Oleh : H. Ramli Abdul Wahid
A. Pengertian Fadha’il al-A`mal
Fadha’il adalah bentuk jamak dari kata bahasa Arab, fadhilah yang artinya keutamaan-keutamaan atau kelebihan-kelebihan. Al-a`mal adalah bentuk jamak dari kata `amal yang artinya amal atau ibadah. Satu ibadah dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek wujud ibadah itu sendiri dan aspek keutamaannya atau pahalanya. Kedua aspek ini harus mempunyai dalil. Dalil pokok untuk ajaran Islam adalah Alquran dan Hadis. Dalil wujud ibadah harus kuat, yaitu ayat Alquran atau hadis yang sahih atau hadis hasan. Hadis daif tidak bisa menjadi dalil wujudnya suatu amal atau ibadah. Sementara dalil untuk fadha’il al-a`mal menurut sebagian ulama tidak mesti hadis yang sahih atau hasan, melainkan boleh juga hadis daif dengan syarat-syarat tertentu. Demikian juga fadhilah waktu ibadah tertentu, sepertri fadhilah bulan barakah Ramadan.
Hadis-hadis fadhail al-a`mal antara lain adalah hadis-hadis yang mene-rangkan fadhilah salat jamaah yang 27 kali lipat ganda, fadhilah haji mabrur masuk sorga, dan fadhilah puasa diampunkan dosa-dosa yang telah lalu. Termasuk juga fadhilah bulan Rajab dan bulan Ramadan. Hadis-hadis ini ada yang sahih dan ada yang daif. Jika hadis daif ini masih memenuhi syarat yang ditentukan ulama, misalnya tidak terlalu daif, maka menurut sebagian ulama masih bisa diterima sebagai dalil untuk menerangkan fadhilah ibadah atau bulan tertentu.
B. Ulama dan Syarat Hadis Daif untuk Fadhail al-A`mal
Di antara ulama yang menerima hadis daif untuk menjadi dalil fadhail al-a`mal adalah Imam an-Nawawi dan Ibn Hajar al-`Asqalani. Kedua ulama ini adalah ulama fikih dan ulama Hadis. Ibn Hajar al-`Asqalani banyak mengarang ilmu Hadis dan syarah Hadis. Di antara karangannya adalah kitab biografi para sahabat dengan tarjihnya yang bernama al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shabah. Kitab ini terdiri atas empat jilid besar. Susunannya sangat sistematis dan isinya sangat informative tentang biografi para sahabat. Kitab monumental lainnya adalah Tahzib at-Tahzib. Kitab ini terdiri atas 14 jilid tentang biografi para periwayat hadis dalam Kitab Hadis Pokok yang Enam (Sahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmizi, Sunan an-Nasa’I, dan Sunan Ibn Majah). Setiap peneliti Hadis tidak bisa mengabaikan kedua kitab ini. Kitab monumental lainnya adalah Fat-hul Bari Syarh Shahih al-Bukhari. Kitab ini merupakan salah satu kitab syarah Shahih al-Bukhari, terdiri atas 13 ditambah muqaddimahnya satu jilid khusus. Kita tidak dapat membayangkan adanya seorang ulama yang diakui sebagai ulama Hadis di zaman modern, tapi tidak memiliki kitab ini.
Imam an-Nawawi juga sebagai pribadi referensi di bidang fikih dan Hadis. Ialah penulis syarah Shahih Muslim dengan judul Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi yang terdiri atas 14 jilid. Ia juga penulis kitab fikih mazhab Syafii, Syarh al-Muhaz-zab yang terdiri atas 20 jilid. Keterangan ini dikemukakan untuk menunjuk-kan kompetensi keduanya di bidang Hadis.
Imam an-Nawawi menjelaskan dalam kitabnya Matn at-Taqrib tentang kesepakatan ulama atas bolehnya, bahkan mustahabnya (sunnatnya) mengamalkan hadis daif dalam fadhail al-a`mal. Di dalam kitab ini ia tidak menjelaskan syarat hadis daif ini, kecuali syarat dalam fadhail al-a`mal. Kemudian, al-Hafiz al-`Ala’i menambahkan syarat hadis ini tidak terlalu daif. Setelah itu, Ibn Daqiq al-`Id menambahkan dua syarat lain, yaitu bahwa keadaan hadis ini berada di bawah hadis pokok yang diamalkan. Artinya wujud ibadah itu berdasarkan hadis yang layak dijadikan hujah. Hadis daif ini hanya berfungsi menjelaskan fadhilah ibadah tersebut. Syarat kedua adalah bahwa orang yang mendasarkan fadhilah ibadahnya kepada hadis daif itu tidak sampai meyakini atas kesahihan hadis itu. Hadis itu tetap diyakininya sebagai hadis daif. Ia mengamalkan hadis ini hanya atas dasar kehati-hatian. Jangan-jangan, hadis ini sebenarnya sahih, yakni berat dugaan benar berasal dari Nabi, tetapi berdasarkan penampilan zahirnya daif, yakni kecil sekali kemung-kinannya benar berasal dari Nabi. Sebab, hadis daif bukan berarti pasti tidak berasal dari Nabi. Sebaliknya, hadis sahih bukan berarti pasti berasal dari Nabi. Hadis yang pasti dari Nabi itu adalah hadis-hadis mutawatir, yaitu pemberitaan oleh banyak orang kepada banyak orang dan kepada banyak orang, dan begitulah seterusnya sampai kepada generasi pengumpulnya (mukharrijnya), seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan Imam at-Tirmizi.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa akhirnya, syarat-syarat hadis daif yang boleh dijadikan dalil atas fadhail al-a`mal itu ialah keadaannya tidak daif sekali, hadis itu tidak berdiri sendiri menjadi dalil wujud amal, melainkan hanya menerangkan tentang fadhilah amal, sedangkan dalil untuk wujud amal itu harus hadis sahih atau hasan, dan orang yang mengamalkannya jangan sampai berubah keyakinan bahwa hadis daif menjadi sahih, tetapi tetap daif. Kemudian, Ibn Hajar al-`Aqalani menukil syarat-syarat itu semuanya dalam satu keterangan. Sesudah itu, pandangan Imam an-Nawawi ini diikuti sejumlah ulama, seperti Jalaluddin as-Suyuthi, al-Haitami, dan Ibn `Arraq. Sementara ulama yang tidak setuju mengamalkan hadis daif dalam fadhail al-a`mal antara lain adalah Yahya ibn Ma`in. Menurut Asyraf ibn Sa`id dalam bukunya, Hukm al-~Amal bi al-Hadits adh-Dha`ifi fi Fadha’il al-A`mal, dapat pula dipahami bahwa Imam Muslim dan Imam al-Bukhari tidak setuju dengan pengamalan hadis daif untuk fadha’il al-a`mal ini.
C. Kriteria Hadis Daif Ringan
Berdasarkan kekuatan hujahnya, Hadis dapat diklasifikasikan kepada mutawatir (pasti dari Rasul), sahih (diduga keras dari Rasul), hasan (berada di bawah sahih sedikit), daif (lemah), bathil (hadis palsu, tetapi tidak disengaja membang-sakannya kepada Rasul), dan maudhu` (palsu, disengaja menciptakan dan membangsakannya secara bohong kepada Rasul). Fokus kita sekarang tentang hadis daif yang tidak terlalu berat. Memang, hadis daif itu ada yang daif ringan, daif (sedang), dan daif berat. Ini membutuhkan sebuah ilmu yang disebut `Ilm al-Jarh wa at-Ta`dil, yaitu ilmu tentang penilaian periwayat hadis. Para ulama telah membuat istilah-istilah untuk menunjukkan peringkat kehujahan riwayatnya. Misalnya, seorang periwayat yang dinilai dengan istilah syaikh wasath atau shaduq insya Allah, maka hadis yang diriwayatkannya adalah daif ringan. Seorang yang dinilai dengan istilah dha`if, maka hadis yang diriwayatkannya adalah daif (sedang). Tetapi, seorang periwayat yang dinilai dengan istilah matruk, maka hadis yang diriwa-yatkannya adalah daif berat. Jika seorang periwayat dinilai dengan istilah dajjal atau wadhdha`, maka hadis yang diriwayatkannya dinilai maudhu` (palsu). Keterangan ini terlalu teknis dan rumit, tetapi dikemukakan untuk sekedar menjadi gambaran sederhana agar pembaca memahami maksud hadis daif yang tidak terlalu berat. Jadi, hadis daif itu sendiri bervariasi, dari daif ringan, daif (sedang), dan daif berat.
D. Hadis-hadis Fadha’il al-A`mal
Hadis-hadis fadha’il al-a`mal ada yang sahih dan ada yang daif. Misalnya, hadis tetang keutamaan bulan Ramadan.
“Apabila masuk bulan Ramadan, pintu-pintu sorga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.”
Hadis ini menerangkan keutamaan bulan Ramadan. Hadis ini sahih termuat dalam kitab Shahih al-Bukhari juz 4 halaman 92.
“Barangsiapa bangun beribadah malam Ramadan berdasarkan iman dan mengharap rida Allah, diampunkan baginya dosanya yang telah lalu.”
Hadis ini menerangkan fadhilah malam Ramadan. Orang yang salat padanya akan mendapatkan keampunan dari Allah atas dosanya yang lalu. Hadis ini sahih, termuat dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
“Satu kali umrah pada bulan Ramadan sama dengan satu kali haji.”
Hadis ini termuat dalam Sunan at-Tirmizi jilid 3 halaman 276 dengan sanad lengkap. At-Tirmizi sendiri menilainya hasan gharib.”
“Seseorang akan mendapatkan kehinaan dan kerendaghan jika namaku disebutkan di sisinya, namun ia tidak bersalawat atasku. Seseorang akan mendapatkan kehinaan dan kerendahan jika ia memiliki kedua orang tua atau salah satunya, namun ia tidak melaksanakan hak keduanya yang memasukkannya ke dalam sorga. Seseorang akan mendapatkan kehinaan dan kerendahan jika ia memasuki bukan Ramadan dan Ramadan telah berlalu sebelum ia diampuni.”
Bagian akhir dari hadis ini menerangkan fadhilah Ramadan yang kehadirannya memberikan kesempatan untuk mendapatkan keampunan dari Allah. Hadis ini adalah sahih diriwayatkan oleh at-Tirmizi, Ahmad, al-Hakim, dan Ibn Hibban. At-Tirmizi sendiri menilainya hasan gharib. Ibn Hajar, az-Zahabi, al-Hakim, dan Ibn Hibban menilainya sahih.
“Barangsiapa bergembira dengan masuknya bulan Ramadan, Allah mengharamkan jasadnya masuk neraka.”
Hadis ini termuat dalam kitab Durratun Nashihin halaman 7 karya al-Khubari. Hadis ini juga menerangkan fadhilah bulan Ramadan. Sayangnya, hadis ini maudhu` (palsu) dengan dua alasan. Pertama, hadis ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis yang diakui. Bahkan, hadis ini tidak ditemukan dalam kitab kumpulan hadis daif. Penulis Durratun Nashihin juga tidak menyebutkan sumber pengambilannya. Hadis semacam ini dikenal dengan istilah la yu`raf lahu ashlun atau la ashla lahu (tidak diketahui sumber aslinya). Alasan kedua adalah isinya mengandung ciri-ciri hadis palsu yaitu amalan yang terlalu kecil menjanjikan pahala yang terlalu besar.
“Awal bulan Ramadan adalah rahmat, pertengahannya keampunan, dan akhirnya pembebasan dari neraka.”
Hadis ini termuat dalam Kitab adh-Dhu`afa’ al-Kabir karya al-`Uqaili, jilid II halaman 162 dan kitab al-Jami` ash-Shaghir karya as-Suyuthi jilid I halaman 432. Hadis ini menjelaskan keutamaan bagian-bagian bulan Ramadan. Sayangnya, hadis ini daif. Bahkan, Pendekar Hadis abad 20, Muhammad Nashiruddin al-Albani menilainya maudhu` (palsu). Kedaifan hadis ini berasal dari dua orang periwayatnya, Sallam ibn Sulaiman ibn Sawwar dan Maslamah ibn ash-Shalt. As-Suyuthi menilainya daif. Ibn `Adi menilai Sallam munkar al-hadits. Abu Hatim menilai Maslamah matruk.
“Semua amal manusia baginya kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu bagi-Ku dan Aku yang akan membalasnya.”
Hadis ini adalah hadis qudsi yang nilainya sahih. Hadis ini diriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dengan sanad yang lengkap. Hadis ini menerangkan keistimewaan pahala puasa. Begitu besar pahalanya sehingga tidak terbatas dan bahkan Allah menja-min akan memberi balasannya secara langsung.
“Barangsiapa memberi pebuka kepada orang yang puasa, ia memperoleh seumpama pahalanya tanpa berkurang sedikit pun dari pahala orang yang berpuasa.”
Hadis ini diriwayatkan oleh at-Tirmizi. Ia menilainya hasan sahih.
“Sesungguhnya, orang yang berpuasa, bersalawat atasnya para malaikat jika orang makan di sisinya hingga mereka selesai.”
Hadis ini menerangkan keutamaan orang yang puasa sabar melihat orang makan di dekatnya. Hadis ini diriwayatkan oleh at-Tirmizi dan dinilainya hasan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar