jika seorang yang melakukan perjalanan itu penduduk satu negeri (kota), ia tidak mengqashar sampai ia meninggalkan bangunan negeri (kota) itu itu. Jika ia penduduk satu kampung yang di sebelahnya ada kampung lain, ia mengqashar dengan meninggalkan kampungnya, jika ia penghuni kemah-kemah dan kemah-kemah itu menyatu, ia tidak meng-qasar sampai ia meningalkan semua kemah itu, dan jika kemah-kemah itu terpisah-pisah, ia meng-qashar setelah ia meninggalkan kemah-kemah yang berdekatan dengan kemahnya. Imam Syafii dan sahabat-sahabatnya berkata bahwa seseorang musafir dari negeri (kota) yang memiliki tembok khusus, disyaratkan ia melewati tembok itu. Sebab, ia belum dihitung musafir sebelum melewatinya. Jika telah ia telah melewatinya, ia diberi rukhshah untuk qashar dan lainnya. Jika negeri (kota) itu terbelah dua karena dipisahkan oleh sungai seperti Bagdad, maka orang yang hendak musafir itu menyeberang dari sebelah ke sebelah, ia tidak boleh qashar sampai ia meninggalkan bangunan di belahan kedua itu karena kedua belahan(bagian) itu adalah satu ne-geri (kota). DR. Wahbah az-Zuhaili juga menjelaskan ketidakbolehan seorang yang hendak musafir mengqasar salat sebelum keluar dari negeri atau kampungnya menurut empat mazhab.
Keterangan ini menunjukkan bahwa menurut empat mazhab dan jumhur ulama tidak boleh qashar sebelum keluar dari negeri (kota) atau kampung tempat tinggal. Namun demikian, Ibn al-Munzir menceritakan dari al-Haris ibn Abi Rabi`ah ketika hendak musafir, al-Haris salat bersama jemaah dua rakaat di rumahnya. Di antara mereka ada al-Aswad ibn Yazid dan banyak dari sahabat Ibn Mas`ud. Namun Imam an-Nawawi menilai pendapat ini fasid (salah) karena pendapat ini berlawanan dengan sebutan musafir
Adapun tentang jamak, menurut mazhab Hanafi hanya boleh bagi orang yang sedang ihram haji. Jamak tagdim ketika berada di Arafah dan jamak ta’khir ketika di Muzdalifah. Menurut mazhab Maliki, jamak taqdim boleh dengan salah satu syarat bahwa tergelincir mata-hari ketika turunnya orang yang musafir untuk istirahat. Ini berarti sedang dalam perjalanan (safar), bukan di negeri tempat tinggal. Menurut mazhab Syafii, salah satu syarat jamak taqdim adalah berkekalannya perjalanan (safar) sampai memasuki salat kedua dengan takbir al-ihram sekalipun terputus perjalanan (safar) itu di tengah salat yang kedua. Jika terputus perjalanan (safar) sebelum masuk ke dalam salat kedua maka jamak tidak sah lagi karena hilangnya sebab kebolehan jamak. Mazhab Hanbali mensyaratkan bahwa salat jamak itu bagi orang yang sedang dalam perjalanan (safar) yang boleh padanya qashar. Semua ini menunjukkan bahwa menurut mazhab Hanafi tidak ada jamak kecuali bagi orang yang sedang ihram haji di Arafah dan Muzdalifah dan menurut tiga mazhab lainnya jamak taqdim itu hanya boleh bagi orang yang sedang musafir, tidak bagi orang yang belum keluar dari negeri (kota) tempat tinggalnya.
Namun demikian, satu jemaah dari mazhab Zahiri dan Asyhab dari sahabat Malik membolehkan jamak bagi orang yang masih dalam negerinya (kotanya). Alasannya adalah keumuman lafaz hadis Ibn `Abbas, “Jama`a Rasulullah sallahu`alaih wasallam bain az-Zuhr wa al-`Ashr wa al-Maghrib wa al-`Isya fi ghair khauf wa la safar” (Rasul saw. menjamak Zuhur dan Asar dan antara Magrib dan Isya, bukan karena takut dan bukan karena musafir).
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa jamak taqdim harus dilakukan setelah keluar dari kota atau kampung tempat tinggal. Selain ini dalam kitab Tuhfah ath-Thullab disebutkan pula bahwa seorang musafir yang tidak bisa mendapatkan alat untuk wuduk atau tayammum, boleh melakukan salat sebagaimana adanya dan setelah sampai di tempat tujuan wajib menulanginya. Sementara pendapat dari ulama Zahiri yang membo-lehkan jamak yang masih di kota atau kampung tempat tinggal—meskipun tidak kuat—dapat dipandang sebagai alternatif bagi orang yang benar-benar sedang mengalami kesulitan.
D. Jamak/ Qasar dalam Perjalanan dan Setelah Kembali
Setelah keluar dari kota atau kampung, seorang yang sedang musafir mulai boleh melakukan jamak dan qashar sesuai dengan ketentuan tersebut sebelumnya. Namun, para ulama berbeda dalam menentukan batas waktu kebolehan itu. Menurut mazhab Maliki dan Syafii, jika seorang yang musafit berniat untuk tinggal di suatu negeri, selama empat hari atau lebih—selain hari masuk dan keluar dari negeri itu--maka ia tidak boleh melakukan salat qasar. Menurut mazhab Hanbali, tidak boleh qasar bagi orang yang berniat menetap (iqamah) di negeri tempat tujuan sekalipun tanpa menentukan waktu iqamah-nya. Menurut mazhab Hanafi qasar boleh sampai 15 hari. Rukhshah dengan sebab safar berakhir dengan kembali ke negeri tempat tinggal.
Adapun orang yang belum kembali dari perjalanan (safar) karena menunggu urusannya sehingga safarnya tertunda-tunda dan ia berniat berangkat kapan urusannya selesai maka selama itu ia boleh melakukan qashar dan jamak sekalipun bertahun-tahun. Dalam perjalanan kembali, rukhshah qashar dan jamak masih berlaku sampai memasuki batas kota atau kampung. Begitu seorang yang musafir sampai ke batas kota atau kampungnya, rukhshah jamak dan qasar berakhir.

NABI-NABI PALSU

ALIRAN DAN PAHAM DALAM SEJARAH ISLAM
Oleh : PROF. DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA
Ketua Komisi Dikbud MUI Tk. I SU

A. Sejarah Ringkas
Kajian Islam terbagi kepada berbagai bidang ilmu yang antara lain adalah ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu tawhid, ilmu kalam, dan ilmu fikih. Ilmu kalam membahas tentang Tuhan, rasul-rasul, wahyu, akhirat, iman dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Ilmu kalam disebut juga ilmu usuluddin, ilmu `aqa’id, dan teologi. Dalam mengkaji dan membahas materi ilmu kalam ini terdapat bermacam-macam cara memahaminya di kalangan umat Islam. Paham yang lahir dari suatu cara memahami materi ilmu kalam ini dalam bahasa Arab disebur firqah yang jamaknya firaq. Firqah dalam bahasa Indonesia disebut aliran. Aliran-aliran dalam ilmu kalam disebut dalam bahasa Arab al-firaq al-Islamiyah. Untuk aliran dalam fikih disebut mazhab. Namun, belakangan penggunaan sebutan-sebutan ini sudah tidak terlalu ketat lagi sehingga kata mazhab kadang-kadang sudah digunakan oleh sementara orang untuk maksud aliran dalam ilmu kalam.
Persoalan yang pertama-tama muncul dalam Islam adalah persoalan di bidang politik. Waktu Nabi Muhammad saw. wafat, muncul persoalan siapa yang berhak menjadi penggantinya sebagai khalifah. Menurut sejarah, Abu Bakar disetujui menja-di Khalifah pertama. Khalifah kedua, Umar, ketiga Usman, dan keempat Ali. Terbu-nuhnya Usman dan naiknya Ali menjadi Khalifah keempat kemudian menim-bulkan masalah. Pada tahun 37 H, terjadi perang antara Ali sebagai Khalifah dan Mu`awiyah sebagai Gubernur Syam. Perang ini terjadi di Siffin sehingga perang ini dikenal de-ngan perang Siffin. Karena pasukan Mu`awiyah terdesak dan sudah siap untuk mundur, tangan kanannya yang terkenal licik, `Amr ibn al-‘Ash minta berdamai de-ngan mengangkatkan Alquran ke atas. Para qari di barisan Ali minta agar perdamaian itu diterima Ali. Ali dan sebagian pengikutnya keberatan. Tapi, karena desakan, akhirnya Ali menyetujuinya. Disepakati bahwa Abu Musa al-Asy`ari mewakili Ali dan `Amr ibn al-‘Ash mewakili Mu`awiyah. Dengan alasan meng-hormati orang tua, `Amr meminta Abu Musa lebih dahulu berdiri memakzulkan Ali dan kemudian `Amr memakzulkan Mu`a-wiyah. Setelah Abu Musa memakzulkan Ali, `Amr berdiri mengukuhkan Mu`a-wiyah menjadi Khalifah. Kekacauan terjadi. Pasukan Ali yang sejak semula tidak setuju dengan perdamaian tipu itu keluar dari barisan `Ali dan menjadi penentangnya dan sekaligus penentang Mu`awiyah. Kelompok yang keluar ini disebut Khawarij. Mereka memandang Ali, Mu`awiyah, Abu Musa, `Amr ibn al-`Ash, dan orang-orang yang setuju dengan perdamaian yang disebut dalam sejarah arbitrase sebagai kafir. Tak berapa lama, Khawarij ini pecah pula kepada beberapa sekte yang antara satu dengan lainnya saling mengkafirkan dan menghalalkan darahnya. Sekte al-Kamiliyah menilai semua sahabat kafir karena tidak berbaiat kepada Ali dan Ali pun menjadi kafir karena tidak memerangi mereka. Persoalan kafir pun berkembang. Kalau tadinya kafir itu berarti orang yang tidak berhukum kepada Alquran, maka kemudian pelaku dosa besar (murtakib al-kabirah), yakni pembunuh Usman pun dihukum kafir. Ternyata, persoalan ini menimbulkan tiga alir-an. Pertama Khawarij yang memandang pelaku dosa besar kafir. Kedua aliran Murji-’ah yang memandang pelaku dosa besar tetap mukmin dan hukumannya ditang-guhkan kepada Mahkamah Allah untuk mengampuninya atau tidak mengampuninya. Ketiga aliran Muktazilah yang memandang pelaku dosa besar berada di antara dua posisi mukmin dan kafir (al-manzilah bain al-manzilatain). Di luar tiga golongan ini, masih tinggal golongan yang mengikuti paham mayoritas umat Islam yang kemudian dikenal dengan golongan Ahlus Sunnah wa al-Jama`ah. Al-Hasan al-Basri (w. 110 H) Imam Malik (w. 179 H) dan Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) adalah di antara tokoh-tokoh Ahlus Sunnah. Paham Ahlus Sunnah ini kemudian dipertegas oleh Abu al-Hasan al-Asy`ari (w. 330 H). Menurut dia, Allah mengetahui dengan ilmu, hidup dengan hayah, menghendaki dengan iradah. Ilmu Allah esa dan ta`alluq (berobjek) kepada segala yang maklum. Setiap yang wujud dapat dilihat. Karena itu, Allah dapat dilihat karena Ia wujud. Pelaku dosa besar jika tidak taubat, maka hukumannya terse-rah kepada Allah. Manusia mujbar (terpaksa), tetapi Allah memberi kasab baginya. Alquran adalah kalam Allah yang qadim. Selain Abu al-Hasan al-Asy`ari, dikenal pula Ahmad at-Tahawi (w. 322 H) di Mesir dan Abu Mansur al-Maturidi as-Samarkandi (w. 333 H) yang ketiganya disebut dalam sejarah sebagai pendiri aliran Sunni. Namun karena antara mereka terdapat juga perbedaan, maka yang lebih tepat paham mereka dibangsakan kepada masing-masing. Misalnya, paham Asy`ariyah, pa-ham Maturidiyah, dan paham Tahawiyah.
Pendiri paham Muktazilah adalah Wasil ibn `Ata’ (w. 131 H) di Basrah. Ia adalah murid al-Hasan al-Basri. Ketika mendiskusikan hukum pelaku dosa besar, Wa-shil berdiri dari majlis al-Hasan dan pergi ke satu sudut dari Masjid Basrah.Di sana ia berkata bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak Mukmin, melainkan al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Sejak itu, paham ini ber-kembang menjadi satu aliran. Di atas telah disebutkan pokok ajaran mereka. Menurut mereka, Alquran makhluk, manusia berbuat dengan kehendaknya sendiri, tidak ada takdir, Tuhan tidak dapat dilihat, mengutus Rasul wajib bagi Allah.
Sebagai pengaruh penggunaan akal yang semakin besar dalam memahami nas, muncul pula paham Qadariyah dan Jabariyah. Menurut Qadariyah, manusia mempu-nyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat (free will and free act). Orang per-tama berpaham Qadariyah adalah Ma`bad al-Juhani yang terbunuh pada tahun 80 H. Menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berke-hendak dan berbuat (predestination atau fatalism). Orang pertama berpaham Jaba-riyah adalah Ja`d ibn Dirham (w. 124 H). Kemudian, paham ini dikembangkan oleh muridnya Jahm ibn Safwan yang dihukum mati dan dibunuh pada tahun 127 H karena menurut dia sorga dan neraka akan binasa atau tidak kekal. Sekarang Agus Mustafa lahir di Indonesia membawa paham Jahm ibn Safwan ini dalam bukunya yang berju-dul, Ternyata Akhirat Tidak Kekal.
Pendukung Ali dalam bahasa Arab disebut Syi`ah `Ali. Syi`ah `Ali juga mem-bentuk aliran yang memiliki paham yang berbeda dengan lainnya. Syiah pun memiliki sekte-sekte. Ahlus Sunnah pun bermacam-macam pula yang pada garis besarnya ada dua, Salaf atau Salafi dan Khalaf. Paham Salaf diwakili Imam Ahmad ibn Hambal (w.241 H), Abu al-Hasan al-Asy`ari (w. 330 H), dan Syekh Ibn Taimiyah (w. 728 H), sedang paham Khalaf diwakili al-Baqillani (w.403 H) dan al-Juwaini (w. 478 H). Perbedaan pokok antara Salaf dan Khalaf adalah soal takwil. Takwil berarti memberi makna kepada nas Alquran dan Hadis dengan makna yang jauh, tidak makna zahirnya. Misalnya, yadullah diartikan oleh Salaf dengan ‘tangan Allah.’ Khalaf mengartikannya dengan ‘kekuasaan Allah.’
Demikianlah lahir dan berkembang aliran-aliran dalam Islam. Masing-masing berkembang menjadi sekte-sekte. Sebagian sekte ini masih dalam lingkaran Islam dan sebagian lagi sudah tergelincir dari Islam. Misalnya, sekte `Ajaridah dari Khawarij tidak mengakui surat Yusuf sebagi bagian dari Alquran. Sebab, menurut mereka cerita porno tidak layak menjadi isi Kitab Suci Alquran. Sekte Saba’iyah dari Syi`ah yang berpendapat bahwa wahyu itu seharusnya diturunkan kepada Ali, tetapi Jibril tersalah menurunkannya kepada Muhammad saw. Tentunya paham-paham seperti ini sudah tergelincir dari Islam.

B. Ajaran Masing-masing Aliran
Ajaran pokok Ahlus Sunnah adalah rukun iman yang enam, yaitu (1) iman kepada Allah, (2) imam kepada para malaikat, (3) iman kepada kitab-kitab samawi, (4) imam kepada rasul-rasul, (5) iman kepada hari kiamat, dan (6) iman kepada takdir Allah. Ajaran pokok Syi`ah Imamiyah lima, yaitu (1) tawhid, (2) al-`adl (3) kenabian, (4)al-imamah (khalifah), dan (5) al-ma`ad (berbangkit pada hari kemudian). Ajaran pokok Muktazilah juga lima, yatu (1) tawhid, (2) al-`adl (keadilan Tuhan), (3) al-manzilah bain al-manzilatain (posisi antara dua posisi), (4) al-wa`d wa al-wa`id (janji dan ancaman(, dan (5) amar makruf dan nahi munkar.
Menurut Ahlus Sunnah, iman adalah iqrar bi al-lisan wa tashdiq bi al-qalb wa `amal bi al-jawarih (pengakuan dengan lidah, pembenaran dengan hati, dan pengemalan dengan anggota tubuh). Menurut Ahlus Sunnah, amal merupakan bagian dari iman. Tidak beramal berarti kurang iman. Karena itu, iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Menurut Muktazilah, iman bukanlah tashdiq (pembenaran) dan bukan ma`rifah (mengenal Allah), tetapi `amal (perbuatan). Ini berarti bahwa iman menurut mereka adalah pelaksanan perintah-perintah Allah. Menurut Murjiah, iman ialah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, rasul-rasul-Nya dan segala apa yang datang dari Tuhan. Iman menurut mereka tidak bertambah dan tidak berkurang.
Di antara ajaran Ahlus Sunnah adalah percaya kepada takdir bahwa segala sesuatunya sudah ditentukan Allah sejak azali, Tuhan dapat dilihat di sorga, mengutus rasul-rasul itu tidak wajib atas Tuhan, tidak ada nabi sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw., para rasul dianugerahi mukjizat sebagai bukti utusan Allah, dan buruk dan baik ditentukan oleh Allah, bukan akal..
Di antara paham dan ajaran Syi`ah adalah bahwa Abu Bakar, Umar, dan Usman adalah perampas khilafah yang seyogianya bagi Ali, para imam Syi`ah seperti nabi wajib ma`shum (terpelihara) dari segala yang tercela dan keji dari masa kanak-kanak sampai waktu mati sebagaimana juga mereka terpelihara dari lalai, keliru, dan lupa. Al-Imamiyah meyakini bahwa perntah mereka adalah perintah Allah, larangan mereka larangan Allah, menaati mereka menaati Allah, mendurhakai mereka mendurhakai Allah, wali mereka adalah wali Allah, musuh mreka berarti musuh Allah. Tidak boleh menolak mereka. Orang yang menolak mereka seperti orang yang menolak Rasul. Orang yang menolak Rasul seperti orang yang menolak Allah. Wajib menyerah kepada mereka, tunduk kepada kepada perintah Allah, dan mengambil pendapat mereka. . Karena itu, ucapan mereka termasuk hadis, kitab al-Kafi karya al-Kulaini sebagai kitab hadis sahih, bukan Shahih al-Bukhari dan bukan Shahih Muslim. Menurut al-Imamiyah, Imam al-Mahdi telah lahir pada tahun 256 H dengan nama Muhammad ibn al-Hasan al-`Askari dan terus hidup sampai sekarang. Mereka juga percaya akan reinkarnasi. Abu Talib menurut mereka Muslim, hadis hanya sah bila diriwayatkan oleh Ahlul Bait, boleh taqiyah yaitu menyembunyikan iman yang diyakini kepada orang tertentu untuk menjaga keselamatan, tidak menerima ijmak dan qiyas, dan boleh nikah mut`ah (kontrak).
Mengenai klaim kenabian sejak zaman Nabi saw. sudah ada. Pada tahun ke-10 H, al-Aswad ibn Ka`b ibn `Auf al-~`Insi mengaku nabi tanpa menginkari kenabian Nabi Muhammad saw. Ia menunjukkan bukti kenabiannya dengan himar (keledai) miliknya. Ia berkata kepada keledainya, “Sujudlah kepada tuhanmu,” maka keledai itu pun sujud. Ia mengaku dua malaikat, Sahiq dan Syahiq turun membawa wahyu kepadanya. Di antara wahyunya, “wa al-mayisat maisan wa ad-darisat darsan yahujjuna `ashaban wa furada `ala qala`is humurin wa shuhub.” Ia memiliki banyak pengikut di Najran dan San`a. Rasul mengutus orang yang membunuhnya dan benar-benar dibunuh. Di masa Nabi juga muncul Musailamah ibn Habib mengaku Nabi tanpa mengingkari kenabian Muhammad. Tapi ia meminta bagi dua dunia, separoh baginya dan separoh lagi bagi suku Kuraisy. Bergabung bersamanya Sajah yang juga mengaku nabi perempuan. Mereka mengaku menerima wahyu dan mempunyai banyak pengikut. Musailamah dibunuh tahun 12 H dan Sajah dibunuh juga. Muncul lagi seorang yang sempat menjadi sahabat Rasul tapi kemudian mengaku nabi, yaitu Tulaihah ibn Khuwailid al-Asadi. Katanya Jibril turun kepadanya. Namun, ia beruntung kembali rujuk dan bergabung dengan tentara Islam sampai jatuh syahid pada perang Nahawan di Irak. Muncul lagi sesudah wafat Nabi Muhammad saw. Zu at-Taj Laqit ibn Malik al-Azdi mengaku nabi. Ia memiliki orang-orang jahil dari penduduk `Aman. Ia kalah melawan tentara Muslim yang dikirim Abu Bakar. Di masa Khalifah `Abd al-Malik muncul al-Haris ibn Sa`id al-Kazzab. Khalifah memintanya bertaubat, tetapi ia tidak bersedia sehingga ia dibunuh dengan cara disalib. Di masa Khalifah al-Maqnsur, muncul Abu `Isa ibn Ya`qub al-Ashfahani mengaku nabi dan rasul al-Masih al-Muntazar. Ia mengaku bicara dengan Allah. Ia mewajibkan sepuluh kali salat serta menentukan waktu-waktunya. Ia meme-rintahkan para pengikutnya untuk melaksanakannya. Di masa Khalifah al-Mahdi dari Bani Abbas muncul Yusuf al-Barm mengaku nabi dan menyesatkan banyak orang. Ia disalib.
Di masa Khalifah Usman muncul `Abdullah ibn Saba’ dari kalangan Syiah Menurut al-Bagdadi, di samping Ibn Saba’ ada lagi `Abdullah ibn as-Sauda’. Keduanya bersikap ekstrem mengagungkan Ali. Al-Mukhtar ibn `Ubadillah ats-Tsaqafi merupakan orang yang mengaku nabi danturunnya wahyu kepadanya. Ia memiliki kemampuan membuat hal-hal aneh. Ia memiliki kursi, kedukunan, dan sajak-sajak seperti wahyu. Hamzah ibn `Imarah al-Barbari muncul sesudah matinya Muhammad ibn al-Hanafiyah tahun 81 H. Hamzah mengaku Mahdi dan inkernasi. Ia mengaku nabi dan mengatakan bahwa Muhammad ibn al-Hanafiyah Allah. Bayan ibn Sam`an at-Tamimi mengaku bahwa Abu Hasyim memberi tahunya dari Allah atas kenabiannya dengan firman-Nya, “Haza bayanun linnasi.” Al-Mughirah ibn Sa`id al-Bajali, teman Bayan ibn Sam`an. Ia mengaku nabi dan menyangka bahwa ia dapat menghidupkan orang mati. Jibril turun kepadanya membawa wahyu. `Abdullah ibn `Amr ibn Harb al-Kindi pendiri al-Harbiyah dari kelompok ekstrem. Ia mengikuti paham al-Bayaniyah tentang klaimnya bahwa ruh Allah reinkarnasi kepada diri para nabi dan para imam yang akhirnya sampai kepada `Abdullah ibn `Amr. Bakir ibn Mahan dari juru dakwah Abbasiah mengutusnya ke Khurasan untuk memimpin Syiah Bani `Abbas di sana tahun 118 H. Kemudian, ia menampilkan paham al-Harbiyah. Hal itu sampai kepada Asad ibn `Abdillah. Asad menemukannya sampai penyalibannya. Abu Mansur al-`Ijli pada mulanya mengklaim bahwa al-baqir menyerahkan kepemimpinan kepadanya. Secara bertahap ia sampai kepada klaim menjadi nabi dan rasul. Ia berpendapat bahwa nabi dan rasul tidak pernah terputus. Kabar ini sampai kepada Khalifah al-Mahdi dan ia pun membunuh jemaah mereka. Al-Muqanna` menklaim tuhan dengan jalan reinkarnasi. Ia juga menklaim dapat menghidupkan orang mati. Ia dikepung tentara al-Mahdi. Konon ia akhirnya membakar diri sendiri tahun 163 H. Abu al-Khattab Muhammad ibn Abi Zainab seorang murid terbaik dari Ja`far ash-Shadiq. Sayangnya, ia kemudian kafir dan menklain nabi. Khalifah al-Mansur mengirim tentara dan akhirnya Abu al-Khattab disalib. Dari pengikut Abu al-Khattab muncul Bazgh ibn Buzaigh ibn Musa dan pengikut-pengikutnya meyakini bahwa setiap Mukmin menerima wahyu dan semua mereka adalah para nabi yang menerima wahyu. Bahkan, ia mengaku naik ke langit, Allah mengusap mukanya dan meludah ke mulutnya, melihat Ali duduk sebelah kanan Tuhan jalla jalaluh. Inkar Sunnah juga sudah ada sejak zaman klasik. Imam asy-Syafii (w. 204 H) telah menjelaskan argumen mereka dan alasan-alasan menolak argumen tersebut dalam kitabnya, al-Umm.
Muktazilah sering mengutamakan akal atas nas. Bahkan, dalam mengenal Allah pun akal diutamakan. Seorang tokoh Muktazilah yang melalui tulisannya sekarang ini orang mengenal paham Muktazilah, al-Qadhi `Abd al-Jabbar berkata, “Ketahuilah bahwa dalil empat macam, yaitu hujah akal, Alquran, Sunnah, dan Ijmak.Mengenal Allah tidak tercapai kecuali dengan hujah akal.. Di antara paham dan ajaran Muktazilah yang menggambarkan sikap mereka yang mengutamakan akal atas wahyu adalah buruk dan baik ditentukan oleh akal. Menurut mereka juga Allah tidak mempunyai sifat karena itu bertentangan dengan tawhid menurut Muktazilah, Alquran makhluk, pelaku dosa besar pada al-manzilah bain al-manz-ilatain, Allah tidak dapat dilihat, manusia menjadikan perbuatannya sendiri. Menurut Ahlus Sunnah, nilai baik dan nilai buruk diketahui melalui syarak.

C. Mengapa Timbul Aliran dalam Islam
Aliran-aliran tersebut di atas semuanya merujuk Alquran dan Hadis. Tetapi, ternyata hasilnya berbeda antara satu dengan lainnya. Perbedaan ini masih dapat ditolerir sepanjang ada dalilnya dari Alquran dan Hadis serta cara pemahamannya berdasarkan kaedah bahasa Arab dan kaedah-kaedah Agama yang diakui para ulama. Misalnya tentang persoalan Tuhan dapat dilihat menurut Ahlus Sunnah dan tidak dapat dilihat menurut Muktazilah. Ahlus Sunnah mengajukan dalil Alquran, Wujuh yaumaizin nadhirah ila Rabbiha nazirah (Beberapa muka di hari itu bercahaya gemilang melihat kepada Tuhannya (surat al-Qiyamah : 22-23). Ayat ini diperkuat dengan hadis sahih riwayat al-Bukhari dan Muslim, Innakum satarauna rabbakum `iyanan (Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhan kamu senyata-nyatanya). Mukta-zilah mengajukan ayat Alquran La tudrikuh al-absharu wa huwa yudriku al-abshar (Ia tidak dapat dilihat oleh mata dan Ia melihat mata (surat al-An`am : 103). Ahlus Sunnah akan mengkompromikan antara keduanya bahwa yang dimaksud dengan Tuhan dapat dilihat itu pada dimensi akhirat, yaitu sorga, sedang Tuhan tidak dapat dilihat pada dimensi dunia. Muktazilah akan berkata bahwa setiap yang dapat dilihat adalah materi (benda), sedang Tuhan tidak benda. Ahlus Sunnah akan menjawab bah-wa Tuhan dapat dilihat bukan karena materi, tetapi karena mawjud (wujud). Begitulah seterusnya dialog berlangsung. Namun, perbedaan ini masih dapat diterima karena pemahaman masing-masing tidak bertentangan dengan nas-nas tersebut.
Demikian juga dengan takwil dan tidak boleh takwil. Kaum Salaf akan menuduh Khalaf mengada-ngada. Kaum Khalaf menjawab bahwa takwil itu memang ada dan sah dalam bahasa Arab. Khalaf juga akan mengatakan bahwa takwil perlu untuk menghadapi orang yang tidak puas dengan tafwidh (menyerahkan makna yang sebenarnya kepada Tuhan).
Sama halnya dengan manusia menentukan nasibnya menurut Muktazilah dan Qadariyah, kedua kelompok ini akan mengajukan sejumlah ayat Alquran yang menjelaskan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berbuat. Misalnya, Innallah la yughayyir ma bi qawm hatta yughayyiru ma bi anfusihim (Allah tidak mengubah apa yang ada pada suatu kaum hingga mereka sendiri yang mengubahnya). Kaum Jabariyyah akan mengemukkan sejulah ayat yang menunjukkan kekuasan mutlak Tuhan. Misalnya, Fa``al lima yurid (Ia berbuat apa yang dikehendaki-Nya)
Adapun paham yang mengatakan surat Yusuf tidak masuk bagian dari Alquran, paham yang mengatakan wahyu seharusnya diturunkan kepada Ali, akhirat tidak kekal, inkar Sunnah, paham orang-orang yang mengaku nabi, seperti Mirza Ghulam Ahmad (w. 1908 M), Lia Eden, Ahmad Musaddeq, Ibu Dhani, Muhammad Sayuti dan juga paham semua agama sama dan pengikut semua agama masuk sorga tentunya tidak dapat ditolerir. Paham-paham tersebut ini tentunya sudah keluar dari Islam.
Untuk pengetahuan lebih lanjut, dapat dibaca antara lain dalam kitab Dirasat fi al-Firaq wa al-`Aqa’id al-Islamiyyah karya Dr. `Irfan `Abd al-Hamid, al-Farq bain al-Firaq karya al-Baghdadi, al-Ghulu wa al-Firaq al-Ghaliyah fi al-Hadharah al-Islamiyyah karya Dr. `Abdullah Sallum as-Samurra’I, al-Irsyad karya al-Juwaini, Mazahib al-Islamiyyin karya Dr. `Abd ar-Rahman Badawi, Tarikh al- Fikr al-`Arabi karya Dr. Umar Farrukh, Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah karya `Ali Mushthafa al-Ghurabi, Tayyarat al-Fikr al-Islami karya Dr. Muhammad `Imarah, dan Tarikh al-Mazahib al-Isalamiyyah fi as-Siyasah wa al-`Aqa’id karya Syekh Muhammad Abu Zahrah. Melalui kitab-kitab ini, seorang pembaca akan mengetahui bahwa hampir tidak ada satu paham atau aliran pun yang belum pernah muncul pada masa lalu dan hukumnya serta dalil-dalilnya, baik dari Alquran dan Sunnah maupun dari akal.






DAFTAR PUSTAKA
Al-Farq bain al-Firaq karya al-Baghdadi
Ilmu Kalam karya Prof.K.H.M. Taib Tahahir Abd. Mu`in
I’tiqah Ahlussunnah Wal-Jama’ah karya K.H. Siradjuddin ‘Abbas
Al-Irsyad karya al-Juwaini
Mazahib al-Islamiyyin karya Dr. `Abd ar-Rahman Badawi
Tarikh al-Fikr al-`Arabi karya Dr. Uamar Farrukh
Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah karya `Ali Mushthafa al-hurabi
Tayyarat al-Fikr al-Islami karya Dr. Muhammad `Imarah
Ushul ad-Din al-Islami karya Dr. Rusydi `Ilyan dan Qahthan `Abd ar-Rahman ar-Ruri

Sabtu, 27 September 2008

HADIS-HADIS TENTANG FADHA’IL AL-A`MAL DAN KAITANNYA DENGAN AMALAN PUASA RAMADAN

Oleh : H. Ramli Abdul Wahid


A. Pengertian Fadha’il al-A`mal
Fadha’il adalah bentuk jamak dari kata bahasa Arab, fadhilah yang artinya keutamaan-keutamaan atau kelebihan-kelebihan. Al-a`mal adalah bentuk jamak dari kata `amal yang artinya amal atau ibadah. Satu ibadah dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek wujud ibadah itu sendiri dan aspek keutamaannya atau pahalanya. Kedua aspek ini harus mempunyai dalil. Dalil pokok untuk ajaran Islam adalah Alquran dan Hadis. Dalil wujud ibadah harus kuat, yaitu ayat Alquran atau hadis yang sahih atau hadis hasan. Hadis daif tidak bisa menjadi dalil wujudnya suatu amal atau ibadah. Sementara dalil untuk fadha’il al-a`mal menurut sebagian ulama tidak mesti hadis yang sahih atau hasan, melainkan boleh juga hadis daif dengan syarat-syarat tertentu. Demikian juga fadhilah waktu ibadah tertentu, sepertri fadhilah bulan barakah Ramadan.
Hadis-hadis fadhail al-a`mal antara lain adalah hadis-hadis yang mene-rangkan fadhilah salat jamaah yang 27 kali lipat ganda, fadhilah haji mabrur masuk sorga, dan fadhilah puasa diampunkan dosa-dosa yang telah lalu. Termasuk juga fadhilah bulan Rajab dan bulan Ramadan. Hadis-hadis ini ada yang sahih dan ada yang daif. Jika hadis daif ini masih memenuhi syarat yang ditentukan ulama, misalnya tidak terlalu daif, maka menurut sebagian ulama masih bisa diterima sebagai dalil untuk menerangkan fadhilah ibadah atau bulan tertentu.

B. Ulama dan Syarat Hadis Daif untuk Fadhail al-A`mal
Di antara ulama yang menerima hadis daif untuk menjadi dalil fadhail al-a`mal adalah Imam an-Nawawi dan Ibn Hajar al-`Asqalani. Kedua ulama ini adalah ulama fikih dan ulama Hadis. Ibn Hajar al-`Asqalani banyak mengarang ilmu Hadis dan syarah Hadis. Di antara karangannya adalah kitab biografi para sahabat dengan tarjihnya yang bernama al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shabah. Kitab ini terdiri atas empat jilid besar. Susunannya sangat sistematis dan isinya sangat informative tentang biografi para sahabat. Kitab monumental lainnya adalah Tahzib at-Tahzib. Kitab ini terdiri atas 14 jilid tentang biografi para periwayat hadis dalam Kitab Hadis Pokok yang Enam (Sahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmizi, Sunan an-Nasa’I, dan Sunan Ibn Majah). Setiap peneliti Hadis tidak bisa mengabaikan kedua kitab ini. Kitab monumental lainnya adalah Fat-hul Bari Syarh Shahih al-Bukhari. Kitab ini merupakan salah satu kitab syarah Shahih al-Bukhari, terdiri atas 13 ditambah muqaddimahnya satu jilid khusus. Kita tidak dapat membayangkan adanya seorang ulama yang diakui sebagai ulama Hadis di zaman modern, tapi tidak memiliki kitab ini.
Imam an-Nawawi juga sebagai pribadi referensi di bidang fikih dan Hadis. Ialah penulis syarah Shahih Muslim dengan judul Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi yang terdiri atas 14 jilid. Ia juga penulis kitab fikih mazhab Syafii, Syarh al-Muhaz-zab yang terdiri atas 20 jilid. Keterangan ini dikemukakan untuk menunjuk-kan kompetensi keduanya di bidang Hadis.
Imam an-Nawawi menjelaskan dalam kitabnya Matn at-Taqrib tentang kesepakatan ulama atas bolehnya, bahkan mustahabnya (sunnatnya) mengamalkan hadis daif dalam fadhail al-a`mal. Di dalam kitab ini ia tidak menjelaskan syarat hadis daif ini, kecuali syarat dalam fadhail al-a`mal. Kemudian, al-Hafiz al-`Ala’i menambahkan syarat hadis ini tidak terlalu daif. Setelah itu, Ibn Daqiq al-`Id menambahkan dua syarat lain, yaitu bahwa keadaan hadis ini berada di bawah hadis pokok yang diamalkan. Artinya wujud ibadah itu berdasarkan hadis yang layak dijadikan hujah. Hadis daif ini hanya berfungsi menjelaskan fadhilah ibadah tersebut. Syarat kedua adalah bahwa orang yang mendasarkan fadhilah ibadahnya kepada hadis daif itu tidak sampai meyakini atas kesahihan hadis itu. Hadis itu tetap diyakininya sebagai hadis daif. Ia mengamalkan hadis ini hanya atas dasar kehati-hatian. Jangan-jangan, hadis ini sebenarnya sahih, yakni berat dugaan benar berasal dari Nabi, tetapi berdasarkan penampilan zahirnya daif, yakni kecil sekali kemung-kinannya benar berasal dari Nabi. Sebab, hadis daif bukan berarti pasti tidak berasal dari Nabi. Sebaliknya, hadis sahih bukan berarti pasti berasal dari Nabi. Hadis yang pasti dari Nabi itu adalah hadis-hadis mutawatir, yaitu pemberitaan oleh banyak orang kepada banyak orang dan kepada banyak orang, dan begitulah seterusnya sampai kepada generasi pengumpulnya (mukharrijnya), seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan Imam at-Tirmizi.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa akhirnya, syarat-syarat hadis daif yang boleh dijadikan dalil atas fadhail al-a`mal itu ialah keadaannya tidak daif sekali, hadis itu tidak berdiri sendiri menjadi dalil wujud amal, melainkan hanya menerangkan tentang fadhilah amal, sedangkan dalil untuk wujud amal itu harus hadis sahih atau hasan, dan orang yang mengamalkannya jangan sampai berubah keyakinan bahwa hadis daif menjadi sahih, tetapi tetap daif. Kemudian, Ibn Hajar al-`Aqalani menukil syarat-syarat itu semuanya dalam satu keterangan. Sesudah itu, pandangan Imam an-Nawawi ini diikuti sejumlah ulama, seperti Jalaluddin as-Suyuthi, al-Haitami, dan Ibn `Arraq. Sementara ulama yang tidak setuju mengamalkan hadis daif dalam fadhail al-a`mal antara lain adalah Yahya ibn Ma`in. Menurut Asyraf ibn Sa`id dalam bukunya, Hukm al-~Amal bi al-Hadits adh-Dha`ifi fi Fadha’il al-A`mal, dapat pula dipahami bahwa Imam Muslim dan Imam al-Bukhari tidak setuju dengan pengamalan hadis daif untuk fadha’il al-a`mal ini.

C. Kriteria Hadis Daif Ringan
Berdasarkan kekuatan hujahnya, Hadis dapat diklasifikasikan kepada mutawatir (pasti dari Rasul), sahih (diduga keras dari Rasul), hasan (berada di bawah sahih sedikit), daif (lemah), bathil (hadis palsu, tetapi tidak disengaja membang-sakannya kepada Rasul), dan maudhu` (palsu, disengaja menciptakan dan membangsakannya secara bohong kepada Rasul). Fokus kita sekarang tentang hadis daif yang tidak terlalu berat. Memang, hadis daif itu ada yang daif ringan, daif (sedang), dan daif berat. Ini membutuhkan sebuah ilmu yang disebut `Ilm al-Jarh wa at-Ta`dil, yaitu ilmu tentang penilaian periwayat hadis. Para ulama telah membuat istilah-istilah untuk menunjukkan peringkat kehujahan riwayatnya. Misalnya, seorang periwayat yang dinilai dengan istilah syaikh wasath atau shaduq insya Allah, maka hadis yang diriwayatkannya adalah daif ringan. Seorang yang dinilai dengan istilah dha`if, maka hadis yang diriwayatkannya adalah daif (sedang). Tetapi, seorang periwayat yang dinilai dengan istilah matruk, maka hadis yang diriwa-yatkannya adalah daif berat. Jika seorang periwayat dinilai dengan istilah dajjal atau wadhdha`, maka hadis yang diriwayatkannya dinilai maudhu` (palsu). Keterangan ini terlalu teknis dan rumit, tetapi dikemukakan untuk sekedar menjadi gambaran sederhana agar pembaca memahami maksud hadis daif yang tidak terlalu berat. Jadi, hadis daif itu sendiri bervariasi, dari daif ringan, daif (sedang), dan daif berat.

D. Hadis-hadis Fadha’il al-A`mal
Hadis-hadis fadha’il al-a`mal ada yang sahih dan ada yang daif. Misalnya, hadis tetang keutamaan bulan Ramadan.
“Apabila masuk bulan Ramadan, pintu-pintu sorga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.”
Hadis ini menerangkan keutamaan bulan Ramadan. Hadis ini sahih termuat dalam kitab Shahih al-Bukhari juz 4 halaman 92.
“Barangsiapa bangun beribadah malam Ramadan berdasarkan iman dan mengharap rida Allah, diampunkan baginya dosanya yang telah lalu.”
Hadis ini menerangkan fadhilah malam Ramadan. Orang yang salat padanya akan mendapatkan keampunan dari Allah atas dosanya yang lalu. Hadis ini sahih, termuat dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
“Satu kali umrah pada bulan Ramadan sama dengan satu kali haji.”
Hadis ini termuat dalam Sunan at-Tirmizi jilid 3 halaman 276 dengan sanad lengkap. At-Tirmizi sendiri menilainya hasan gharib.”
“Seseorang akan mendapatkan kehinaan dan kerendaghan jika namaku disebutkan di sisinya, namun ia tidak bersalawat atasku. Seseorang akan mendapatkan kehinaan dan kerendahan jika ia memiliki kedua orang tua atau salah satunya, namun ia tidak melaksanakan hak keduanya yang memasukkannya ke dalam sorga. Seseorang akan mendapatkan kehinaan dan kerendahan jika ia memasuki bukan Ramadan dan Ramadan telah berlalu sebelum ia diampuni.”
Bagian akhir dari hadis ini menerangkan fadhilah Ramadan yang kehadirannya memberikan kesempatan untuk mendapatkan keampunan dari Allah. Hadis ini adalah sahih diriwayatkan oleh at-Tirmizi, Ahmad, al-Hakim, dan Ibn Hibban. At-Tirmizi sendiri menilainya hasan gharib. Ibn Hajar, az-Zahabi, al-Hakim, dan Ibn Hibban menilainya sahih.
“Barangsiapa bergembira dengan masuknya bulan Ramadan, Allah mengharamkan jasadnya masuk neraka.”
Hadis ini termuat dalam kitab Durratun Nashihin halaman 7 karya al-Khubari. Hadis ini juga menerangkan fadhilah bulan Ramadan. Sayangnya, hadis ini maudhu` (palsu) dengan dua alasan. Pertama, hadis ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis yang diakui. Bahkan, hadis ini tidak ditemukan dalam kitab kumpulan hadis daif. Penulis Durratun Nashihin juga tidak menyebutkan sumber pengambilannya. Hadis semacam ini dikenal dengan istilah la yu`raf lahu ashlun atau la ashla lahu (tidak diketahui sumber aslinya). Alasan kedua adalah isinya mengandung ciri-ciri hadis palsu yaitu amalan yang terlalu kecil menjanjikan pahala yang terlalu besar.
“Awal bulan Ramadan adalah rahmat, pertengahannya keampunan, dan akhirnya pembebasan dari neraka.”
Hadis ini termuat dalam Kitab adh-Dhu`afa’ al-Kabir karya al-`Uqaili, jilid II halaman 162 dan kitab al-Jami` ash-Shaghir karya as-Suyuthi jilid I halaman 432. Hadis ini menjelaskan keutamaan bagian-bagian bulan Ramadan. Sayangnya, hadis ini daif. Bahkan, Pendekar Hadis abad 20, Muhammad Nashiruddin al-Albani menilainya maudhu` (palsu). Kedaifan hadis ini berasal dari dua orang periwayatnya, Sallam ibn Sulaiman ibn Sawwar dan Maslamah ibn ash-Shalt. As-Suyuthi menilainya daif. Ibn `Adi menilai Sallam munkar al-hadits. Abu Hatim menilai Maslamah matruk.
“Semua amal manusia baginya kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu bagi-Ku dan Aku yang akan membalasnya.”
Hadis ini adalah hadis qudsi yang nilainya sahih. Hadis ini diriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dengan sanad yang lengkap. Hadis ini menerangkan keistimewaan pahala puasa. Begitu besar pahalanya sehingga tidak terbatas dan bahkan Allah menja-min akan memberi balasannya secara langsung.
“Barangsiapa memberi pebuka kepada orang yang puasa, ia memperoleh seumpama pahalanya tanpa berkurang sedikit pun dari pahala orang yang berpuasa.”
Hadis ini diriwayatkan oleh at-Tirmizi. Ia menilainya hasan sahih.
“Sesungguhnya, orang yang berpuasa, bersalawat atasnya para malaikat jika orang makan di sisinya hingga mereka selesai.”
Hadis ini menerangkan keutamaan orang yang puasa sabar melihat orang makan di dekatnya. Hadis ini diriwayatkan oleh at-Tirmizi dan dinilainya hasan.

Senin, 01 September 2008

SILABUS MATA KULIAH HADIS TEMATIS SMT I AGAMA DAN FILSAFAT ISLAM PASCASARJANA IAIN SU

Tahun Akademi Januari s.d. Mei 2008
Oleh : DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA
Perkuliahan dilaksanakan dengan sistem seminar. Setiap peserta menyiapkan dan mempresentasikan satu makalah sesuai dengan judul dan jadwal yang ditetapkan. Untuk setiap makalah ditetapkan seorang pembanding utama yang bertugas menelaahnya secara serius, mengoreksi, mempertanyakannya, dan memberi masukan sebagai bahan perbaikan yang lebih sempurna. Para peserta yang lainnya diberikan kesempatan untuk bertanya dan memberikan masukan setelah pembanding utama. Perbaikan makalah dan keaktifan dalam seminar menjadi bagian dari penilaian kepada peserta.
Ukuran makalah tidak lebih dari 20 halaman kuarto. Isinya meliputi hadis-hadis mengenai judul yang dibahas, sumber-sumber aslinya secara akurat, nilai hadisnya dari aspek sanad dan aspek matan, pengertiannya berdasarkan literatur klasik dan modern dengan berbagai pendekatan, ter-masuk pendekatan kontekstual jika diperlukan, serta analisis dan kesimpulan penulis. Kutipan terhadap berbagai pendapat harus dianalisis dan di-tarjih.
Makalah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik, benar, dan efektif serta transeliterasi SKB Menteri Agama dan Mendikbud tahun 1987. Makalah diserahkan kepada dosen dan peserta selambat-lambatnya dua hari sebelum jadwal seminar. Makalah perbaikan dan makalah asal yang sudah dikoreksi diserahkan kepada dosen selambat-lambatnya satu bulan dari hari seminar. Keterlambatan penyerahan makalah, baik untuk seminar maupun untuk perbaikan akan mempengaruhi nilai tugas peserta.
Adapun judul-judul makalah yang menjadi bahasan pokok dalam seminar mata kuliah ini adalah sebagai berikut. Judul-judul ini dapat dimo-difikasi dengan syarat tidak mengubah makna.
1. Definisi Agama Islam Menurut Hadis
2. Hadis-hadis tentang Muhammad saw. Sebagai Nabi Terakhir
3. Hadis-hadis tentang Islam Terpecah ke dalam 73 Aliran
4. Ahlulkitab dalam Hadis
5. Memberi Salam kepada non-Muslim dalam Hadis
6. Khususiyat Rasul saw.
7. Warisan dan Kawin dengan non-Muslim dalam Hadis
8. Hadis Buatan Penguasa Amawiyah,
9. Hadis Mutasyabihat,
10. Hadis-hadis tentang Gender
11. Hadis-hadis tentang Minta Jabatan
12. Hadis-hadis tentang Zuhud

PUASA DALAM LINTASAN SEJARAH


Oleh : DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA

A. Literatur Sejarah Puasa
Literatur tentang hukum dan hikmah puasa banyak tersebar di mana-mana. Tetapi, literatur tentang sejarah puasa tidak banyak dan tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia. Sementara keberadaan puasa di kalangan bangsa-bangsa sebelum lahirnya Islam sudah masyhur dan disebutkan secara jelas dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 183 yang artinya, “Diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu.” Karena itu, sejarah puasa menarik untuk dibahas sebagai penjelasan kepada ayat ini. Bahkan, dalam sejarah Islam sendiri pelaksanaan puasa itu tidak selamanya sama. Seka-lipun intinya sama, yaitu menahan diri dari segala yang membatalkan puasa sepanjang hari, namun praktik-praktik yang mengitari inti puasa itu kadang-ka-dang berbeda.
Dalam kitab-kitab fikih, sejarah puasa tidak dijelaskan. Dalam tarikh tasyri`, sekelumit dari sejarahnya disebutkan bahwa puasa bulan Ramadan itu diwajibakan pada bulan Syakban tahun ke-2 Hijrah. Dalam kitab-kitab tafsir sejarah puasa terpaksa dijelaskan sebagai tafsir kepada ayat tersebut. Namun demikian, dari sejumlah kitab tafsir, maka Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha yang memberikan penjelasan yang agak panjang tentang puasa umat-umat terdahulu. Kemudian, menyusul Tafsir al-Mizan karya ulama Syiah Thabathabai. Namun, ketika berbicara tentang riwayat puasa Islam sebelum disyariatkannya puasa sebulan Ramadan, dengan mudah ia mengatakan bahwa riwayat-riwayat itu daif (lemah). Sebagai mufasir Syiah, ia menuduh riwayat itu berasal dari kaum Sunni. Penulis beruntung memiliki kitab Hikmah at-Tasyri` wa Falsafatuh karya Syekh Ali Ahmad al-Jurjawi. Ternyata, buku ini memberikan penjelasan yang agak panjang dan berisi informasi tambahan kepada informasi kitab-kitab lainnya. Karena itu, sumber tulisan ini pada dasarnya adalah Tafsir al-Manar, kitab Hikmah at-Tasyri` wa Falsafatuh, Tafsir al-Mizan, Alkitab(Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), dan Ensiklopedi Praktis Kerukunan Hidup Umat Beragama yang diedit oleh Pdt. P. Sipahutar, M.Th dan Drs. Arifinsyah, M. Ag.

B. Puasa Sebelum Islam
Ketika menafsirkan ayat tentang puasa umat-umat sebelum datangnya Islam, Rasyid Ridha menjelaskan bahwa puasa diwajibkan atas pengikut agama sebelum lahirnya Islam. Puasa menjadi salah satu rukun dari setiap agama karena puasa termasuk ibadah paling berat dan media yang paling baik untuk memperbaiki akhlak. Allah memberi tahu umat Islam bahwa puasa diwajibkan juga atas umat-umat sebelumnya untuk menunjukkan bahwa agama-agama itu satu asalnya dan tujuannya serta meneguhkan keadaan wajibnya, dan menyenangkan hati umat Islam menerima wajibnya. Sebab, suatu tugas yang memang sudah lazim berlaku sebelumnya lebih mudah diterima daripada tugas yang baru dan belum pernah diwajibkan sebelumnya.
Dalam menerangkan ayat ini, Muhammad Abduh menyatakan bahwa Allah tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang berpuasa sebe-lum Islam itu. Namun, sudah dimaklumi bahwa puasa telah dilakukan oleh selu-ruh penganut kepercayaan, termasuk penyembah berhala. Misalnya, puasa diketahui adanya di kalangan orang-orang Mesir kuno pada masa keberhalaan mereka. Dari sana, syariat puasa pindah kepada orang-orang Yunani. Mereka menjadikannya wajib terutama atas kaum perempuan. Demikian juga—tandas-nya--orang-orang Romawi mewajibkan puasa sampai sekarang. Hindu penyem-bah patung pun puasa sampai sekarang.
Al-Jurjawi mengutip keterangan DR. Ali Abd al-Wahid bahwa pengkajian tentang sejarah agama-agama menunjukkan bahwa puasa termasuk ibadah manusia yang paling tua dan paling banyak tersebar. Menurutnya, hampir tidak ada suatu agama yang dianut masyarakat yang terlepas dari kewajiban berpuasa.
Ada puasa yang dibangsakan kepada Nabi Dawud, yaitu puasa sehari berbuka sehari. Di kalangan Yahudi, puasa pada hari perdamaian atau Grafirat adalah wajib. Lamanya satu hari penuh. Orang yang melanggarnya dihukum bunuh. Hal ini dijelaskan dalam Perjanjian Lama pada kitab Imamat 16: 29, “Ini-lah yang menjadi ketetapan untuk selama-lamanya bagi kamu, yakni pada bulan yang ketujuh, pada tanggal sepuluh bulan itu kamu harus merendahkan diri dengan berpuasa dan janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan, baik orang Israel asli maupun orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu.” Tentang hukuman mati bagi orang yang tidak merendahkan diri dengan berpuasa dise-butkan pada kitab Imamat : 23 : 29, 30, “Karena setiap orang yang pada hari itu tidak merendahkan diri dengan berpuasa, haruslah dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya. Dan Setiap orang yang melakukan sesuatu pekerjaan pada hari itu, orang itu akan Kubinasakan dari tengah-tengah bangsanya.”
Dalam Perjanjian Baru, puasa dilakukan sesuai dengan kebutuhan yang biasanya dikaitkan dengan suatu keperluan, misalnya untuk persiapan menerima firman Tuhan,(Keluaran 34: 28; Daniel 9: 3), sebagai tanda penyesalan atau per-tobatan individual maupun kolektif (1 Raja-Raja 21 : 27), dan sebagai tanda kedukaan (1 Samuel 31 : 13).
Yesus berpuasa 40 hari 40 malam di padang gurun dan mengatakan bahwa jenis setan tertentu tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa. Hal ini tersebut dalam kitab Matius 4 : 1-2 dan 17 : 19-21, “Maka Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis. Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya laparlah Yesus.” “Kemudian murid-murid Yesus datang dan ketika mereka sendirian dengan Dia, bertanyalah mereka: Mengapa kami tidak dapat mengusir setan itu? Ia berkata kepada mereka: Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung itu : Pindahlah dari tempat ini ke sana,--maka gunung itu akan pindah dan takkan ada yang mustahil bagimu. Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa.”
Dalam Ensiklopedi Praktis Kerukunan Hidup Umat Beragama dijelaskan bahwa dalam tradisi Ketolik, pelakanaan puasa diadakan 40 hari sebelum Paskah tanpa menghitung hari-hari Minggu. Angka 40 mengingatkan akan 40 tahun bagi Israel menjelajah gurun sebelum masuk Tanah Suci ; 40 hari Musa berada di Gunung Sinai; dan terutama lamanya Yesus berpuasa selama 40 hari. Masa ini disebut Masa Prapaskah atau masa tobat dan persiapan diri untuk Hari Raya Paskah. Pada masa ini juga Gereja Katolik mengadakan Aksi Puasa Pemba-ngunan.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa Hindu juga mengenal puasa. Puasa secara lahirnya menghentikan kegiatan makan dan minum. Puasa secara rohani ialah mengendalikan segala hawa nafsu. Dalam praktik, ada juga penganut yang mengaku Hindu sekarang ini yang puasanya dengan meninggalkan makanan berat, seperti nasi dan roti, sementara makan permen dan kue-kue tidak dilarang.
Di kalangan Buddha puasa disebut Attangasila. Bagi umat Buddha yang melaksanakan Attangasila, ia menghindari hubungan kelamin, tidak makan sebe-lum jam 06.00 dan telah jam 12.00, dan mengendalikan nafsu-nafsu indera yang rendah. Attangasila ini dlakukan umat Buddha setiap bulan tanggal 1,8, 15, 23 berdasarkan penanggalan bulan.
Di kalangan orang Jawa, konon sejak lama ada juga puasa untuk tujuan tertentu, seperti mencari kekebalan dan ilmu gaib. Misalnya yang disebut dengan puasa mutih. Di langan perdukunan juga banyak jenis puasa.
Demikianlah keberadaan puasa dari masa ke masa di berbagai agama dan bangsa. Adapun bentuk dan cara pelaksanaan puasa tidak semua sama. Ada puasa dalam bentuk tidak makan, tidak minum, tidak melakukan hubungan kelamin, tidak bekerja, dan tidak berbicara. Ada yang bentunya dengan menahan diri dari salah satu atau sebagian saja dari semua yang disebutkan. Kata DR. Ali Abd al-Wahid, mungkin puasa dari bicara merupakan yang paling aneh dari bentuk-bentuk puasa yang pernah ada. Namun demikian, bentuk puasa dari bicara ini tersebar di banyak masyarakat primitif dan lainnya. Di masyarakat penduduk asli Australia, wajib atas perempuan yang suaminya meninggal puasa dari bicara dalam masa yang panjang yang kadang-kadang sampai satu tahun lamanya. Tampaknya, puasa semacam ini pernah diikuti di kalangan Yahudi sebelum datangnya Yesus. Hal ini dipahami dari perintah Allah kepada Siti Maryam dalam Alquran surat Maryam ayat 26 yang artinya, “Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah :Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.”

C. Puasa Islam dari Masa ke Masa
Sebagian ulama tafsir mengatakan bahwa puasa Ramadan telah diwajibkan atas Ahlulkitab. Belakngan, orang Yahudi dan Nasrani meninggalkannya. Seba-gian sejarawan mengatakan bahwa puasa Ramadan tersebar di sebagian kabilah Arab di masa Jahiliyah, khususnya kabilah Kuraisy. Hanya saja, riwayat-riwayat ini tidak memiliki dalil yang pasti. Bagaimanapun sekiranya puasa Ramadan pernah disyariatkan atas orang Yahudi dan Nasrani atau tersebar di kalangan Arab Jahiliyah, hal ini tidak mengurangi sedikit pun keabsahannya disyariatkan dalam Islam. Sebagai Agama yang berasal dari Tuhan yang sama, Islam banyak melan-jutkan syariat yang diajarkan Nabi Ibrahim, Musa, dan Isa. Sejumlah riwayat menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. berpuasa sebelum diwajibkannya puasa Ramadan. Namun, puasa Ramadan atas umat Islam mulai diwajibkan pada bulan Syakban tahun kedua sesudah hijrah Nabi saw. Dalil wajibnya puasa Rama-dan adalah Alquran surat al-Baqarah ayat 183-185 dan sejumlah hadis sahih riwayat al-Bukhari dan lainnya. Puasa pengganti dan puasa nazar juga termasuk puasa wajib. Selain itu ada sejumlah puasa sunnat, seperti puasa Senin dan Kamis, puasa enam hari pada bulan Syawal, puasa hari Arafah, dan puasa tiga hari pada pertengahan setiap bulan Qamariyah. Ada pula hari-hari yang puasa padanya haram, yaitu Hari Raya Fitrah, Hari Raya Adha (Haji) dan hari-hari tasyrik, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 dari bulan Zulhijah.
Puasa dalam Islam ialah menahan diri dari segala yang membatalkan dari waktu terbit fajar sampai terbenam matahari dengan berniat puasa pada setiap malamnya. Inilah yang pokok dari puasa. Adapun cara pelaksanaanya terdapat perbedaan dari satu tempat ke tempat yang lain dan dari masa ke masa yang lain. Misalnya di India, ada masyarakat yang ketika matahari terbenam, mereka pergi ke masjid dan berbuka bersama. Sebelum berbuka, mereka menyanyikan hikayat tentang anak kecil yang hendak puasa, tapi dicegah ibunya. Anak itu berpuasa juga, tapi sayangnya meninggal waktu Asar. Singkatnya, datanglah Malaikat Jibril menyeru anak itu bangun. Ternyata anak itu kembali hidup. Hikayat ini bertujuan menunjukkan betapa hebatnya kekuatan puasa itu, yang mati bisa hidup. Hikayat ini mereka nyanyikan sekitar setengah jam sebelum berbuka. Setelah salat Isya dan tarawih mereka membaca Alquran. Sampai sekarang, orang India selalu mengadakan buka dan makan bersama dengan mengundang sanak keluarga. Buka bersama ini dilakukan dari rumah ke rumah untuk mempererat silaturrahim.
Pada masa pemerintahan Fatimiyah di Kairo, sesuai dengan akidah Syiah Ismailiyah yang mereka anut, bulan Ramadan adalah bulan Imam (Khalifah). Seminggu sebelum Ramadan, para hakim Fatimiyah keluar dalam rombongan yang megah. Mereka keliling melihat-lihat persiapan masjid untuk memeriksa apa yang dibutuhkan masjid dalam memeriahkan penyambutan bulan Ramadan. Pada akhir bulan Syakban, rombongan resmi Khalifah keluar dengan wibawa yang besar di dalam jiwa rakyatnya. Sebab, menurut akidah Syiah Ismailiyah Fatimiyah tidak sah puasa kecuali apabila rakyat melihat Khalifah. Khalifah menziarahi kuburan leluhurnya. Rombongan kembali ke Istana dan sebagian tinggal di luar menunggu hidangan dan hadiah. Mereka terus bergembira sampai sahur. Hi-dangan ini berlanjut sampai akhir Ramadan.
Di Indonsia dahulu orang sangat membesarkan bulan Ramadan dan pelaksanan puasa. Begitu hebohnya masa menyongsong bulan Ramadan sehingga bulan Rajab disebut bulan serabi karena pada bulan ini banyak orang melaksanakan kenduri serabi. Bulan Syakban disebut bulan nasi karena padanya banyak orang melakukan kenduri nasi. Kegiatan ini setidak-tidaknya berlaku di kalangan Melayu pesisir. Tradisi ini berlangsung meriah sampai tahun 1960-an. Sekarang sudah hilang. Namun, tampaknya pemerintah Tanjungbalai Asahan berusaha menghidupkannya. Lebih kurang dalam tiga tahun belakangan, di Masjid Raya Tanjungbalai Asahan diadakan kenduri serabi dan kenduri nasi. Acara ini diseponsori Wakil Walikota, Drs. H. M. Thamrin Munthe, M.Hum. Dahulu, pada malam Ramadan di masjid dan musalla beberapa grup melaksanakan tadarus. Sekarang sudah jarang. Dahulu, sanak saudara dan tetangga saling mengirim pebuka, sekarang sudah jarang. Dahulu orang yang tidak berpuasa segan menunjukkan dirinya tidak puasa, tapi sekarang orang yang tidak berpuasa tanpa rasa malu makan dan merokok sesuka ha-tinya.
Sekarang, semarak kebiasaan ziarah kubur dua tiga hari sebelum masuk Ramadan. Imam salat tarawih dikontrak dari kalangan para hafiz. Sebelum salat tarawih diadakan ceramah singkat yang disebut kultum (kuliah tujuh menit) atau kulibas (kuliah lima belas mineit). Setelah witir, jarang yang tinggal di masjid untuk tadarus. Malam sepuluh terakhir juga sulit mencari orang yang melakukan iktikaf.

Rabu, 23 Juli 2008

SUDAH SAATNYA PARA ULAMA MENGHARAMKAN ROKOK

Oleh : DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA
Ketua Komisi Dikbud MUI SU

A. Bahaya Rokok
Para pakar dan lembaga kesehatan telah banyak menjelaskan bahaya merokok. Kematian adalah salah satu bahaya merokok. Stacey Kenfield dari Harvard School of Public Health di Bostom dan para koleganya menjelaskan dalam sebuah laporan yang diterbitkan oleh Journal of the American Medical Association bahwa temuan mereka menunjukkan bahwa 64 persen kematian pada perokok dan 28 persen kematian pada mantan perokok, ternyata disebabkan rokok. Menurut mereka juga, pada tahun 2000 terdapat lima juta kematian prematur yang dise-babkan rokok. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa pada tahun 2030, kematian yang disebabkan tembakau akan mencapai tiga juta jiwa per tahun di negara-negara industri dan tujuh juta jiwa di negara-negara berkembang.
Rokok menyebabkan kematian melalui berbagai perusakan bagian tubuh dan penyakit yang ditimbulkannya. Sebesar 87 persen kematian karena kanker paru-paru didapati pada para perokok. Para perokok memiliki resiko 70 persen lebih besar terjangkit penyakit yang berhubungan dengan jantung dan pembuluh da-rah.Wanita yang merokok 40 batang atau lebih setiap hari memiliki kemungkin-an 74 persen lebih besar meninggal karena kanker payudara. Selain itu, rokok juga dapat menyebabkan penyakit-penyakit lain seperti kanker usus, asma, leukemia, daebetes, depresi, kanker mulut, kanker pangkal tenggorokan, esofagus, pankreas, lambung, usus kecil, kandung kemih, ginjal, leher rahim, stroke, dan kemandulan.
Dinas Kesehatan Kota Medan pernah menjelaskan bahwa dari setiap batang rokok yang dinyalakan mengeluarkan lebih kurang 4000 bahan kimia beracun yang sangat berbahaya dan menyebabkan kematian. Kandungan asap rokok mengandung racun tar yang mengandung 43 bahan kimia yang menjadi penyebab utama kanker, nikotin dan karbon bioksida yang merupakan gas beracun yang biasanya dikeluarkan oleh kenalpot kenderaan. Asap rokok juga mengandung zat beracun, seperti acetone (bahan cat) ammonia (pencuci lantai), racun serangga, arsenic, dan gas beracun.
Asap rokok tidak hanya mematikan pengisapnya, tetapi juga membunuh orang di sekitarnya yang disebut perokok pasif. Bahkan, perokok pasif, yaitu orang yang tidak merokok, tetapi menghirup asap rokok orang di sebelahnya lebih berbahaya daripada perokok aktif. Sebab, perokok aktif mungkin sudah memiliki sedikit ke-kebalan karena terbiasa, sedang perokok pasif sama sekali tidak memiliki keke-balan.

B. Hiruk-Pikuk Larangan Merokok
Di mana-mana orang mulai sadar akan bahaya rokok. Karena itu, larangan merokok telah menggema di mana-mana. Larangan ini ada dalam bentuk langsung dan ada pula dalam bentuk tidak langsung. Sejak lama kita melihat di tempat-tempat tertentu, terutama di ruang ber-AC tertempel tanda larangan merokok. Dulu, dalam pesawat dilarang merokok kecuali di bagian belakang. Se-karang, semua penerbangan sudah bebas asap rokok. Badan Kesehatan Dunia (WHO) sudah menetapkan tanggal 31 Mei sebagai hari tanpa asap rokok. WHO juga membuat program “Kawasan Tanpa Rokok.” Program ini sudah dikuti oleh sejumlah negara, seperti India, Vietnam, Singapura, dan Malaysia. Larangan merokok di tempat-tempat umum dan tempat-tempat kerja di Inggeris diberlakukan sejak bulan Juli lalu, di Skotland diberlakukan sejak tahun 2006, sedang di Wales dan Irlandia Utara sejak tahun 2007. Bahkan, menurut British Broadcasting Corporation, larangan untuk memajang rokok di toko tanpaknya akan diberlakukan di Inggeris sesuai dengan rencana pemerintahnya untuk me-ngurangi orang perokok dan mencegah anak-anak merokok. Demikianlah hiruk-pikuknya larangan merokok bermunculan di negara-negara sekuler dan sebagian negara Islam. Pemerintah DKI Jakarta sendiri telah membuat Perda larangan merokok di tempat umum yang disahkan oleh DPRD-nya pada tanggal 4 Februari 2005. Pelanggar Perda ini akan mendapat sanksi kurungan enam bulan atau denda sebesar Rp 50.000.000,-
Larangan secara tidak langsung kita temukan misalnya pada setiap bungkus rokok, di luar negeri, di Timur Tengah, maupun di dalam negeri. Pada bungkus rokok di negara-negara Barat tertulis, “Smoking is dangerous for health.” Pada bungkus rokok di Timur Tengah tertulis, “at-Tadkhin yadhurrush shihhah” (Me-rokok membahayakan kesehatan). Di Indonesia kalimatnya lebih mengerikan lagi, “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, inpotensi, dan gangguan kehamilan dan janin.”
Adapun alasan merokok karena mencari pergaulan, cari inspirasi, ingin gagah, tampil machoistik, perkasa, atletis, dan disukai perempuan semuanya adalah mitos belaka. Berapa banyak orang tidak perokok, tetapi pergaulannya luas dan bisnisnya suskes. Berapa banyak orang jadi ilmuan dan pemikir, tetapi tidak me-rokok. Pada umumnya, perempuan tidak senang suaminya merokok, baik karena alasan ekonomi maupun kesehatan dan bau busuknya.

C. Saatnya Ulama Mengharamkan Rokok
Di zaman lampau, para ulama berbeda pendapat tentang hukum rokok. Menu-rut Komisi Tetap Penelitian Ilmiah dan Fatwa di Riadh, hukum merokok haram. Abd al-Aziz bin Abdullah bin Baz mengharamkan rokok dan mengharamkan memperjualbelikannya. Muhammad Nasir ad-Din dan Dr. Yusuf al-Qardhawi juga juga mengharamkan rokok.
Prof. Dr. Abd al-Halim Mahmud menfatwakan makruh merokok jika tidak merusak kesehatannya dan tidak mengurangi nafkah tanggungannya. Merokok menjadi haram jika merusak kesehatannya atau mengurangi nafkah tanggung-annya. Sementara Prof. Dr. Mahmud Syaltut tidak menetapkan hukum merokok secara langsung. Tetapi, ia menggantungkan hukumnya kepada pengaruhnya pada akidah, akal, harta atau harga diri. Menurutnya, keharaman dan kemakruhan se-suatu didasarkan kepada kepada kadar pengaruhnya pada bidang-bidang tersebut. Namun, hasil paparan Syaltut cenderung kepada haramnya merokok karena ia mengatakan bahwa memelihara kesehatan wajib. Dr. Ahmad Syarbashi tidak tegas menya-takan hukum rokok, bisa mubah, makruh, dan haram tergantung kepada mudrat dan tidak mudratnya rokok itu.
Perbedaan ini muncul terutama karena tidak ada nas yang jelas tentang hukum rokok itu, baik dalam Al-Quran maupun dalam Hadis. Demikian juga, tidak ada nas dari para ulama mujtahid karena tembakau baru dikenal di dunia Islam pada permulaan abad XI Hijriah. Kemudian, di zaman mereka bahaya rokok belum sejelas di zaman kita sekarang sehingga sebagian mereka ragu mengharamkannya.
Sekarang, bahaya merokok sudah sangat jelas dan tidak ada keraguan tentang mudrat yang ditimbulkannya, terutama terhadap keselamatan diri dan kesehatan sehingga larangan merokok telah diberlakukan di negara-negara sekuler. Sementara dalil-dalil ten-tang haramnya melakukan perbuatan yang membahayakan keselamatan diri dan kesehatan jelas dan cukup banyak dalam Al-Quran dan Hadis. Misalnya, firman Allah, Wa la tulqu bi aidikun ilat tahlukah (Jangan kamu biarkan diri kamu jatuh kepada kebinasaan); hadis La Dharara wa la dhirara (Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan diri orang lain.} Merokok adalah pemborosan. Allah berfirman, Wa la tubazzir tabziran (Jangan berlaku boros); Wa la tusrifu innahu la yuhibbul musrifin (Dan janganlah kamu memboros, sesung-guhnya Allah tidak suka kepada orang-orang pemboros.) Merokok adalah bau busuk dan jorok. Firman Allah, Wa yuharrimu `alaihimul khabaits (Dan Ia mengharamkan atas mereka hal-hal jorok)
Uraian di atas menunjukkan betapa para kaum sekuler dan negera-negara Barat sudah mengharamkan rokok karena kematian dan berbagai penyakit berba-haya yang ditimbulkannya. Sementara para ulama belum banyak yang berani mengharamkannya. Soal tidak adanya nas secara tekstual bukanlah halangan un-tuk mengharamkan sesuatu dalam ajaran Islam. Tuak, Narkoba, dan bermacam-macam hal yang haram dalam Islam tidak mempunyai dalil nas langsung dari Al-Quran dan Hadis, tetapi jelas haramnya berdasarkan metode penggalian hukum Islam. Dengan demikian, saat ini para ulama sudah waktunya mengharamkan ro-kok. Kalau tidak, para ulama akan kehilangan fungsinya sebagai penuntun umat.
Jika kaum sekuler melarang rokok di ruang ber-AC, pesawat, tempat umum, dan tempat kerja, maka para ulama hendaknya mulai pengharaman rokok di masjid, musalla, sekolah Islam, kantor-kantor MUI, Ormas Islam, forum dan seminar keagamaan, majelis taklim, dan majelis zikir. Sebelum itu, para ulama, para ustaz, para dai dan muballig, seharusnya lebih dahulu mengharamkan rokok pada diri mereka. Ulama sebagai panutan hendaknya tampil sebagai teladan yang baik. Sungguh janggal bila seorang alim dan ustaz tapi merokok di depan umat-nya.
Bagi orang yang terlanjur menjadi perokok, sebenarnya tidak payah untuk meninggalkannya. Yang terpenting adalah niat dan kemauan. Sungguh banyak bukti tentang perokok meninggalkan rokok hanya dengan modal niat dan kema-uan yang kuat. Bisa juga dengan cara bertahap menguranginya sedikit demi sedikit. Setelah berhenti merokok, mereka hanya mengantuk selama tiga minggu. Sesudah itu semuanya kembali normal seperti biasa.

Medan, 16 Juli 2008

DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA

Jumat, 18 Juli 2008

BENARKAH JEMAAH AHMADIYAH INDONESIA TIDAK MEMPERCAYAI MIRZA GHULAM AHMAD SEBAGAI NABI


Oleh : Dr. H. Ramli Abdul Wahid, MA
Ketua Komisi Dikbud MUI SU

A. Pengakuan Mirza Sebagai Nabi
Harian Waspada terbitan, Jumat, 25 April 2008 telah memuat tulisan berjudul, “Ajaran dan Klaim Pendiri Aliran Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad.” Mirza mempunyai banyak ajaran dan klaim yang bertentangan dengan ajaran pokok Agama Islam. Dalam tulisan tersebut dikemukakan tujuh belas ajaran dan klaim Mirza yang dikutip langsung dari Kitab Tazkirah Wahyun Muqaddasun (Wahyu Suci) sebagai himpunan wahyu yang diterimanya dari Tuhan. Sumber lain adalah buku-buku karangan langsung Mirza, yaitu al-Istifta’, Maktub Ahmad, Mawahib ar-Rahman, dan Eik Ghalathi Ka Izalah dalam bahasa Urdu yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul, Memperbaiki Suatu Kesalahan oleh H.S. Yahya Pontoh. Tujuh belas ajaran dan klaim Mirza tersebut sengaja dikemukakan secara leterlek tanpa komentar agar pembaca memahaminya secara mandiri, tanpa dicampuri analisis dari penulis.
Ajaran pokok Mirza adalah pengakuannya sebagai nabi dan rasul. Mirza lahir jauh sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw. Mirza lahir di Qadian, India pada tahun 1835 dan meninggal pada tahun 1908. Sementara Alquran dan Hadis menjelaskan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir, tidak ada lagi Nabi sesudahnya. Keyakinan tentang Nabi Muhammad sebagai Nabi penutup adalah ajaran prinsipil dalam Islam. Ini adalah masalah akidah. Akidah lebih penting daripada syariah. Orang yang akidahnya salah menjadi sesat dan bisa keluar dari Agama Islam. Ibadah, puasa, zakat, haji, dan segala ibadahnya tidak sah. Sebaliknya, orang yang tidak salat, tidak puasa, tidak berzakat karena malas, bukan karena meyakini bahwa ibadah-ibadah ini tidak wajib, ia masih tetap Muslim. Hanya saja, ia berdosa dan akan masuk neraka untuk menebus dosanya itu dan kemudian masuk sorga karena ia masih tetap Mukmin. Karena itu, pengakuan Mirza sebagai Nabi dengan segala perangkatnya, seperti turunnya wahyu, adanya mukjizat, dan kedatangan Jibril kepadanya menjadi dasar bagi para ulama di masanya dan sampai sekarang untuk mengkafirkannya. Demikian juga para pengikutnya.
Kepercayaan akan kenabian Mirza ini jugalah yang menjadi masalah pada Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Sekiranya Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) benar tidak mengakui Mirza sebagai nabi dengan segala perangkat kenabiannya, permasalahan Ahamdiyah sudah selesai. Karena itu, umat Islam perlu mengetahui apakah JAI mempercayai kenabian Mirza atau tidak.

B. Kenabian Mirza di Kalangan JAI
Untuk mengetahui apakah Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) meyakini kenabian Mirza atau tidak, penyelidikan harus dilakukan melalui sumber-sumber autentik, yaitu Anggaran Dasar(AD) JAI dan buku-buku serta pernyataan-pernya-taan yang dikeluarkan oleh JAI secara resmi. Sumber-sumber tulisan ini adalah Anggaran Dasar Jemaah Ahmadiyah Indonesia (AD JAI), buku Kami Orang Islam(KOI) Cet. V, Penerbit Jemaat Ahmadiyah Indonesia, tahun 1985; buku Tiga Masalah Penting(TMP) karya H. Mahmud Ahmad Cheema H.A., yang sudah cetak ulang lima belas kali dari tahun 1985 sampai 2004. Buku ini telah diperiksa oleh Dewan Naskah Jemaat Ahmadiyah Indonesia, SK Dewan Naskah NO. 011/26.09-95 dan diterbitkan oleh Hajaruddin S.Ag & MI (1995) Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Jl. Raya Parung Bogor No. 27, PO Box 33/Pru, Parung Bogor 16330; buku Memperbaiki Suatu Kesalahan (Eik Ghalathi Ka Izalah) karya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Alih bahasa : H.S. Yahya Pontoh, diterbitkan oleh Jelamaat Ahmadiyah Indonesia, 1993; dan Penjelasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia Terhadap Keberatan-keberatan dari Pihak Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) yang dikeluarkan oleh Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Jl. Raya Parung-Bogor No. 27, Bogor pada tanggal 27-09-94 ditujukan kepada Ketua Mahkamah Agung RI, Jl. Merdeka Utara, Jakarta Pusat dan untuk memudahkan, selanjutnya akan disebut Penjelasan.
Dalam AD Jemaat Ahmadiyah Indonesia (AD-JAI) dijelaskan sebagai berikut. I. Nama dan Waktu didirikan : Djemaat Ahmadiyah bagian Indonesia diberi nama Djemaat Ahmadiyah Indonesia dapat tempat kedudukan Djakarta dan didirikan pada tahun 1925. (M) untuk waktu yang tidak tertentu. II. Maksud : Maksud Djemaat ini ialah menjebarkan Agama Islam menurut peladjaran Hazrat Masih Mau’ud a.s. dan para Khalifahnja keseluruh Indonesia, dan membantu Djelamaat Ahmadiyah diluar Indonesia dalam hal itu. V. Terhadap Pemerintah: Djemaat Ahmadiyah Indonesia-berdasar atas peladjaran Ahmadiyah—tunduk pada Undang-undang Negara. VIII. Keahmadiyahan (Keanggautaan) : Djemaat Ahmadiyah Indonesia ini terdjadi dari orang-orang Ahmadi. Jang disebut Ahmadi ialah : a. Laki-laki atau perempuan jang telah beriman dan mengaku dengan hati dan iqrar dengan lisan atau tulisan (baiat) bahwa segala da’wa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. itu benar dan mengikuti kepada jang mendjadi Khalifah-khalifah, dan ia masuk dalam baiat Khalifah jang ada pada waktu itu. Sjarat-sjarat jang sepuluh dan formulir baiat terlampir sebagai lampiran I; b. Anak-anak orang Ahmadi jang belum ‘aqil baligh.
Syarat-syarat baiat masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah yang sepuluh dise-butkan dalam buku KOI, halaman 18-19. Syarat-syarat nomor 1 sampai ke-9 biasa-biasa saja. Syarat ke-10 adalah: “Dia akan mengikat janji persaudaraan dengan Hamba Allah ini (Masih Mau’ud a.s.) semata-mata karena mencari keridhaan Allah Ta’ala, yakni bahwa dia akan mentaati aku dalam segala hal ma’ruf yang aku anjurkan kepadanya, kemudian dia tidak akan berpaling dari padanya dan tidak pula akan memungkirinya sampai mati. Dan janji persaudaraan ini hendaklah demikian sempurnanya sehingga tidak ada pertalian-pertalian dunia yang dapat menyamainya, baik pertalian kekeluargaan ataupun perniagaan.”
Pasal VIII dari AD ini jelas menunjukkan bahwa JAI mengakui kebenaran segala dakwaan Mirza, taat kepadnya, dan siap mengikuti Khalifah-khalifahnya. Sebagaimana disebutkan terdahulu bahwa dakwaan pokok Mizra adalah statusnya sebagai nabi dan rasul Tuhan. Dalam syarat baiat ke-10 jelas pula bahwa JAI taat sepenuhnya sampai mati kepada apa saja yang dianjurkan oleh Mirza.
Kepercayaan JAI tentang kenabian Mirza juga mereka tegaskan dengan mengutip pernyataan Mirza dalam buku KOI hlm. 27 sebagai berikut. “Keadaan sebenarnya hanyalah ini : bila saya (Mirza-red) menyebutkan diri saya seorang Nabi, saya maksudkan hanya bahwa Allah SWT berbicara dengan saya, bahwa Dia sangat sering berkata-kata dengan saya dan Dia bercakap-cakap dengan saya dan menerima penganbdian saya dan mewahyukan kepada saya hal-hal ghaib, dan membukakan kepada saya rahasia-rahasia yang berhubungan dengan masa datang dan yang tidak Dia bukakan kepada seorang yang tidak Dia cintai dan dekat kepada-Nya. Sesungguhnya Dia mengangkat saya sebagai nabi dalam arti itu.”
Pengutipan pengakuan nabi oleh Mirza menunjukkan keyakinan JAI akan kenabiannya. Dalam buku KOI, hlm. 65, JAI mengemukakan ayat 6 dari surat as-Shaf yang artinya, “Dan ingatlah ketika Isa putra Maryam berkata : Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumnya yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (akan datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku yang namanya Ahmad.” JAI berkomentar, Dalam ayat ini nama Ahmad adalah diperuntukkan kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad karena beliau sama dengan Nabi Isa as. dalam sifat-sifatnya. Ini juga berarti pembenaran JAI akan kenabian Mirza.
Tentang keyakinan JAI akan kenabian Mirza lebih tegas dalam Penjelasan hlm. 1 yang mereka buat sebagai berikut. Ahmadiyah meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu Nabi dan Rasul adalah berdasar pengakuan bahwa beliau mendapat wahyu dan diangkat oleh Tuhan. Jadi bukan atas kemauan beliau sendiri. Tuhan mempunyai kekuasaan dan wewenang mengangkat siapa saja di antara hamba-hamba yang dipilih-Nya. Adapun dalam syahadat, JAI tidak perlu mengubah nama Muhammad karena Mirza Ghulam Ahmad mengaku bernama bernama Muhammad. Dalam buku karyanya yang berjudul Memperbaiki Suatu Kesalahan (Eik Ghalathi Ka Izalah) hlm. 5, Mirza berkata, “Dalam wahyu ini (Muhammad Rasulullah-Red) Allah swt. menyebutkan namaku “Muhammad” dan “Rasul.” Buku ini dicetak oleh JAI pada tahun 1993 menunjukkan bahwa mereka memeprcayai dan menyiarkannya menjadi pegangan bagi anggotanya.
JAI tidak hanya mengakui kenabian Mirza, tetapi lebih dari itu mereka mempercayai akan datangnya lagi nabi-nabi sampai akhir zaman. Dalam buku JAI, KOI, hlm 45, JAI mengemukakan surat 22 : 76 yang artinya, “Allah akan memilih rasul-rasul dari malaikat dan manusia.” JAI berkomentar, “Dalam ayat ini jelas sekali pemilihan rasul-rasul akan tetap berlaku karena perkataan memilih dengan shigha mudhari’ yang harus diartikan sedang atau akan memilih, bukan telah memilih.” “Mengartikan dengan telah atau sedang—menurut JAI-- adalah salah sekali.” Pada hlm. 46, JAI menegaskan, “Maka tidak ada alasan pemilihan tidak akan dilakukan lagi sesudah Nabi Muhammad saw.” Allah berfirman dalam surat al-Maidah : 4 yang artinya, “Hari ini Aku telah menyempurnakan atas kamu nikmat-Ku dan Aku ridhai Islam itu menjadi agamamu.” Ketika ada orang yang menjadikan ayat ini sebagai bagian dari dalil atas bahwa Nabi Muhammad itu Nabi terakhir, JAI membantahnya dalam buku yang sama pada hlm. 53 sebagai berikut. “Dengan ayat ini pihak yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad saw. Nabi yang terakhir mengatakan bahwa agama Islam sempurna dengan tidak perlu seorang nabi datang lagi. Kalimat “menyem-purnakan” tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak ada lagi Nabi sesudah Nabi Muhammad saw. Allah telah menganjurkan kepada Umat Islam supaya selalu minta kepadaNya agar nikmat-nikmat yang telah diberikan kepada umat-umat terdahulu diberikan pula kepada umat Islam.”
Adapun hadis riwayat Abu Dawud dan at-Tirmizi yang artinya, “Akan datang nanti dalam umatku 30 orang sangat pendusta, masing-masing mendakwakan dirinya menjadi Nabi sedangkan aku adalah penutup nabi-nabi, tidak ada nabi sesudahku,” JAI membuat penafsirannya sendiri. JAI membuat keterangan dalam buku KOI, hlm. 59, “Membataskan bahwa nanti akan muncul 30 orang pembohong Dajjal yang mendakwakan dirinya Nabi itu, sudah menunjukkan akan adanya Nabi yang benar. Kalau tiap-tiap Nabi yang mendakwakan dirinya dianggap pendusta, tentu Nabi saw. mengatakan tiap-tiap yang mendakwakan dirinya Nabi semuanya bohong.” Penafsiran ini jelas tidak mengikuti kaedah bahasa, tidak masuk akal, dan mengada-ngada. Di bagian akhir hadis itu sendiri sudah dijelaskan apa maksud tiga puluh nabi palsu. Di bagian akhir Nabi Muhammad sudah menegaskan bahwa ia penutup Nabi dan tidak ada Nabi sesudahnya. Menurut bahasa, dalam hadis ini sama sekali tidak terkandung makna bahwa yang akan datang itu 30 nabi palsu dan yang lainnya nabi yang benar. Justru, bahasa hadis ini menutup adanya lagi nabi yang benar sesudah Nabi Muhammad. Jika ada lagi yang mengaku nabi, itu adalah nabi palsu. Seandainya pun penafsiran JAI ini diikuti, JAI harus menunjukkan mana 30 nabi yang palsu itu dan apa tanda-tandanya. Jika JAI mengatakan bahwa nabi yang benar berdasarkan turunnya wahyu kepadanya, semua nabi palsu mengaku menerima wahyu dari Tuhan. Para sahabat, para ulama tafsir, para ulama hadis, dan para ulama mujtahid, semuanya tidak pernah membuat penafsiran seperti yang dibuat JAI. Di zaman Nabi saw., zaman sahabat, dan tabiin, setiap muncul orang yang mengaku nabi dihukum bunuh. Karena itu, para ulama di masa hidup Mirza sendiri sudah memnfatwakan kekafirannya dan para pengikutnya. Ini adalah pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sendiri antara lain dalam bukunya yang berjudul Mawahib ar-Rahman, hlm. 12 dan buku al-Istifta’, hlm. 53. Pakistan sebagai negeri tempat kelahirannya menetapkan Ahmadiyah sebagai non-Muslim. Kerajaan Arab Saudi melarang Ahmadiyah masuk mengerjakan haji karena me-mandangnya sebagai non-Muslim.
Dalam Penjelasan, hlm. 3, JAI mengatakan, “Adanya nabi sesudah Nabi Muhammad saw. tidak mengurangi kemuliaan serta keagungan beliau, bahkan meningkatkan martabat serta derajat beliau. Akan tetapi, nabi sesudah beliau saw. hanyalah nabi ummati (nabi ummat/pengikut) dan sekali-kali tidak membawa syariat…” Benarkan Mirza tidak membawa syariat. JAI sendiri memberikan penjelasan dalam Penjelasan, hlm. 7 dengan mengutip penjelasan ulama mereka sebagai berikut. “Mengenai mereka (yakni orang-orang Ahmadiyah) tidak mau mengadakan hubungan perkawinan dengan orang yang bukan Ahmadiyah dan tidak pula mau sembahyang di belakang orang yang bukan Ahmadiyah, maka yang demikian itu bukanlah satu hal yang patut disalahkan.Adakah Tuan sendiri bersedia kawin di lingkungan satu keluarga yang anggota-anggotanya menentang pendirian Tuan? Dan adakah Tuan sudi bersembahyang di belakang orang-orang yang menurut tingkah lakunya tidak layak jadi imam?”
Keterangan menunjukkan pengakuan JAI akan adanya syariat JAI yang berbeda dengan umat Islam. Dalam salatnya saja mereka tidak boleh sama dengan orang orang Islam. Menurut Islam, perempuan Ahlulkitab saja boleh dikawini oleh orang Islam. Berarti, orang Islam lebih kafir dari Ahlulkitab menurut JAI sehingga tidak boleh sama sekali kawin antara JAI dengan orang Islam. Dalam buku KOI, hlm. 19 JAI menerangkan bahwa “seorang yang masuk Jemaat Ahma-diyah wajib berjanji akan memberikan sumbangan untuk da’wah dan tabligh Islam sedikitnya seperenam belas (1/16 dan adakalanya sampai sepertiga (1/3) dari penghasilan atau gaji yang diperdapatnya dalam tiap-tiap bulan.”
Ketentuan tentang tidak bolehnya JAI kawin dengan non-Ahmadi, tidak bolehnya salat di belakang non-Ahmadi, dan wajibnya seorang Ahmadi menye-rahkan 1/16 sampai 1/3 dari penghasilan perbulan kepada JAI, tidakkah ini syariat yang tidak ditemukan dalam Islam.

C. Kesimpulan
Sebagaimana telah disebutkan di awal tulisan ini bahwa masalah akidah lebih menentukan seseorang itu Islam atau tidak, daripada hal-hal syariat. Sementara itu, JAI secara resmi tertulis mengakui kenabian Mirza. Bahkan, JAI mengimani akan munculnya nabi-nabi lain sesudah Mirza. Pengakuan akan kenabian Mirza dan keabsahan kedatangan nabi-nabi sesudah Mirza dengan segala pembelaan JAI akan keyakinannya ini telah jelas dalam kutipan-kutipan di atas. Ternyata, JAI juga mengakui akan adanya syariat yang berbeda dengan syariat Islam sehingga seorang Ahmadi tidak boleh kawin dengan non-Ahmadi, tidak boleh salat di belakang non-Ahmadi, dan adanya kewajiban yang tidak dikenal dalam syariat Islam. Perbedaan syariat antara satu agama dan lainnya tidak harus secara total. Perbedaan syariat Islam dengan syariat agama-agama sebelumnya tidak semuanya secara total. Karena itu, syariat haji, syariat kisas, syariat diat, dan syariat khitan ditemukan juga dalam syariat agama-agama samawi sebelum Islam. Demikian juga halnya dengan syariat Ahmadiyah. Tidak harus semuanya berbeda dengan syariat Islam. Namun, tampak jelas bahwa JAI mempunyai syariat yang tidak ditemukan dalam Islam. Berdasarkan AD JAI dan penjelasan serta buku-buku yang diterbitkannya, JAI jelas berbeda dengan Islam, baik dalam akidah maupun dalam syariat.
Kutipan-kutipan di atas menunjukkan paham, keyakinan, dan penafsiran JAI bertentangan dengan Islam. Mudah-mudahan, mereka menyadari kekeliruan me-reka sehingga dapat kembali kepada Islam yang benar. Inilah jalan terbaik dan yang paling selamat di dunia dan akhirat.

Medan, 12 Mei 2008

DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA

Selasa, 15 April 2008

TELAAH TERHADAP PAHAM DAN ARGUMEN

Oleh : DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA
ABSTRAKSI
Inkar Sunnah merupakan suatu paham menolak Hadis Nabi saw. yang lahir sejak masa awal Islam, terutama di zaman Imam asy-Syufii dan mengalir timbul tenggelam dalam sejarah sampai masa sekarang. Paham ini bertentangan dengan perintah Alquran untuk mengikuti dan menaula-dani Nabi dalam melaksanakan ajaran Alquran. Karena menolak Sunnah, sedang keterangan Al-quran bersifat umum dan tidak terperinci, maka penganut Inkar Sunnah menafsirkan Alquran se-kehendak hatinya, baik dalam menguatkan pahamnya maupun dalam pelaksanaan ibadah dan a-mal Islam. Sebagian mereka salat dua tiga kali sehari semalam dan sebagian yang lain lima kali. Rakaatnya pun masing-masing dua rakaat. Salat bentuk lain pun boleh juga. Argumen mereka ti-dak benar dan berdasarkan nas-nas Alquran dan Hadis, paham Inkar Sunnah adalah sesat dan ke-luar dari Islam.


A. Sejarah
Ingkar Sunnah berarti penolakan terhadap Hadis Nabi saw., baik secara keseluruhan maupun sebagian. Kajian tentang Ingkar Sunnah secara historis selalu merujuk kitab al-Umm karya Imam Syafii (w. 150 H). Di zaman modern, terkenal tokoh Inkar Sunnah di berbagai daerah, seperti Taufiq Shidqi di Mesir, Garrah Ali dan Gulam Ahmad Parwez di India-Pakistan, Kassim Ahmad di Malaysia, Rasyad Khalifah di Amerika, Haji Abdurrahman, Ustaz H. Sanwani, dan Ir. Irham Sutarto di Jakarta, Dailami Lubis di Sumatera Barat, dan untuk Medan juga sudah ada, baik yang terus terang menolaknya maupun yang menolaknya secara ilmiah.
Inkar Sunnah ada dua macam, yaitu pengingkar Sunnah secara keseluruhan dan pengingkar sebagian saja. Pengingkar hadis yang mutawatir hukumnya kafir, sedang pengingkar hadis yang sahih ahad fasik. Pengingkar seluruh Hadis berarti kafir karena termasuk di dalamnya hadis mutawatir. Bahasan dalam makalah ini adalah tentang pengingkar seluruh Hadis.

B. Ajaran Pokok Ingkar Sunnah
1. Dasar ajaran Islam hanyalah Alquran karena Alquran sudah lengkap dan sempurna
2. Tidak percaya dan menolak seluruh Hadis Nabi saw.
3. Nabi Muhammad tidak berhak untuk memberikan penjelasan apa pun tentang Alquran
4. Syahadat mereka adalah Isyhadu bi annana muslimun (saksikan kamulah bahwa kami orang-orang Islam)
5. Rakaat dan cara salat terserah kepada masing-masing, boleh dua rakaat dan boleh dengan eling (ingat) saja
6. Puasa wajib bagi yang melihat bulan saja, tidak wajib bagi orang yang tidak melihatnya dengan alasan ayat faman syahida minkumusy syahra falyashumhu (Barang siapa yang melihat bulan di antara kamu maka hendaklah ia puasa)
7. Haji boleh dilakukan selama bulan-bulan haram, yaitu Muharram, Rajab, Sya`ban, dan Zulhijjah
8. Pakaian ihram boleh dengan celana, baju, jas, dan dasi.
9. Orang yang meninggal tidak disalatkan karena tidak ada perintah dalam Alquran.
10. Pengajian-pengajian Inkar Sunnah di Jakarta membuat semua salat dua-dua rakaat tanpa azan dan iqamah.

11. Dalil-dalil Ingkar Sunnah
Dalil-dalil atau alasan-alasan Ingkar Sunnah dapat dibagi kepada dua macam, yaitu dalil Alquran dan alasan akal. Dalil Alquran antara lain adalah :
1. Alquran surat an-Nahl ayat 89 :
“Kami turunkan kepadamu Alquran untuk menjelaskan segala sesuatu”
2. Alquran surat al-An`am ayat 38 :
“Tidak Kami alpakan sesuatu pun di dalam Alquran”
3. Alquran surat al-Maidah ayat 3 :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kamu agamamua dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridai Islam itu sebagai agamamu”
Ketiga ayat ini dan ayat-ayat yang senada menunjukkan bahwa Alquran telah menjelaskan segala sesuatu. Alquran tidak membutuhkan keterangan tambahan lagi karena penjelasannya tentang Islam sebagai agama sudah sempurna.
4. Alquran surat an-Najm ayat 3-4:
“Dan ia (Muhammad) tidak bertutur menurut hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain wahyu
yang diwahyukan kepadanya.”
Yang diwahyukan itu sudah termaktub dalam Alquran
5. Alquran surat al-Haqqah ayat 44-46:
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas nama Kami
niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian Kami akan potong urat tali
jantungnya.”
6. Alquran surat surat Ali Imran ayat 20; al-Maidah ayat 92, 99; ar-Ra`d ayat 40; an-Nahl
ayat 35, 82; an-Nur ayat 45; al-`Ankabut ayat 18; asy-Syura ayat 48.
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa tugas Nabi Muhammad hanyalah menyampaikan pesan
Allah dan tidak berhak memberikan penjelasan apa pun.
7. Alquran surat Fathir ayat 31 “
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yakni Alquran itulah yang benar (haqq).”
8. Alquran surat Yunus ayat 36 :
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran.”

Jadi, Hadis itu hanyalah persangkaan yang tidak layak dijadikan hujah.

Adapun dalil akal adalah sebagai berikut :
1. Alquran dalam bahasa Arab yang jelas. Orang yang paham bahasa Arab paham Alquran.
2. Perpecahan umat Islam karena berpegang pada hadis-hadis yang berbeda-beda
3. Hadis hanyalah dongeng karena baru muncul di zaman tabiin dan tabittabiin
4. Tidak satu hadis pun dicatat di zaman Nabi. Dalam periode sebelum pencatatan Hadis, manusia berpeluang berbohong
5. Kritik sanad baru muncul setelah satu setengah abad Nabi wafat
6. Konsep tentang seluruh sahabat adil muncul pada akhir abad ketiga Hijrah

12. Analisis terhadap Argumen Ingkar Sunnah
Dalil-dalil nakli dan argumen akli Ingkar Sunnah itu seluruhnya lemah. Seorang tokoh Inkar Sunnah dari Amerika, Rashad Khalifa menulis sebuah buku berjudul, The Computer Speaks : God’s Message to the World yang terbit pada tahun 1981. Tokoh Inkar Sunnah dari Malaysia, Kassim Ahmad mengatakan bahwa buku ini secara saintifik membuktikan ketulenan Alquran sebagai perutusan Tuhan kepada manusia yang sepenuhnya terpelihara, dan menarik perhatian pembaca kepada kesempurnaannya, lengkapnya dan keterperinciannya, menyebabkan manusia tidak memerlukan buku-buku lain sebagai sumber bimbingan. Ini--katanya--bermakna Hadis sekaligus tertolak sebagai sumber teologi dan perundangan. Lebih dari ini, Kassim Ahmad dengan yakin membuat kesimpulan tentang penolakan Rashad Kahlifa terhadap Sunnah.Katanya, bahwa dalam masa lebih kurang tiga bulan dia telah berpuas hati mengenai tesis pokok Rashad Khalifa bahwa Hadis merupakan suatu penyelewengan dari ajaran Nabi Muhammad dan tidak boleh diterima sebagai sumber perundangan adalah benar.
Ayat-ayat yang dikemukaan Ingkar Sunnah bersifat umum dan global, perlu peneje-lasan(bayan). Nabi berfungsi menjelaskannya. Penjelasan(bayan) itu berbentuk pernyataan, perbuatan, dan pengakuan pembawa Alquran itu. Karena itu, disebutkan dalam Alquran surat az-Zukhruf ayat 63:
“Sesungguhnya aku (Nabi) telah datang membawa hikmah dan untuk kujelaskan kepada kamu sebagian yang kamu berselisih paham tentangnya.” Surat an-Nahl ayat 44:
“Dan Kami telah menurunkan kepadamu zikr(Alquran) agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.”
Demikian juga dalam surat yang sama ayat 64.
Dalam surat al-Maidah ayat 15:
“Sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami menjelaskan kepada kamu banyak
mengenai hal yang kamu berselisih paham tentangnya.”
Keterangan yang sama juga disebutkan dalam surat yang sama ayat 19.
Surat Ibrahim ayat 4 :
“Dan tidak Kami mengutus Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya agar ia menjelaskan kepada mereka.”
Surat Ibrahim ayat 1 :
“Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya engkau keluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya yang terang.”
Surat ath-Thalaq ayat 65 :
(Dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepada kamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bernacam-macam hukum) supaya dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya.”
Surat Ali Imran ayat 3 :
“Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan al-Hikmah.”
Ayat-ayat ini dan banyak lagi seumpamanya menjelaskan bahwa tugas Rasul bukan hanya menyampaikan pesan, tetapi juga menjelaskan (memberi bayan) terhadap pesan itu, mengajarkan Alquran dan hikmah, mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya, dan membersihkan jiwa mereka. Jadi, maksud Alquran menjelaskan segala sesuatu adalah bersifat umum. Secara umum Alquran menjelaskan segalanya. Keterangan Nabi menjelaskan secara rinci dan operasional. Sebagai perbandingan adalah UUD bagi negara sifatnya lengkap tapi umum. Peraturan dibuat sebagai petunjuk operasional. Hadis pun berfungsi seperti peraturan. Sejalan dengan itu, Allah memerintahkan agar umat Islam mengambil apa yang dibawa Rasul. Yang dibawa Rasul itu ada dua, Alquran dan Sunnah Rasul.
Alquran surat al-Hasyar ayat 7:
“Apa yang diberikan Rasul maka ambillah dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah.”
Alquran surat an-Nisa’ ayat 59 :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul.”
Ketika Rasul hidup, maka orang Islam langsung mengikuti perintahnya. Sesudah wafatnya, tentunya mengikuti apa yang ditinggalkannya, yaitu Alquran dan Sunnah. Kalau sesudah wafat-nya tidak patuh lagi kepadanya, maka tinggalkanlah kedua Alquran dan Sunnahnya. Jangan tinggalkan satu pakai yang satu lagi. Jika keduanya ditinggalkan maka jadilah kafir.
Dalam surat an-Nisa’ ayat 65 Allah swt. mencap orang belum beriman selama ia belum bersedia menjadikan Nabi Muhammad menjadi hakim dalam urusannya. Agar penjelasan Nabi Mu-hammad tidak menyimpang dari tujuan Allah dalam Alquran, Allah senantiasa memeliharanya dari kekeliruan dalam penyampaian penjelasannya. Surat al-Maidah ayat 67 :
“Dan Allah memeliharamu dari gangguan manusia.”
Sebagai pemberi penjelasan, Nabi Muhammad ma`shum (terpelihara dalam menyampaikan risalah) Karena itu, Nabi saw. adalah teladan yang baik bagi orang Mukmin. Hal ini dijelaskan dalam surat al-Ahzab ayat 21:
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yangb baik.”
Diri Rasul saw. berarti sesuatu yang di luar Alquran, tetapi praktik dari ajaran Alquran. Salatnya, puasanya, hajinya, dan segala tindakannya harus ditiru. Karena teladan yang harus dicontoh, maka penjelasannya dan kelakuannya tidak boleh ditolak. Surat an-Nisa’ ayat 115 :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya.”

Surat an-Najm adalah dalil bahwa apa saja yang lahir dari Nabi Muhammad adalah wahyu Allah. Alquran disebut wahyu matlu, yang dibacakan Jibril kepada Nabi, sedang Sunnah wahyu gairu matlu, yaitu wahyu yang tidak dibacakan oleh Malaikat Jibril, tetapi langsung diilhamkan Allah ke hati Nabi. Alquran lafaz dan maknanya dari Allah, tanpa intervensi Jibril dan Nabi Muhammad saw., sedang Sunnah maknanya dari Allah, lafaznya dari Nabi sendiri.
Allah mengecam jika Nabi menga-adakan sebagian perkataan atas nama Allah adalah jaminan Allah bahwa Nabi itu jujur, tidak dusta sebagaimana yang dituduhkan orang kafir kepadanya. Ini tidak bertentangan dengan fungsi Nabi sebagai pemberi penjelasan terhadap ayat-ayat Alquran yang bersifat umum itu.
Alquran tidak diragukan sebagai kebenaran (al-Haqq). Tetapi Alquran itu sendiri sampai kepada manusia melalui Nabi saw. Kepercayaan terhadap Alquran sebagai kebenaran tergantung kepada kepercayaan terhadap Nabi saw. Ketidakpercayaan kepada Nabi saw. berakibat tidak percaya kepada Alquran.
Jika kepercayaan Pengikut Sunnah kepada Sunnah Nabi saw. hanyalah persangkaan maka penafsiran Pengingkar Sunnah terhadap ayat-ayat Alquran juga persangkaan yang lebih lemah. Sebab, Pengingkar Sunnah menafsirkan ayat semata-mata berdasarkan pikirannya sendiri-sendiri dan masing-masing. Sedang Penganut Sunnah menafsirkan Alquran berdasarkan keterangan penerima Alquran itu sendiri, yaitu Nabi saw. Nabi saw. lah orang yang paling berkompeten menjelaskan Alquran karena dialah orang pertama menerimanya dan memang ditugaskan menjelaskannya. Kalau ada muballig Alquran selain dia, itu hanyalah penyambung apa yang sudah dikerjakan Nabi saw. Muballig pertama adalah Nabi saw. Model muballig yang benar adalah model Nabi saw. Jika ada muballig yang lain dari model Nabi saw. berarti muballig yang menyimpang. Setiap penjelas terhadap Alquran harus mengikuti penjelasan penjelas pertama, yaitu Nabi saw.

Alasan akal yang dikemukakan Ingkar Sunnah juga tidak kuat.
1. Pendapat Inkar Sunnah tentang Alquran sudah jelas dan tidak memerlukan penjelasan lain tidak bisa dipahami, baik secara nakli maupun akli. Sebagai dikemukakan sebelumnya banyak sekali ayat Alquran yang menjelaskan bahwa Nabi saw. bertrugas memberi penjelasan (bayan) kepada Alquran. Secara akli juga argumen mereka membingungkan. Kenyataan menunjukkan bahwa penjelasan yang agak detail dalam Alquran sangat sedikit. Mengenai perempuan-perempuan yang haram dinikahi, pembagian harta warisan, dan pencatatan hutang mengutang diterangkan dalam Alquran agak detail. Itu pun tidak lengkap. Hal-hal lain tidak demikian. Mengenai pelaksanaan salat, puasa, zakat, haji, nikah, penyelenggaraan jenazah, dan muamalah disebutkan dalam Alquran sangat umum. Dari perintah-perintah Alquran dapat dipahami bahwa salat, puasa, zakat, dan haji adalah wajib atas setiap Muslim. Akan tetapi, berapa kali salat sehari semalam, berapa rakaat masing-masing waktu, bagaimana cara melaksanakannya, apa yang mesti dilakukan dalam salat dan apa yang tidak boleh dilakukan tidak dijelaskan secara terpe-rinci dalam Alquran. Karena itu perlu penjelasan tentang operasionalnya. Orang yang paling berkompeten menjelaskannya sebelum siapa pun, termasuk ulama adalah orang yang langsung menerima perintah-perintah tersebut, yaitu Nabi saw. Tanpa petunjuk operasional dari Nabio saw., maka cara pelaksanaan salat maka kemungkinan cara pelaksanannya ada dua kemungkinan, yaitu berdasarkan hasil musyawarah atau berdasarkan ijtihad masing-masing.
Kelompok Inkar Sunnah Jakarta mendasarkan pelaksaan salat mereka kepada hasil musyawarah, yaitu lima kali sehari semalam dengan ketentuan masing-masing dua rakaat tanpa azan dan iqamah. Tetapi di antara mereka juga ada yang menetapkannya tiga kali saja sehari semalam. Menurut kelompok ini, salat lima kali itu buatan manusia. Mereka ini mendasarkan pendapatnya kepada surat al-Isra’ ayat 78 : “Dirikanlah salat dari sesudah tergelincir matahari sampai gelap malam dan fajar. Sesungguhnya salat fajar itu disaksikan .“ Menurut yang mereka pahami dari ayat ini, salat itu tiga kali sehari semalam, yaitu sesudah matahari tergelincir, ketika malam sudah gelap, dan waktu fajar. Bagi kelompok ini, tidak ada salat lain dalam Islam. Salat menurut Alquran hanya tiga waktu dan tiga macam ini saja. Perintah Alquran untuk salat pada hari Jumat tidak lain daripada salat sesudah tergelincir matahari.
Penafsiran ini sangat lemah. Perintah untuk salat hari Jumat itu istimewa. Perintah itu disertai perintah segera dan meninggalkan perniagaan. Sesudah melaksanakannya dianjurkan keluar dari salat dan kembali melakukan kegiatan mencari karunia Allah. Ini menunjukkan bahwa salat Jumat itu dikerjakan dalam suatu iven tertentu, lain dari pelaksanaan salat regular. Dalam surat al-Isra’ ayat 79 ada lagi perintah salat tahajjud. Seharusnya, Inkar Sunnah juga mewajibkan salat tahajjud. Sebab, ayat ini persis jatuh sesudah perintah salat yang tiga kali versi mereka. Lebih mengikat mereka lagi paham mereka yang tidak membedakan antara status wajib dan sunnat. Dalam surat al-Muzzammil ayat 2-4 ada lagi perintah lain : “Bangunlah (untuk salat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya). Seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. Atau lebihkan dari seperdua itu. Dan bacalah Alquran itu dengan perlahan-lahan.” Dalam surat Hud ayat 114, “Dan dirikanlah salat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan dari malam.” Dalam surat al-Baqarah ayat 238, “Pelihara kamulah segala salat dan salat wustha (pertengahan).” Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa masih ada macam salat yang lain dari tiga macam yang mereka sebutkan. Tidak mudah untuk mengkompromikan berbagai sebutan salat yang berbeda-beda itu. Ada sebutan salat tahajjud, salat lail, salat Jumat, salat dua tepi malam, salat wustha. Namun, mereka hanya mengambil satu ayat dan menelantarkan ayat-ayat lain. Ini adalah akibat mereka tidak mengakui penjelasan Nabi saw. Mereka terpaksa membuat penafsiran sendiri. Jika mereka mengumpulkan ayat-ayat tentang salat, mereka akan bingung sendiri. Karena memaksakan penafsiran sendiri, maka mereka terpaksa mengabaikan sebagian ayat Alquran. Akhirnya mereka bukan hanya Inkar Sunnah, tetapi juga “inkar sebagian Alquran.”
Dalam membela paham Inkar Sunnah ini, Kassim Ahmad membuat keterangan yang lebih mengacaukan lagi. Menurut dia, ibadah-ibadah agama, salat, puasa, zakat, haji telah diajarkan Tuhan kepada Nabi Ibrahim dan pengikut-pengikutnya dan diturunkan dari mereka kepada generasi demi generasi sampai kepada Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya. Menurutnya, orang Arab juga telah melakukan salat sebelum Muhammad. Hal ini didasarkannya kepada ayat Alquran, “Salat mereka di rumah suci tidak lain daripada penipuan dan kesesatan.” Keterangan Kassim Ahmad ini berarti bahwa salat yang diwajibkan kepada kaum Muslim sama persis dengan salat yang diwajibkan kepada Nabi Ibrahim dan juga orang Arab sebelum kebangkitan Nabi Muhammad saw. Sementara Kristen Ortodok Siria sendiri menklaim salatnya tujuh kali sehari semalam. Mereka juga ada rukuk dan sujudnya walaupun bentuknya sedikit berbeda dengan yang diwariskan Nabi saw. Misalnya, ketika rukuk, mereka meletakkan telapak tangannya di kening. Sekiranya Kassim Ahmad benar dalam klaimnya bahwa salat sudah ada sebelum Islam, cara yang mana yang benar. Setidaknya sekarang sudah ada tiga cara salat. Salat versi Nabi, versi Inkar Sunnah, dan versi Kristen Ortodok Siria. Di kalangan Inkar Sunnah juga ada versi lima kali dan ada versi tiga kali saja. Bahkan, salat versi Kassim Ahmad bebas. Untuk memilih satu atau yang lain dari versi-versi yang berbeda ini apa landasannya. Keterangan Alquran sifatnya umum, tidak mendetail. Bagi kaum Muslim landasannya jelas keterangan Ha-dis Nabi saw. Bagi Inkar Sunnah tentunya pikiran dan hasil musyawarah sebagaimana yang dilakukan kelompok Inkar Sunnah di Jakarta. Ketentuan salat seperti ini adalah filsafat, bukan agama. Yang dinamakan ibadah itu adalah perbuatan yang ditentukan Allah.
Untuk merespon hal ini Kassim Ahmad membuat keterangan tambahan. Setelah menerangkan dengan yakin bahwa salat itu berpunca dari amalan Nabi Ibrahim yang diwariskan kepada generasi-genarasi sesudahnya, Kassim Ahmad mengatakan bahwa namun demikian Alquran juga menyatakan beberapa perincian kaedah salat. Umpamanya, semuanya lima waktu (11: 114, 17: 78, 24: 58, 2: 238, 30: 17-18 dan 20 130); perbuatan rukuk dan sujud (22:77); meringkasakan sembahyang dalam perjalanan (4: 101); bentuk yang boleh disesuaikan dalam keadaan perang dan keadaan luar biasa (4: 103; berpakaian elok (7: 31); cara bacaan yang sederhana (17: 110); jangan menyerukan selain Allah dalam sembahyang (72: 18) dan cara-cara wuduk (5: 6) dan 4: 43). Jadi--katanya—walaupun perincian gerak-gerik tidak diberikan dalam Alquran, banyak perincian kaedah ada diberikan.
Penjelasan ini masih sangat umum. Keterangan ini belum dapat menjawab pertanyaan cara yang mana yang benar dari berbagai versi salat tersebut di atas.Karena itu, Kassim Ahmad harus memutar logika lagi pada penjelasannya selanjutnya. Keterannya berikut ini merupakan ketarangan puncak dan final tentang cara salat di kalangan Inkar Sunnah. Bahkan, dapat dikatakan bahwa inilah kesimpulan dari seluruh pemahaman ibadah dan agama menurut Inkar Sunnah. Karena itu, analisis terhadap masalah salat versi Inkar Sunnah ini dikemukakan agak panjang agar dapat dijadikan tolok ukur kerangka berpikir Inkar Sunnah secara keseluruhan.
Menurut Kassim Ahmad, Alquran mengajarkan agar jangan mempertikaikan bentuk dan kaedah salat. Bentuk dan kaedah salat tidak begitu penting jika dibandingka tujuan. Apa yang penting ialah kebaikan dan kejujuran dalam melakukan kebaikan. Pendapatnya ini didasarkannya kepada surat al-Baqarah ayat 177, “Kebaikan bukanlah berpaling ke timur atau ke barat. Kebaikan ialah beriman kepada Tuhan, hari kiamat, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi,dan mendermakan uang yang kita sayangi kepada kaum keluarga, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang asing, pengemis-pengemis, dan membebaskan hama-abdi, dan melaksanakan salat dan zakat, dan menunaikan janji-janji yang dibuat, dan tetap teguh menghadapi bencana, kesusahan dan peperangan. Inilah mereka yang benar, inilah mereka yang baik.” Kemudian ia juga mengemukakan surat al-Ma`un.
Ayat-ayat yang dikemukakan ini sangat umum. Ayat-ayat ini sama sekali tidak menje-laskan bahwa cara dan bentuk salat tidak perlu. Memang kelompok Inkar Sunnah selalu berpegang kepada ayat-ayat yang bersifat umum dan mengeksploitasi maknanya kepada hal-hal yang bersifat detail. Dalam surat al-Baqarah yang dikemukakannya sendiri disebutkan bahwa melaksanakan salat dan zakat. Jika dihubungkan dengan pangkal ayat, maka salat tidak perlu menghadap Kiblat. Padahal, dalam surat al-Baqarah ayat 144 ditegaskan agar dalam salat menghadap Kiblat, “Maka palingkanlah wajahmu kea rah Masjidilharam.” Apakah menghadap Kiblat bukan salah satu kaedah salat. Kalau itu tidak penting berarti ayat ini tidak penting.
Menurut Kassim Ahmad, ada hikmahnya yang besar mengapa Tuhan tidak memperincikan bentuk dan kaedah salat dalam Alquran. Pertama karena bentuk dan kaedahnya sudah diajarkan kepada Nabi Ibrahim. Kedua, karena bentuk dan kaedah tidak begitu penting dan Tuhan ingin memberikan kelonggaran kepada umat Muhammad supaya mereka boleh melakukan salat dalam keadaan apa pun. Satu peringatan yangv amat baik kepada umat Islam supaya kembali dan berpegang kepada Alquran dan jangan mempertikai bentuk dan kaedah. Sebenarnya, sunnah Nabi ialah Alquran. Beliu berpegang teguh kepada Alquran dan mengikuti perintah-perintah Tuhan. Ini sejalan dengan dua artikel seorang tokoh Inkar Sunnah dari Mesir, Taufik Sidqi yang berjudul, al-Islam huwa al-Qur’an wahdah (Islam adalah Alquran saja) dan dibuat dalam majalah al-Manar, nomor terbitan ke-7 dan ke-12 di Mesir. Dalam kedua tulisan ini, Taufik Sidqi menjelaskan bahwa Alquran saja yang menjadi sumber ajaran Islam, tidak masuk Hadis.
Uraian di atas menunjukkan bahwa bentuk dan cara salat menurut Inkar Sunnah tidak penting dan tidak ada. Karena itu, di kalangan Inkar Sunnah sendiri tidak ada kesepakatan ten-tang cara salat. Tidak ada bacan tertentu dalam salat. Salat boleh dengan bahasa Indonesia. Sebagian mereka mengakhiri salat dengan hamdalah, bukan salam. Karena tidak cara tertentu, maka cara salat Kristen Ortodok Siria yang tujuh kali sehari semalam dengan meletakkan telapak tangan ke dahi ketika rukuk tentunya sah-sah saja dilakukan kelompok Inkar Sunnah. Apalagi, secara historis Agama Kristen lebih dahulu lahir daripada Islam. Jangan-jangan, cara salat Kristen ini lebih orisinal dari cara salat kelompok Inkar Sunnah. Sebab, dengan pendekatan sejarah, semakin dekat kepada sumber asal yang dalam hal ini sumber salat pertama Nabi Ibrahim adalah semakin besar kemungkinan autentisitasnya. Logika ini berlaku untuk cara zakat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lainnya. Artinya tidak ada ketentuan khusus tentang pelaksanaannya menurut kelompok Inkar Sunnah.
Adapun menurut pandangan pengikut Sunnah Nabi saw., memang sebagian syariat yang dibawa Nabi Muhammad saw. sebagiannya berasal dari nabi-nabi sebelumnya, terutama Nabi Ibrahim, termasuk haji dan khitan. Akan tetapi, pelakasanaanya tidak semuanya sama. Misalnya, sepanjang informasi yang ada, Nabi Ibrahim berkhitan ketika umur delapan puluh tahun. Dalam Islam tidak demikian. Nabi Ibrahim menyembelih putranya. Kebetulan saja Allah menggantinya dengan seekor kibas. Dalam Islam tidak demikian. Kemudian, kalau Nabi umat Islam itu Muhammad saw., tetapi umatnya tidak boleh mengikuti keterangan dan amalnya, melainkan harus Alquran saja. Mengapa kita mengikuti sunnah Nabi Ibrahim, tidak Kitab Suci yang diturunkan kepadanya, yaitu Shuhuf. Logika Inkar Sunnah tidak adil. Seharusnya yang diikuti adalah Shuhuf Ibrahim, bukan perbuatan Ibrahim. Jika kelompok Inkar Sunnah ingin mengikuti Shuhuf Ibrahim as., mereka harus mencarinya dan mencari yang aslinya. Sekarang, Nabi kita adalah Muhammad saw. Amal dan penjelasannya termuat dalam kitab-kitab Hadis. Seleksi terhadap yang sahih dan yang daif secara ilmiah telah dilakukan para ulama yang berkompeten. Siapa saja boleh melakukan penelitian terhadap hadis yang sahih. Hadis sahih dapat diamalkan dan hadis yang lemah tidak boleh diamalkan. Mengapa kelompok Inkar Sunnah tidak berpikir ilmiah. Justru percaya kepada sunnah Ibrahim yang sama sekali tidak jelas sumbernya.

1. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua orang Arab bisa memahami Alquran dengan baik. Setiap ilmu mempunyai terminologi sendiri. Untuk memahami Alquran juga membutuhkan kompetensi khusus. Setiap ilmu mempunyai terminology tersendiri. Bukan setiap ahli bahasa Arab yang bukan ahli filsafat mampu memahami filsafat yang ditulis dalam bahasa Arab. Begitulah ilmu-ilmu itu seterusnya. Seorang ahli akan memahami ilmu yang dibidanginya. Demikian juga ahli tafsir. Seorang mufasir harus menguasai bahasa Arab, menguasai nahu, saraf, dan balaghah, menguasai hadis-hadis dan ilmu hadis yang berkaitan dengan ayat yang ditafsirkan, mengetahui sebab turun ayat, mengetahui konteksnya dengan ayat sebelum dan sesudahnya, mengetahui usul fikih dan kaedah-kaedah umum agama.Tanpa pengetahuan yang memadai tentang ilmu-ilmu tersebut ini, seseorang akan menafsirkan Alquran dengan kacau, seperti orang yang berlayar tanpa arah. Dirinya akan sesat dan orang yang ikut dalam perahunya ikut sesat bersamanya. Demikian juga halnya dengan orang yang berusaha memahami Hadis Nabi saw. tanpa penguasaan ilmu-ilmu tersebut akan memahamkannya sesuka hatinya. Karena Pengingkar Sunnah memahamankan Alquran tanpa Hadis dan tanpa alat-alat yang dibutuhkan, maka timbullah kekacauan. Cara salat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lainnya diserahkan kepada masing-masing. Bagaimana bisa melaksanakan salat berjemaah kalau caranya dan bahasanya menurut masing-masing. Padahal, Alquran sendiri memerintahkan agar salat berjamaah. Warka`u ma`ar raki`in (Rukuklah kamu bersama orang-orang yang rukuk).
1. Jika Sunnah yang menjelaskan ayat-ayat yang umum dikatakan penyebab perpecahan, maka tafsir tanpa Sunnah tentunya lebih membuat kekacauan. Selagi ada Sunnah masih juga muncul beberapa mazhab di kalangan umat Islam sekalipun perbedaannya tidak dalam hal yang prinsipil. Tanpa Sunnah tentunya setiap orang memiliki mazhab sendiri. Sekian juta umat Islam maka cara salat, puasa, dan hajinya akan menjadi sekian juta pula. Apakah ini bukan kekacauan?
2. Pengkaji Hadis mengetahui bahwa para sahabat belajar Hadis dari Nabi dan meriwayatkannya kepada generasi sesudah mereka. Para sahabat pun mencatat Hadis untuk hafalan mereka. Catatan mereka disebut shahifah. Ada yang berisi seribu hadis. Shahifah-shahifah itu berjumlah empat puluh buah. Mereka mengahafal dan begitulah dari generasi ke generasi. Apa yang dikatakan orientalis bahwa Hadis muncul pada pertengahan abad kedua Hijrah tidak benar. Sebab, objek penelitian mereka tidak metodologis. Mereka mengambil sampel dari kitab-kitab yang bukan sumber asli Hadis. J. Schacht misalnya sengaja mengambil sampel kitab Muwaththa’ Malik agar ia menemukan banyak sanad yang tidak lengkap. Atas dasar sampel yang salah itu ia menggeneralisir bahwa semua Hadis tidak benar datang dari Nabi karena tidak lengkap sanadnya. Seharusnya ia mengambil kitab hadis yang asli, seperti Musnad Ahmad dan Shahih al-Bukhari yang tentunya ia akan mendapatkan sanad-sanad yang lengkap dan bersambung.
3. Tuduhan sahabat dan tabiin berbohong sangat naïf. Keadilan sahabat dan para periwayat hadis yang makbul itu dibuktikan dalam berbagai kitab biografi periwayat Hadis. Sahabat itu jumlahnya banyak. Menurut Abu Zur`ah, jumlah sahabat ketika Nabi wafat 114.000 orang. Namun, sahabat yang terlibat dalam periwayatan Hadis yang sampai kepada kita dan perlu dibahas sepanjang kajian sanad sangat sedikit dibandingkan jumlah itu. Berdasarkan keterangan Muhammad `Ajjaj al-Khathib, sahabat yang meriwayatkan seribu hadis ke atas hanya tujuh orang, yang meriwayatkan dua ratus hadis ke atas sebelas orang, yang meriwayatkan seratus hadis ke atas dua puluh satu orang, yang meriwayatkan puluhan hadis kurang dari dari seratus orang, yang meriwayatkan sepuluh hadis ke bawah seratusan orang , yang meriwayatkan satu hadis saja lebih kurang tiga ratus orang. Jumlah seluruhnya 539 orang sahabat. Diasumsikan saja lebih daripada itu. Misalnya tujuh ratus orang. Apakah tidak logis bila jumlah yang demikian dari total 114.000 orang sebagai sahabat yang saleh dan terpercaya dalam meriwayatkan Hadis. Sekiranya kaedah yang berbunyi, “Sahabat seluruhnya adil” diberlakukan kepada mereka ini, tentunya sangat logis. Seleksi terhadap Hadis juga terus dilakukan, baik melalui sanad maupun melalui matan. Makanya ada hadis yang mutawatir , sahih , hasan , dha`If , bathil , dan maudhu` . Sebagai ilmu yang berdiri sendiri tentang kritik sanad dan kritik matan, memang berkembang secara bertahap. Halnya sama dengan ilmu yang lain. Tetapi, kinerja seleksi Hadis sudah dilakukan sejak zaman sahabat. Karena itu, dalam sejarah, mereka mempertanyakan sanad hadis yang dikemukakan kepada mereka, mereka menerima hadis tertentu dan menolak hadis yang lain. Ini berarti, mereka memiliki ilmu tentang kriteria hadis yang dapat dijadikan hujah.
5. Sehubungan dengan itu, pada tanggal 27 Juni 1994, MUI Pusat telah memfatwakan bahwa aliran yang tidak mempercayai Sunnah adalah sesat dan berada di luar Agama Islam serta meminta kepada pemerintah agar mengambil langkah tegas melarangnya. Pada tahun 2006 di Kecamatan Lubuk Pakam, Deli Serdang telah muncul suatu kelompok yang menamakan dirinya sebagai Soul Training dan menklaim telah melakukan penelitian yang hasilnya menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad saw. tidak pernah mewariskan apa pun pada umatnya kecuali hanya Kitab Suci yang Agung Al-Quran al-Karim dan bahwa sesungguhynya salat tarawih/salat qiyam Ramadan benar-benar bukan salah satu tuntunan Islam. Kelompok ini juga berpendapat bahwa umat Islam telah ditipu, disesatkan, dan dipecah-belah oleh Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii, dan Imam Hambali. Penjelasan lebih detail dapat dibaca pada laporan mereka yang dikeluarkan di Pagar Mer-bau, 6 Juni 2006. Paham ini berarti penolakan terhadap Hadis Nabi saw. Mengenai paham ini, Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Deli Serdang telah mengeluarkan fatwa pada tanggal 24 Juni 2006. Isinya adalah bahwa Soul Training, aliran sesat dan menyesatkan. Aliran Soul Training tidak dibenarkan untuk dikembangkan sebab meresahkan dan merusak akidah Islam. Mengakui, mengikuti dan mengembangkan aliran Soul Training hukumnya haram.

Medan, 17 Juli 2007
DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA